Share

Salat Subuh Bersama Jin

“Sumpah, Re! Bukan Mbak yang nyahut di depan.” Rere mencibir, padahal aku sedari tadi memasang wajah serius.

Saat aku masuk sudah ada Eyang di meja makan. beliau nampak sibuk menata piring, aku jadi terlihat pekok sendiri. Mungkinkah mereka memang mengira aku habis lari-larian atau petak umpet? Astaga.

“Yang! Rumah Eyang di belakang besok-besok di kasih obor atau lampu gantung ya.”

“Ngomong opo toh, Neng?”

“Itu loh, Yang. Imel hampir mati ketakutan gara-gara liat sesuatu.”

Rere menoleh ke arahku, lalu mencibir lagi. “Ngeyel, teroos.”

“Seriusan, Re. Mbak tadi enggak usil. Kualat baru rasa, kamu.”

“Udah-udah! Besok Eyang beli lampu di pasar. Kalian makan dulu.”

“Oma mana, Yang?”

“Masih di kamarmu sama Isa. Mereka lagi bersih-bersih. Makanya toh, Neng, Rere, ada cucian, ada sampah, jangan langsung lempar sana-sini. Dengar tuh, Oma kamu mulutnya enggak bisa di rem.” Eyang memberi nasehat.

“Remnya udah putus, Eyang. Enggak bisa di benerin … “

“Hush! Kamu tuh ya.” Aku segera memotong ucapannya.

Gadis ajaib itu melanjutkan aktifitas, ia menguliti daging ayam hingga menembus tulangnya. Nafsu makannya terlihat berlipat ganda. Karena tak tahan lagi melihat Rere melahap makanan lezat itu sendirian, Eyang buru-buru beranjak, ia menuju kamarku untuk memanggil Oma dan Isa agar segera menuju dapur.

Malam itu pikiranku terus terusik tentang peracakapanku dengan Umi Lasmi. Bagaimana jika aku benar-benar ingin di bun*h? Lalu semua orang akan melakukan pengajian di rumah ini? Semua hal itu terus memenuhi rongga kepalaku. Akan ada hal apa di malam jumat nanti? Apa benar aku akan mati? Lalu semua itu menjadi firasat akan di adakannya pengajian?

‘Astaghfirullah, ya Allah, lindungi aku dari segala keburukan.’

***

“Neng, kapan kamu balek ke kota?” Itu suara Oma, beliau membuyarkan lamunanku.

“Em, belom tahu, Oma.”

“Ora usah ke kota toh, Neng. Tinggal aja sama Eyang, kerja di daerah sini saja.”

Eyang yang mendengar itu lantas menyahut, “Lah iya, Pur, tapi balek lagi ke gajinya. Gaji Imel di kota gede.”

“Gaji gede tapi ora iso balek ke sini kan, susah. Eyangmu tuh sendiri, harus ada yang jaga. Gimana kalau sakit lagi, pingsan enggak ada yang lihat.”

“Bener, tuh, Mbak. Ntar lu jadi pewaris Eyang, gila aje nih rumah berapa milyar duit, ya?” celetuk Rere di ujung kursi. Dia ternyata menyimak perdebatan Eyang dan Oma. Eyang dan Oma pun naik pitan, sebentar lagi ada sesuatu dari mulutnya akan meledak.

“Hush! Rem mulutmu yang ternyata putus, Re!” tegurku seketika.

“Mana bisa kamu menceritakan warisan di depan orang yang masih hidup, cucu ed*n.” Oma memasang wajah sangar, sementara kulihat Eyang hanya mengelus dada. Isa hanya terdiam, pura-pura kalem padahal ikut emosi juga. Ha Ha Ha

“Seng, sabar, Oma. Besok udah puasa loh,” rayuku.

Suasanapun berubah, perlahan berganti tawa. Di sela tawa, kami di kejutkan sesuatu dari luar. Karena posisi Rere yang saat itu pertama selesai makan, maka dengan santai dia keluar.

“Siapa, Re?”

“Enggak ada orang, Yang.”

Tak ada sahutan lagi, Rere pasti tidur kembali. Setelah makan, aku dan Isa mencuci piring sementara Eyang dan Oma melenggang pergi usai memeriksa sisa makanan untuk di santap sahur.

