‘Watri? Siapa Watri?’ Aku tak tahu apa maksud istri Pak Yono menyebutku dengan nama Watri. Suaranya begitu berat dan aku yakin saat itu aku tidak salah dengar.“Saya Imel, bukan Watri, Bukde.”“Watri. Wis teka.”(Watri. Sudah datang).“Siapa Watri?” tanyaku semakin merasa heran saat mendengar ia berbisik-bisik. Dia menyahut namun tak menoleh sedari tadi, wanita paruh baya di sampingku itu terus memandang bacaannya dengan mata tertunduk. Kutunggu beberapa saat tak ada jawaban. Semua orang seperti sedang khusuk membaca Al-Quran.“Imel mau ketemu Eyang dulu ke belakang. Permisi,” ucapku dengan bibir bergetar.Di detik itu, aku merasakan hal berbeda dalam diriku, semakin aku berjalan semakin tubuhku terasa ringan. Pekat salivaku, tegang urat di sekujur lenganku. Tubuhku tiba-tiba seperti helai kain yang terbang. Sementara, wanita yang menyebutku Watri tadi terlihat kembali acuh, dia sama sekali tidak menghiraukanku. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat dari penjuru sudut ruang. Termasuk
Manis sekali dipandang. Namun, ada yang aneh saat aku mendengarnya berbisik. Aku tidak berani menatap nenek itu lebih lama, hanya mencuri pandang. Surat yang tadi masih ada di tanganku segera kumasukkan ke dalam saku. Sejenak hening, terasa mencekam kala tubuh rentah di hadapanku itu bergumam pelan."Mlebu, Cah." Sembari tersenyum.(Masuk, Nak.)"Nggih, Nek."Tidak sadar bibirku mengucap dan membalas. Kemudian aku melihat ia berjalan dan berbungkuk. Namun saat aku membalas ucapannya, tiba-tiba nenek itu terseot-seot ke belakang hingga ia menembus dinding rumah Bang Oar. Aku tercekat, sekujur tubuhku gemetar hebat. Baru sedetik saja aku mengambil nafas, kembali lagi terdengar suara derap langkah di dalam rumah, menuju pintu. Saat itu, aku seperti seorang tamu yang menunggu lama agar dibukakan pintu. Suara langkahnya sangat terburu-buru. Hal itu membuat tungkai lututku semakin lemas."Ya Allah, demit," umpatku sebelum aku akhirnya berlari terbirit-birit. Sialnya lagi, satu sendalku ya
"Imel hanya nemu di kolom meja. Enggak tahu isinya apa."Tak ada jawaban.Saat itulah aku merasa duniaku berhenti. Aku bisa merasakan sentuhan tangan, deru nafas yang berat dari Bibi Lija saat ia memilin-milin lenganku hingga aliran darahku terasa memanas. Darah di dalam tubuhku menjalar seolah berlabu di ubun kepala. Bulir bening menembus pelipisku tanpa bisa kuhalau. Detik ini, aku sedang ditatap Bibi, tidak … Aku tidak yakin dengan siapa aku bertatapan sekarang. Manusia? Jin atau aku hanya kembali berhalusinasi?‘Jangan Imel.’‘Berhenti berlagak tahu.’‘Kamu bukan tandingan bagi sesosok mayit yang bangkit di hadapanmu ini. Lihat dan perhatikan sekali lagi. Dia ... ‘"Lihat, sebentar lagi. Aku bisa hidup bersama denganmu." Tiba-tiba Bibi berbisik-bisik. Suaranya teramat dingin.“Deleng, ing menit. Aku iso manggon karo sampeyan,” sambung suara lirih yang lain.Sekali tarikan nafas bisa membuat dia menyerangku. Seolah aku sedang berada dalam ujung tanduk. Suara yang seperti berasal
"A--apa maksudnya?" Aku tercekat lantas segera berdiri. Merinding, itulah yang aku rasakan. "Duduk dulu, Neng. Eyang bukannya mau nakutin. Sekarang ini, ketakutan itu pantasnya sudah jadi kebiasaan. Kamu harus cari tahu sedikit demi sedikit opo persoalannya, termasuk setiap mimpi yang Eyang lihat.""Mimpi? Eyang mimpi apa tentang aku?""Bukan kamu, tapi iki adikmu. Dia jalan jauh sekali tapi tidak pernah berhenti. Bayangannya hilang, sering muncul tapi kebalek. Rere jalan ke kanan, bayangannya jalan ke kiri. Itu, menandakan kalau adikmu benar-benar sudah dikuasai oleh perempuan itu. Kamu kirim surat ke Utami, suruh ke sini. Pakdemu, Pur juga."Eyang terlihat lengah, ucapan dan tugas kecilku itu seakan-akan adalah jadi kalimat yang paling berat untuk aku terima. Aku tahu bahwa kini, Eyang Ratu sudah berada dalam kondisi yang lemah. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Sama seperti aku yang hanya bisa meredam semuanya. "Imel pengen samperin Bang Oar, Yang. Tapi Rere enggak bisa ditin
