Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
“Tau nggak, Ning, ketika aku melihat kau berjalan dengan cowok barumu itu, eh, tunanganmu, ya?, aku jadi geli-geli gimanaa, gitu. Aku mengamsalkan kau dan dia itu bak seekor bebek peking yang berjalan di samping seekor angsa, ckckckck,”ejek Lusi, teman satu fakultas dengannya, suatu hari ketika keduanya sedang menikmati makan siang di kantin kampusnya.
Ningrum sama sekali tak tersinggung dengan ejekan si Lusi itu, malah ia ikut tertawa cekikikan. Sebab sindiran sejenis itu sering ia dapatkan dari teman-temannya yang lain. Lalu ia balik bertanya, “Trus yang cocok dengan aku itu siapa?”
“Ya Jasmanlah. Kalau dengan Jasman kalian sangat serasi, mungkin amsalnya laksana seekor burung flamingo yang menggandeng seeokor angsa. Jasman ganteng dan kau cantik!”jawab Lusi dengan nada dan wajah serius.
Ningrum tersenyum sendiri mengingat ucapan si Lusi itu. Ia membuka album di hapenya, hendak membuka foto-fotonya kenangannya dengan Jasman, tapi tersadar, bahwa hape yang menyimpan semua kenangannya dengan sang mantannya itu telah diambil oleh Hendri. Kembali kecewa menyapa hatinya. Dan pada saat yang sama bayangan wajah Jasman hadir dalam benaknya, menjadikan tidur sorenya gagal. Sembari memeluk bantal gulingnya matanya menatap kosong pada tembok bercat kuning gading di hadapannya. “Sedang apa ya Mas Jas sekarang? Pasti ia sangat kecewa ketika tadi siang melihat aku jalan bergandengan tangan dengan hendri,”gumamnya, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.
"Oh ya, Dik Jas masih kuliah?"Widya jadi tersenyum saat memandang wajah pemuda di depannya yang naga-naganya tengah memikirkan sesuatu sampai-sampai tak mndengarkan pertanyaannya. Lantas ia mendehem untuk membuyarkan lamunan Jasman
"Eh...iya, Mbak, maaf…barusan Mbak Widya berbicara dengan saya?”ucap Jasman tergagap yang membuatnya terlihat seperti orang linglung.
Widyanti menyembunyikan senyumnya dengan punggung tangannya, “Ya teman Mbak dalam kamar ini kan hanya Dik Jas, lantas Mbak berbicara dengan siapa lagi? Hehehehe. Dik Jas sedang melamunkan apa, sih? Serius sekali nampaknya.”
“Oh…tidak melamunkan apa-apa, kok Mbak, cuma saya tadi merasa heran saja, kok seorang CEO sikap dan adabnya mirip mafia begitu, ya?” ngeles Jasman. Namun seolah dia sendiri tersadar, kok bias-bisanya dia cepat memberikan alas an seperti itu. Ckkckck.
“Ya, akibat cinta buta, mungkin,”jawab Widyanti. “Kata orang, cinta dapat merupah sifat dan adab seseorang menjadi laksana seorang dewa, dan disi lain mampu merubah sifat dan adab seseorang menjadi seperti iblis, jika cinta dirasakan secara membabi-buta.”
Jasman manggut-manggut seolah meresapi kalimat dari wanita cantik di hadapannya. Dan seolah-olah ia menghindari pembahasan soal itu, cinta, ia malah bertanya, “Oh ya, tadi Mbak menanyakan apa kepada saya?”
“Tadi Mbak Tanya, apakah Dik Jas masih kuliah?”
“Oh…sudah bebas teori, Mbak, sekarang lagi proses pengajuan judul skripsi."
"Oh ya syukurlah. Semoga kuliah Dik Jas rampung tepat waktu, ya?"
"Amin Allahumma amin. Terima kasih, Mbak, buat doanya."
"Ya sama-sama Dik Jas. Berarti saat ini sudah tidak terlalu sibuk lagi dengan urusan kuliahnya, ya?"
"Ya begitulah, Mbak," jawab Jasman, lalu kembali menenggak minuman kalengnya. "Tapi kalau sudah judul skripsi sudah diasese, ya sibuk mencari bahan dan segala tetek-bengeknya."
"Ya, ya benar," tanggap Widya. "Bagaimana jika dalam waktu senggang ini Dik Jas bekerja dulu pada Mbak? Maaf, maksud Mbak, Mbak sangat membutuhkan laki-laki seperti Dik Jas untuk melindungi Mbak. Hidup Mbak benar-benar seolah tak memiliki kebebasan lagi sebagai manusia...!"
"Maksud Mbak, semacam body guard ?"
"Benar, Dik. Please ! Ini bukan penawaran, tapi sebuah permohonan. Mbak sangat berharap sekali Dik Jas! Soal gaji, Dik Jas nggak usah khawatir. Tentu akan setimpal dengan perlindungan yang Dik Jas berikan kepada Mbak."