“Isa denger tadi ada yang mainin pintu, Mbak.”

“Kamu juga denger?”

Isa menyahut iya. Sepanjang mencuci, aku tak sengaja menceritakan peristiwa yang aku alami magrib tadi. Di luar dugaan, Isa malah berhenti cuci piring, dia mendekap tubuhku, sampai ritual cucian kita selesai.

“Isa merinding, Mbak. Itu pocong?”

“Bukan! Dia pakai mukenah putih. Malah, Mbak pernah megang mukenahnya.”

Isa tiba-tiba histeris setelah mendengar kalimatku, “Astagirullah. Serius, Mbak?”

Aku mengangguk, “Aku jadi berpikir, gimana kalau nanti pas aku liat mukenah itu aku suruh Eyang bakar aja?”

“Bener juga, Mbak. Kalau Mbak di ganggu terus, jangan didiemin,” gigih Isa. Entah dari mana kekuatan itu muncul dari mulutnya.

Dapur akhirnya bersih. Aku menenteng lampu pijar keluar ruang. Oma menyuruhku berkumpul di ruang tengah, katanya masih ingin bercerita panjang lebar. Isa yang tak ingin lepas dari lenganku ikut juga.

“Hasim kok enggak ikut, Oma?”

Eyang masuk ke dapur lalu datang meletakkan wedang jahe lantas ikut menambahkan, “Iya, anak itu biasanya ngekor teros.”

“Enggak tahu loh, Neng. Kemarin ogah-ogahan. Padahal dulu pengen banget liat kamu. Katanya penasaran sudah lama ora ketemu Imel.” Mendengar Oma, aku jadi sedikit tersipu.

“Nanti Oma suruh kesini, yo.” Begitu Oma menambahkan. Beliau menuju lampu yang aku gantung tadi, menambahkan minyak dari cergen kemudian menuju rak buku Kakung.

“Dulu, almarhum kakungmu pernah juga jadi guru ngaji di Desa Rentemario (kampung bapak Hasim). Kakungmu di segani orang banyak, Neng.”

Aku ikut memegang buku Kakung, judul dari berbagai bahasa jawa kuno, kitab kuning, dan buku zuhur lainnya mengisi hampir seluruh rak disini. “Bener, Oma? Kakung seperti Kiyai gitu?” Oma mengiayakan, sementara Eyang hanya tersenyum menanggapi.

“Sebelum mempersunting Eyang, kakungmu sudah terkenal luas di kalangan masyarakat Siliwangi, dia punya banyak murid ngaji. Tiap hari anak-anak didiknya mengaji di rumah belakang.”

Aku yang mendengar itu sedikit terkejut, “Rumah belakang, ini?”

Oma mengangguk, “Iya. Dulu, rumah panjang itu di dirikan yayasan dari sekolah kakungmu untuk menjadi wadah anak desa dididik juga belajar ngaji.”

“Eyang santrinya kakungku juga?”

Beliau menggeleng, “Eyang kan pendatang, satu sekolah sama kakungmu.”

“Terus, rumah belakang itu posisinya dimana dulu, Yang?”

“Rumah itu persis di pendopo, dulu disitu dibangun rumah buka, petaknya panjang, tempat anak-anak ngaji.”

Cerita panjang itu terus berlanjut hingga sekitar pukul 10:11 malam. Alih-alih kita tidur di ruang tengah, Oma malah membantah. Ada kamar kok mesti dingin-dinginan di lantai? Begitu ia memprotes.

Wedang jahe sudah tandas, dengan terpaksa aku menyuruh Isa tidur di kamar Eyang bersamaku karena kamarku sudah terkunci dari dalam, Rere yang sudah tidur pulas tidak akan bangun membuka kunci meski kita memohon-mohon sampai mati.

***

Waktu pun berlalu begitu cepat. Semua orang selesai menyantap makan sahur. Kami berbenah lalu siap salat berjamaah di ruang tengah. Tak sadar jika Oma, Eyang, Rere sudah ke kamar mandi. Aku yang tertinggal mengambil air wudhu segera buru-buru ke dapur. Kulihat Isa berjalan dari dapur sudah menyusul Oma keluar.