Bangunan besar bercat putih itu hanya berdiam diri meyaksikan kematian adikku. Lalu lalang orang membanjiri halaman RSU Rahardjo, di mana saat-saat aku akan bertemu langsung dengan Bang Hasim. Dia menarikku sangat erat dengan cekalan tangan yang dingin, memecah kerumunan liar dan bising, menuju ambulans yang sedang memekikkan nyanyian duka di depan sana.Kami tidak saling berbicara. Rasa dingin yang menyeruak ini mengisyaratkan hatiku agar berusaha tenang, meskipun mulutku sangat ingin menjerit memanggil Rere. Rere yang tadi pagi masih duduk di sandaran ranjang, Rere yang tadi pagi masih bisa menulis dengan tangan putihnya, Rere-ku yang tadi pagi masih bisa melakukan keusilan ditengah rasa sakit yang dideritanya. Mengapa tiba-tiba terbujur kaku tanpa aku di sisinya?Aku tak merasa jika tubuhku terlepas dari tarikan Bang Hasim. Melihat kenyataan ini rasanya aku sungguh tidak bisa menerima. Rongga dadaku kembali sesak, isi kepalaku seolah ingin menyemburkan didihan darah yang panas. S
"Rere itu mati tidak wajar, Bang. Aku tahu semua itu karena sosok ... "Lelaki yang tingginya melebihi tubuhku beberapa senti itu tertunduk, menatapku lekat lantas ia meraih ke dua bahuku dengan satu tarikan nafas."Maaf, Dek. Selama ini Abang meremehkan mitos orang tua. Kekhawatiran itu terbatas karena tidak mau menyalahkan siapa pun di antara kita. Setiap Abang datang ke rumah Eyang, Abang rasakan juga, cuma tidak tega harus mencurigai keluarga." Begitu terangnya, dia menyapu bibirnya dengan lidah sekilas lalu menghela nafas panjang."Lalu, kita harus apa? Imel sekarang sudah ragu pulang ke rumah. Imel takut dia mengambil banyak nyawa," keluhku.“Dulu, rumah Eyang bukan rumah pribadi seperti sekarang. Menurut cerita orang tuaku, orang-orang datang dari berbagai kota demi bisa bekerja di pondok pesantren Kakung. Termasuk yang berpengaruh besar adalah orang pekerja pilihan Eyang, yaitu Santoso.""Beliau hilang, tidak tahu rimbanya ke mana. Bersama istrinya dia hanya meninggalkan surat
Eyang yang melahirkan Ayahku, beliau sosok wanita yang sangat adil dan bertanggung jawab atas hidup anak dan saudaranya. Aku merupakan cucu yang sebatang kara, cucu yang dulunya begitu dirindukan kehadirannya, karena rumah Ayah yang paling jauh. Semenjak aku kembali ke Rumpang, Eyang jarang menyuruhku untuk tidur bersama. Tapi, nyaris tiap hari aku di ajak Eyang seranjang … Semenjak teror itu selalu datang.Teror itu membuat aku sering berhalusinasi, kadang kala aku bisa melihat wajah Eyangku yang putih menjadi gosong, tubuhnya seakan-akan hidup di tubuh orang lain. Aku sering bertanya-tanya, mengapa wajah bersahaja itu kerap berwujud pocong dan bermukenah putih? Dia sering ikut dengan kami salat di tengah malam, juga selalu merasuki tubuhku hingga aku merasakan hampa yang mendalam.Sering hatiku berkata, suatu saat penghuni rumah Eyang akan menembus dinding nadiku hingga aku mati seperti Rere. Pertanyaannya adalah, pocong itu mirip dengan Eyang. Dia adalah Eyang? Atau Eyang adalah …
“Neng milih saja. Balek kampung besok sama Pakdemu iki kalau mau. Eyang panggil adiknya Hasim saja tinggal di sini. Kakungmu selalu berpesan jangan biarkan rumah kosong, Neng.”“Imel sudah janji mau ngikut Eyang.”Nekat. Jujur saja, rasanya aku tidak bisa di sisi Eyang. Kesempatan ini juga sudah berpihak kepadaku, Paman Tuwuh sudah memutuskan semuanya. Aku bisa meninggalkan Eyang atau tidak. Tapi, bagaimana dengan setelah aku pergi? “Yang, rumah ini tidak bisa dijual, ya?”Begitu pelan aku berbicara. Setengah berbisik, setengah lagi membujuk. Di sana ada hanya satu penghalang, yaitu penghuni kamar tidurku. Dia sudah hidup dan berkuasa di banding pemilik tanah ini sendiri. Eyang bahkan sudah merasa terjebak dihuniannya.“Siapa yang menjamin orang-orang dikemudian hari bisa selamat kalau rumah ini berpindah tangan Neng? Adikmu itu cerminan baru untuk perjalanan hidup orang lain. Jangan sampai sembrono, sebelum kita berusaha keras. Eyang akan mati di tanah Kakungmu sendiri bila tiba wak