“Sumpah, Re! Bukan Mbak yang nyahut di depan.” Rere mencibir, padahal aku sedari tadi memasang wajah serius. Saat aku masuk sudah ada Eyang di meja makan. beliau nampak sibuk menata piring, aku jadi terlihat pekok sendiri. Mungkinkah mereka memang mengira aku habis lari-larian atau petak umpet? Astaga.“Yang! Rumah Eyang di belakang besok-besok di kasih obor atau lampu gantung ya.”“Ngomong opo toh, Neng?”“Itu loh, Yang. Imel hampir mati ketakutan gara-gara liat sesuatu.”Rere menoleh ke arahku, lalu mencibir lagi. “Ngeyel, teroos.”“Seriusan, Re. Mbak tadi enggak usil. Kualat baru rasa, kamu.”“Udah-udah! Besok Eyang beli lampu di pasar. Kalian makan dulu.”“Oma mana, Yang?”“Masih di kamarmu sama Isa. Mereka lagi bersih-bersih. Makanya toh, Neng, Rere, ada cucian, ada sampah, jangan langsung lempar sana-sini. Dengar tuh, Oma kamu mulutnya enggak bisa di rem.” Eyang memberi nasehat.“Remnya udah putus, Eyang. Enggak bisa di benerin … ““Hush! Kamu tuh ya.” Aku segera memotong ucapa
Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”“
“Astaghfirulahaladzim.” Sekujur tubuhku bergetar.Sosok berjubah panjang itu sepertinya menyadari keberadaan teman Bang Hasim. Suara jeritan salah satu dari mereka berhenti berganti dengan riuh angin dari segala penjuru. Hening. Begitu hening.“Bang, kita pergi saja.” Bisikku. “Tidak, harus periksa ke belakang dulu.”“Tapi, Bang.”Bang Hasim bilang harus memeriksa Eko dan yang lainnya, apapun yang sedang terjadi. Pukul sepuluh, rumah Eyang dengan segala rahasia di dalamnya terasa mencekam. Aku seperti berada dalam dimensi lain yang harus berdiri di lorong gelap ditemani kesunyian. Tak ada mulut yang bersuara, tapi aku bisa merasakan ritme jantung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal manusia. Degub jantung ini, seperti tidak lagi berfungsi normal.Bang Hasim melangkah meninggalkan kami bertiga, ia menuju dapur. Sialnya, dapur di belakang terlihat gelap, mungkin lampu gantung di meja makan mati. Sepupuku itu terlihat meraba-raba dinding, dan sepanjang dia melangkah tak kude
“Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datang purun … “Rasanya masih beberapa menit yang lalu aku menyentuh bantal. Apa sekarang aku sudah di alam mimpi? Di depanku sangat terlihat jelas. Wajah hancur penuh belatung itu berada dalam jarak satu meter di tepian kasur. Dia duduk, menatap pintu, menyamping dari posisiku.“Rere.”“Rere, lihat ke bawah, Re.” Aku berbisik sangat pelan, nafasku bahkan takut mengeluarkan suara.“Rere, tolong bangun.” Pekikku membatin.Suaraku seperti sudah sangat tegas. Tapi, kenapa Rere tak bangun-bangun juga? Aku frustasi, rongga mulutku terus merapal doa tapi sosok itu tak ingin enyah. Aku ingat beberapa teman di kota pernah bilang, jin Muslim lebih pandai dari pada manusia. Saking cerdiknya jin itu, dia bahkan seribu lebih tahu dan fasih membaca dan mendalami Al-Quran. “Peneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Gunaning wong luput.”Lagi-lagi ia melantuntan tembang kuno. Lagu yang nyaris membuatku terc
Bang Oar. Tinggal sendiri di ujung kompleks Melati dua sudah berpuluh-puluh tahun. Berawal dari kerja serabutan sampai kini dia kerja di sebuah bengkel. Hidup membujang dan sendirian seperti ini sudah menjadi takdir, kata Bang Oar. Alasannya karena bukan tak ingin menikah, tapi Allah belum memberi rezeki berumahtangga padanya. Kontrakan yang ditempatinya cukup untuk hidup sendiri, ruang tiga petak, sepetak dapur, kamar dan ruang tamu. Ruang tamunya membuatku berdecak kagum, sedikit eksotik, penuh alat tempur muncak."Suka nanjak, Bang?"Lelaki yang berambut gondrong itu tertawa sumbang, "Kalau lagi kosong, terakhir bareng sepupumu, ke Mahameru." Ia melempar dagu, ke Bang Hasim. Hasim tersenyum, membuatku canggung. "Kok Abang betah tinggal di tempat sepi begini?" "Sebenarnya, terpaksa."Aku mengerutkan hening, "Terpaksa?""Hidup di zaman begini mulai serba uang, cari kontrakan murah, susah. Kebetulan bos saya punya ladang di sebelah situ, saya ditugaskan menjaga dan bersihin tiap min
“Punten, Pak.” Saya, Imel. Tak sengaja mendengar omongan Pakde tadi.”Keduanya menoleh, sekilas terlihat shock. Tentu saja kaget, aku tiba-tiba muncul dari belakang saat mereka tengah berbisik-bisik.“Neng, pekerja baru, ya? Ngapain ngintip-ngintip pembicaraan orang tua? Enggak baik loh.” balasnya setengah memaki. Kubungkukkan tubuhku sembari mengulang maaf, “Aku cucunya Eyang. Bukan maksud aku mau menguping, tapi, aku ingin tahu juga, apa yang Pakde ini tahu tentang rumah Eyang dulu.”Bapak yang disapa Den itu memicingkan mata, gegalaknya tegas, namun sirat matanya ragu. Sementara yang satu masih mematung. “Pakde?”“Oh-eh. Mm, kami tak tahu banyak. Yang kami tahu hanya yang kamu dengar barusan. Iya, toh, Kang?" Pakde yang satu mengangguk pelan.“Lalu, Santoso itu, siapa, Pak?” tanyaku lagi.“Duh, ora kenceng-kenceng!”Aku sedikit sarkastik. “Ini masalah serius, Pakde.”“Kami bukannya mau membahas yang sudah-sudah. Kami juga tak tahu banyak, kamu tidak mau kan orang-orang kembali ngu
Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah
Hari itu. Hari terakhir dimana aku makan dengan Sabrina. Terakhir. Terakhir sebelum Sabrina ternyata akan meninggalkan dunia. Malam ini, baru saja aku makan malam, aku makan semua jenis makan di meja itu tanpa sedikitpun curiga. Aku baru sadar saat bangun tidur di sepertiga malam. Itupun karena aku teringat Eyang di rumah. Biasanya, di waktu seperti ini Eyang bangun sholat malam di ruang tengah.Eyang. Beliau bukan cuma sekali dibuatkan makanan jadi dari Bibi. Jarak tempat ini ke rumah Eyang juga sangat jauh. Bibi selalu bawa makanan jadi sampai ke Siliwangi tanpa pernah basi.'Yang jadi pertanyaan, benarkah Bibi menaruh sesuatu di makanan itu? Kata Ibu muda tadi Bibi adalah dukun. Apa benar Bibi memberi sesuatu lewat perantara makanan lalu semua teror terjadi di rumah Eyang sampai aku juga akan dibun*h?'"Hah. Astaghfirullah. Tidak sepatutnya aku begini. Bibi adalah keluarga Eyang, beliau mana tega berbuat yang tidak-tidak seperti itu. Kalau pun seperti dugaanku, aku sudah pasrah,