“Isa, kok enggak bangunin Mbak, sih?” tegurku melewati Isa yang berjalan ke ruang tengah.

“Udah dari tadi, Mbak. Jadi Isa tinggal.”

Aku terpaksa melenggang ke dapur, melewati lorong kecil. Posisi saat itu, aku melewati lorong bersejejeran sudut kamar. Mataku menangkap di sudut lorong seperti ada yang berdiri, namun dengan nekat yang masih melekat aku teruskan langkah menuju kamar mandi.

Aku berpikir tadi itu hanya bayangan lemari. Namun, setelah selesai dengan berjalan keluar kamar mandi menuju lorong tadi, disitulah darahku tiba-tiba mendesir, ujung mataku melihat sosok Eyang, berdiri, menatapku lurus, memakai mukenah putih, tangan disedekap di dada, mirip seikat pocong. Sementara jarakku dengan sosok itu hanya terbentang tiga langkah, aku seperti ingin berteriak kencang, tapi lagi-lagi mulutku terkunci.

Aku melangkah perlahan, mencoba bersikap tenang, hingga tiba-tiba ia menyeletuk pelan.

“Cah ayu, aku seng pingin jadi imam kowe.”

Nyaris saja aku pingsan saat kuseret langkahku hingga ke ruang tengah. Semua orang sudah berdiri, tinggal aku yang tidak mengisi sajadah.

Kukhusyukkan kembali diri. Subuh itu terasa sangat lama, padahal hanya dua rakaat. Aku yang berdiri merasakan hal janggal, lantas kulirik di sebelahku, tapi benar dia adalah Oma. Disebelah kanan Oma sudah pasti Isa. Lantas di depanku sudah pasti Eyang.

Sepuluh menit, dua puluh menit, sampai memakan waktu tiga puluh menit Eyang di depan masih tak rukuk. Malah, samar-samar aku mendengar Eyang membaca satu surah, tapi kok aneh? Ayat yang dibaca terbalik-balik? Tiba-tiba dari pintu belakang terdengar suara mengucap salam.

Aku yang tercengang, seketika menoleh.

“Assalamualaikum?”

Pintu berderik dan terbuka lebar, Eyang masuk menerobos pintu. Sebelum kesadaranku hilang, aku sempat melihat Eyang berteriak panik, memanggil namaku dengan suara lantang.

***

Pagi itu kudapati diriku terbaring di ruang tengah. Kulihat Oma duduk menaruh handuk, sementara Eyang memijit kepalaku. Aku terbangun, memeriksa keadaan ruangan, seperti kembali menayangkan kejadian yang aku alami subuh tadi.

“Astaghfirullah.”

“Kamu toh kenapa, Neng?”

“Imel tadi sholat, Yang.”

“Iya, Eyang juga lihat kamu salat tiba-tiba pingsan.”

“Oma nunggu kamu nyusul ke masjid malah salat di rumah, karena lama, Eyangmu tak suruh balek,” kata Oma.

“Imel sholat sama jin, Oma.”

Sontak saja Oma terhenyak, begitu pula dengan Eyang.

“Sama jin gimana, Neng?”

“Jin itu suka menyerupai Eyang, tadi bahkan Imel salat sama Eyang, Oma sama Isa.”

“Pur, sudah lama gangguan kecil itu terjadi, tapi tak sampai parah seperti ini, aku takut cucuku tak berani datang kemari, orang akan takut juga kesini. Imel sudah jadi korbannya, kasihan cucuku ini.” Eyang menangis. Sementara itu, Oma seperti tak bisa berkata-kata, mungkin beliau masih berpikir keras.

Aku menghela nafas gusar, “Eyang, lain kali jangan tinggalin Imel sendiri di rumah.” Eyang memelukku dengan wajah sendu, lalu berucap maaf berkali-kali.

Lalu dari sana aku terpaksa menceritakan dari awal soal sosok bermukenah itu pada Oma. Oma mendengarkan setengah tak percaya, tapi, beliau menyarankan aku untuk tidak perlu takut di rumah sendiri.

“Tunggu Rere pulang nemenin Isa nyari kontrakan, Oma akan suruh si Rere tinggal disini. Tak perlu takut, Pakdemu akan kesini memeriksa, nanti Oma kirimkan surat.”