Seperti tatkala mengantuk disodorkan bantal. Kebetulan juga saat ini dia memang sedang membutuhkan pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan, setidaknya selama masa skripsi dan pendadaran besok. Namun bukan berarti ia ingin memanfaatkan sikon. Justru, tanpa diminta pun atau digaji pun , jiwa kependekarannya menuntut hatinya untuk melindungi orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Masih segar dalam ingatannya betapa kasarnya perlakuan laki-laki tadi terhadap Mbak Widya. Maka, jika ia menolak dan membiarkan wanita malang itu terus hidup dalam ketakutan, jelas ia merasa sangat berdosa sekali. Jika pun Widya memberinya imbalan materi atas jasanya itu, ia anggap sebagai balas jasa saja. Simbiosis mutualisme, begitulah kira-kira.
"Bagaimana, Dik Jas? Please, Mbak sangat berharap sekali," harap Widya.
"Tentu saya tak akan menolak, Mbak," sahut Jasman. "Bukankah di kedai sate tadi pun saya sudah siap untuk memberikan perlindungan kepada Mbak?"
Mendengar itu Widya sangat senang sekali. Rona wajahnya langsung berseri-seri. Dia pindah duduk di samping Jasman dan memeluk lengan si pemuda dengan sikap yang sangat gembira. Sekali lagi, Jasman membiarkan saja Mbak Widya bersikap begitu.
"Asal saja saya masih bisa leluasa untuk membereskan segala urusan yang berkenaan dengan kuliah saya ya, Mbak?" pinta Jasman.
"Oh tentu, Dik Jas," setuju Widya. "Dik Jas tak perlu khawatirkan hal itu. Mbak sangat paham kok, karena Mbak juga pernah menjadi mahasiswa."
"Terima kasih, Mbak, kalau begitu." Sesaat Jasman terdiam sebelum bertanya, "Lantas, saya harus mengawal Mbak Widya seperti apa? Di hotel ini? Di rumah Mbak Widya? Atau seperti apa? Maaf, maksud saya, tempat kost saya kan cukup jauh dari sini..."
Widya tersenyum dan menatap wajah pemuda ganteng di sampingnya lalu berkata, "Jika Mbak masih di hotel ini, Dik Jas akan Mbak sewakan kamar buat Dik Jas. Jika Mbak lagi di rumahnya Mbak, Dik Jas tinggal saja di rumah Mbak. Kebetulan rumah Mbak ada paviliunnya, dan Dik Jas bisa menempatinya. Semua keperluan Dik Jas sudah tanggung jawab Mbak. Semuanya!"
Deal! Kesepakatan tak tertulis pun diambil. Sejak saat itu Jasman telah menjadi semacam body guard-nya wanita yang bernama Widya. Jasman lalu disewakan satu kamar di hotel itu, berdekatan dengan kamarnya sang tuannya.
Malamnya, Widya mengajak Jasman untuk jalan-jalan, menikmati suasana malam di Malioboro, yang dilanjutkan dengan memasuki sebuah pusat perbelanjaan di kawasan itu. Widya ingin berbelanja keperluannya, juga keperluan Jasman. Di hotel Jasman telah menyampaikan niatnya kepada Widya untuk memotong pendek rambutnya. "Karena mungkin memang sudah waktunya saya harus meninggalkan penampilan dengan gaya rambut panjang saya," kata Jasman, ketika Widya menanyakan alasannya keputusannya tersebut.
Di dalam mall itu tersedia kapster salon. Widya berpesan kepada pegawai salon--seorang pria--agar memvermak semua penampilan fisik 'cowok'-nya, mulai dari rambut, wajah, hingga pakaiannya. Kurang lebih satu jam Widya menunggu di ruang tunggu salon. Ia ingin sebuah kejutan.
Dan dia benar-benar mendapatkan sebuah kejutan itu. Saat Jasman muncul dari balik ruangan salon yang dibatasi dengan kain korden, Widya nyaris tak percaya dengan penglihatannya. Dengan penampilan baru, rambut dipotong cepak ala pria-pria dari Asia Timur, dengan mengenakan stelan jas berkancing hingga pangkal leher, Jasman benar-benar telah menjelma sebagai seorang pria yang benar-benar tampan dan berwibawa. Ditambah lagi dengan kacamata hitam yang dikenakannya, menambah kesan maskulinitasnya. Widya benar-benar dibuat takjub, memandang sang pemuda tanpa berucap apa-apa untuk sesaat lamanya.
"Tiba-tiba saya merasa kehilangan sosok diri saya dengan penampilan baru ini," ujar Jasman, setengah bercanda, saat ia berdiri di hadapan Widya.
Widya mencubit pelan tapi gemas lengan Jasman sambil tersenyum sumringah. "Tapi Mbak sangat menyukainya, Dik Jas," ucapnya. "Ketampanan Dik Jas benar-benar keluar full malam ini."
Mendengar pujian itu, spontan Jasman mendongak ke atas, seperti orang yang sedang mencari-cari cecak di plafon mall. Widya dibuat tersenyum melihat perilakunya itu.
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp