Share

Pengajian Apa, Umi?

“Kain? Kamu ngigo sambil jalan terus tidur ... “

“Isa enggak ngigo, Mbak.” Isa memotong ucapanku, suaranya begitu dingin dan tertekan.

“Karena hari kedua Isa sama yang lain capek jalan terus, jadi malam itu kita bertiga cepat tidur. Posisi tidurnya, Rere di kamar Eyang, Isa di kamar Mbak, terus Hasim tidur di ruang tamu. Isa sadar waktu itu belum tengah malam, Isa ketindihan, tubuh Isa seperti di angkat rame-rame tapi enggak bisa gerak.” Eyang yang melihat raut serius di wajah kami segera berhenti membersihkan ayam potong.

“Isa kenapa toh, Mel?”

“Katanya ketindihan sampai tidur deket pintu, Yang.” Aku mengelus sebelah pundak Isa lantas menyuruhnya minum sebelum lanjut bercerita.

“Rasanya tubuh Isa bergetar, Isa kaget sambil beristighfar terus, akhirnya Isa sadar dan bangun tapi enggak ada apa-apa. Isa baca doa dan lanjut tidur lagi. Sampai tiba-tiba tengah malem denger alarm bunyi, disitu Isa ketindihan lagi.”

“Tubuh Isa merasa banyak yang ngangkat, seperti melayang sampai dibawa keluar, ditidurin terus ditutup kain. Isa berteriak manggil Rere, manggil Hasim sambil nangis, panik, takut, sampai semua doa sudah Isa baca. Enggak tahu berapa lama, akhirnya Isa bangun. Hasim sudah berdiri, dia manggil Rere kalau Isa ngingo sampai tidur tanpa alas dekat pintu. Padahal sebelumnya Isa liat tubuh Isa di tutup kain putih sampai leher.” Gadis itu terus melirih, aku yang mendengarnya semakin cemas.

'Ketindihan sampai di luar nalar? Ya Allah, sosok itu sudah keterlaluan.'

Akhirnya tak mau terus membuat Isa berlarut takut, Eyang menyuruh kita lanjut bekerja. Isa mengupas pepaya muda sementara aku menyiapkan bumbu lainnya. Ayam kari, daging rendang, sumur jengkol, ikan pepes dan hidangan kecil lainnya adalah menu wajib di keluarga Eyang saat menyambut bulan suci ramadhan pada zaman itu.

“Mbak, boleh nanya enggak, ya?” tanyanya. Keadaan sudah kondusif, Isa sudah terlihat ceria.

“Kecuali nanya kapan ke KUA, boleh aja, sih.”

Isa malah melepas tawa, “Emang Mbak belom ada pacar?”

“Tuh kan, baru aja dibilangin,” ketusku. Isa tiba-tiba gelagapan.

“Masa kalah sama si Rere, padahal cantikan Mbak Imel sama Isa.”

“Rere kan ahli di bidang itu, Is. Emang Isa udah punya?”

“Iya sih, Mbak. Rere tuh punya kostan laki-laki. Kalau Isa mah takut gonta-ganti, setia kan lebih baik,” celetuk Isa. Tangannya sibuk menyingkirkan getah pepaya.

Dari arah belakang Rere melayangkan handuk ke arah Isa, “Woi ember banget tuh mulut! Lu tuh ya, enggak bisa jaga kartu orang dikit aja, apa-apa di aduin!”

Rere mengerucutkan bibir sambil memungut handuk kembali. Tiba-tiba dari arah pintu depan samar-samar terdengar suara, aku yang kebetulan berdiri segera berlari kecil. Suara yang mirip banget sama Eyang tapi ini lebih nyaring bikin aku enggak sabar buka pintu. Benar saja, seketika pintu terbuka lebar menampilkan sosok Oma Pur dengan barang bawaan yang begitu banyak.

Aku yang merasa senang segera berhampuran memeluknya. Oma langsung membalas pelukanku sebelum kami melakukan takzim.

“Loh loh loh loh! Yang tadi siapa, Mel?”

Sambil melepas tangan Oma lantas aku menyahut, "Tadi siapa, Oma?”

“Itu di jendela ada yang lambaikan tangan, tangannya manggil-manggil Oma keliatan seneng!”

Jendela Eyang ada empat, di sisi kiri pintu ada dua, begitu juga di sisi kanan pintu. Jendela Eyang berbentuk segi panjang, ukuran panjang lebarnya sangat pas dengan posisi satu orang berdiri. Sementara pintu rumah, lebar dua kali dari ukuran pintu biasa. Aku yang segera sadar tak ada siapa-siapa di ruang tengah, lantas memberi alasan pada Oma jika itu adalah teman Rere.

“Oma masuk aja, biar Imel yang bawa.”

Bawaan Oma ketika berkunjung ke saudara memang banyak. Seperti di depanku ini, satu kardus yang berisi toples kue, satunya lagi berisi makanan jadi dan seikat karung berukuran besar yang berisi pisang, sayur dan buah pala. Oma akhirnya masuk, sementara di jalan utama, kernek andong yang membantu Oma tadi sudah beranjak pergi.

Rasa rindu seketika terbayar dengan logat Oma dan cerita lucunya, sama dengan watak Eyang, Oma Pur Lingga sangat cerewet. Hanya saja, cara bicara beliau lebih tegas di banding yang lain.

Menjelang surup, aktifitas di dapur sudah hampir selesai. Kami berbenah diri, mengambil air wudhu, lantas bersiap menuju masjid. Kecuali Rere, selesai mandi sore, sepupuku itu kembali tidur, Oma segera masuk ke kamarku, tentunya mulai mengomeli cucunya yang paling luar biasa itu.

“Oalah, Gusti. Bangun kau! Nih kamar sudah bukan kapal pecah tapi mirip gunung meletus! Baju bertumpukan mirip jemuran susun! Sampah berserakan sampai ke kolom lemari! Bangun!” teriak Oma naik pitan. Oma mengomeli Rere padahal baju tumpukan di kasur itu separuhnya punya aku.

“Males,” bisik Rere. Kakinya yang menjuntai menendang-nendang tumpukan baju, terlihat malas menanggapi.

Semenjak banyak kejadian, rasanya aku makin jarang masuk ke kamar. Baju bertumpukan di kasur, banyak yang tergantung gara-gara tak sempat di cuci.

“Males dengkulmu! Bangun atau Oma sembur mulutmu pakai air liur!” Akhirnya gadis itu beranjak, mengambil air wudhu lalu mengekori kami ke masjid.

***

Sepulang dari masjid, Eyang menyuruhku mampir ke warung sementara beliau dan yang lain pulang lebih dulu. Posisi warung itu bersebelahan dengan masjid, rumah yang lain masih jarang dan di batasi lahan kosong.

“Imel? Beli apa?”

Ternyata Umi Lasmi, aku yang kebetulan sudah selesai sontak berhenti, “Nih, Um. Eyang suruh beli minyak. Umi, beli apa?”

“Oalah, ini Umi mau sediakan obat nyamuk, kalau sahur nyamuk di rumah juga bangun nyari makan!” sahut Umi, kami pun tertawa.

Sambil berjalan, Umi memberitahuku kalau puasa tahun ini terpaksa berdua saja sama suami. Anaknya masih di Kalimantan, tidak dapat cuti.

Saat di depan pagar rumah, Umi tiba-tiba berhenti. “Jadi, kita bikin kue apa nanti, Mel?”

Aku yang mendengarnya seketika tertegun, “Kue? Untuk apa, Um?”

“Oh, temenmu belum mampir toh? Minggu yang lalu, ada satu temenmu datang. Katanya mau adakan pengajian. Makanya Umi tanya, kue nanti mau buat seperti apa?”

Aku saat itu berpikir jika teman remaja masjid mengundangku pengajian rutin, dan biasanya hal itu kita sering lakukan di masjid.

“Nanti besok Imel tanyakan sama panitianya, Um.”

“Kok panitia? Tanya sama Eyangmu toh, Mel. Kan pengajiannya di rumah.”

“Oh, temenku bilang gitu, Um?”

“Lah iya, Mel. Katanya pengajiannya malam jumat.”

“Temenku yang mana ya, Um?”

Aku lihat Umi berpikir sejenak, “Enggak tau, Mel. Mukanya pekat canning (hitam manis), sebagian tak nampak soalnya pake tutupan.”

“Tutupan? Kayak apa, Um?”

Obrolan kembali berlanjut dengan sedikit membuatku penasaran. Apa itu Aiswa? Atau Rahma? Karena teman panitia perempuan cuma mereka berdua.

Jantungku nyaris meloncat, saat Umi menunjuk jendela rumah Eyang selepas aku bertanya. Sosok itu melambai, memanggilku dengan kedua tangannya.

“Lah, itu, Mel! Temenmu kayaknya baru mampir.”

Aku melihat Umi Lasmi pergi setelah berpamitan. Sementara langkahku masih terhenti. Nafasku tercekat, seluruh tubuhku bergetar. Sosok itu, berdiri jauh di balik jendela, namun, dia mampu menembus jarak dan membuatku ketakutan.

Aku berdiri, melangkah ragu, berjalan di tengah rumput dengan pijar yang temaran. Pandanganku menyapu seluruh keadaan rumah kokoh di depanku. Ada apa di rumah ini? Apa yang salah selama ini?

Aku menghentikan langkah, aku melihat lagi jendela itu. Rupanya masih ada sosok yang bermukenah putih dengan mata melototiku, giginya nampak semua. Tenagaku masih belum sepenuhnya terkuras, segera aku berlari, berbelok arah, menuju samping rumah Eyang lalu mengelilinya.

Ternyata, tak sampai disitu ketakutanku. Rumah dengan segala isinya itu ternyata sangat besar dan luas. Kakiku semakin bergetar, tapi aku tak ingin pingsan disini.

“Eyang! Eyang!” Tak ada sahutan.

Aku semakin was-was sembari terus berlari. Hatiku semakin menciut, rumah Eyang jika malam ternyata sepuluh kali lipat menyeramkan, pendopo tempat Bibi juga sangat besar dan kokoh, belukar di seberang pagar terpampang luas tanpa batas.

“Haruskah aku pingsan disini?” umpatku dalam hati, dzikir memenuhi rongga mulutku.

“Eyang! Buka, Imel di belakang!”

Tiba-tiba pintu belakang terbuka lebar. Ternyata, Rere yang datang. Bukannya khawatir, gadis itu malah memarahiku.

“Orang malam-malam itu istirahat! Bukan main petak umpet sama lari-larian!”

Rere bilang baru saja membukakan pintu dari depan, karena Rere dengar aku memanggilnya sambil tertawa mengejek.

Sepanjang makan malam aku terus dihantui rasa penasaran. Pengajian apa yang akan terjadi? Apa yang akan terjadi padaku di malam jumat yang akan datang?

Beberapa tahun kemudian aku baru menyadari, trauma yang aku alami sepanjang sisa hidupku ternyata berasal dari kejadian itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status