Aku beranjak membersihkan diri. Pagi itu, Eyang dan Oma akan mengajakku ke taman Raya, sekedar cuci mata sambil mengenal jenis hewan dari seluruh nusantara. Dulu, tak ada namanya karcis, karena sumber makanan untuk hewan masih disediakan oleh para relawan dari berbagai kota atau kami membawa makanan untuk mereka yang dibeli dari pasar atau kebun.

Siang hari hingga menjelang sore, kami baru keluar dan menunggu mobil besar, menumpang sampai ke batas desa lalu naik andong ke rumah Eyang.

Sedikit terkejut, kami melihat Rere di teras sambil selojoran sesaat mengira Rere pingsan. Ternyata dia sedang menulis. Karena dipicu rasa penasaran, aku segera menghampiri.

“Assalamualaikum? Tumben anak perawan ini nyampe duluan?”

“Eits, club mekar lansia abis jalan-jalan, nih!” sahutnya kalem, tanpa membalas salam.

“Bocah s*mprul,” sahut Oma dari belakang.

“Cucu, bukannya jawab salam malah bikin naik darah.” Eyang duduk di kursi, melewati badan Rere yang tidur melentang.

“Atur mental bos, Rere nih, si kembang desa!”

Kuintip dari belakang, dia ternyata sedang membalas surat mesra, mungkin dari pacarnya, kakinya menendang-nendang petakilan sambil senyum-senyum tak jelas. Suratnya pun ada tiga atau enggak empat kalau aku tak salah lihat.

“Isa mana, Re?”

“Isa udah dapet kontrakan, Mbak.”

“Oh, gitu. Padahal Mbak masih mau cerita banyak.”

Rere menoleh, dia menaikkan bibirnya. “Tenang, ada Rere. Rere kan mau tinggal disini, Mbak.”

“Awas jangan kayak jalangkung ya, Re. Pergi pulang semaunya, Mbak enggak suka.”

“Siap! Asal suruh si Nyai Ndoro itu enggak cerewet ya, Mbak. Kalau enggak, bakal Rere usir dia dari sini.” Padahal yang punya rumah sedang mendengarnya sendiri.

“Suka-suka kamu, Re. Mbak cuma penasarannya aja, surat cinta buat siapa lagi itu?”

“Ada babang mahasiswa deket sini, Mbak. Kami lagi memprogres hati supaya tetap adem sampai pelaminan! Eak! Nanti Rere bawa kesini, waseek.”

“Jadi itu alasannya Rere pengen tinggal disini?” Ia menggangguk lantang. Bikin Oma dan Eyang dongkol.

Mereka berdua berjalan masuk, menenteng pisang kapok yang di beli tadi untuk dijadikan menu buka puasa.

“Mbak, ngomong-ngomong, kamarmu kayaknya ada bangke tikus! Suer, bau banget. Makanya Rere pindah kesini.” Omelnya sambil terus melipat surat, dia menyelipkan gambaran hati di sampul depannya.

“Terus, kamu ngeliat apa, Re?”

“Tadikan Rere nyanyi, Mbak. Senggol dong, Mas. Senggol dong, ah. Eh tau-tau bau kentut mayat muncul! Ogah periksa. Jijik,” lanjutnya sembari mengerutkan hidung.

Aku yang gemas berpikir sosok itu terganggu karena Rere pasti berteriak-teriak.

Bagaimana mungkin ada bangkai padahal semalam Oma sudah membersihkan kamar? Aku terhenyak, mungkin Rere belum sadar, di antara mukenah tergantung ada satu mukenah yang suka muncul tiba-tiba dan hilang tiba-tiba. Mukenah rasa bangkai manusia, enggak pernah nyentuh sabun, padahal warnanya putih cerah.

“Kalau Rere cium bau bangkai, entah itu kain atau sampah, kasih Mbak aja, biar Mbak bakar, ya.” Aku sengaja meninggikan volume suaraku, menantang siapa saja yang berdiri di ambang pintu kamarku, agar dia segera hilang dari hidupku.

“Serahkan pada Rere si ratu kepedulian lingkungan!” sahut anak nakal ini ngasal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status