Kini Kaede kembali murka karena teringat perlawanan Ayu hari itu.“Dengar, Perempuan Sial! Apapun yang kau katakan saat ini, semuanya tidak lagi penting. Kaito sudah menemukan wanita yang sempurna untuknya, dan mereka akan mempunyai keluarga yang bahagia. Sekarang berhenti mengganggu! Berhenti membayangi Kaito seperti hantu! PERGI!”Kaede melotot dan menunjuk ke arah pintu, tapi Ayu tidak memandangnya. Ayu menarik nafas panjang, dan hanya memandang Karin. Tempat dimana lukanya berada.“Selamat atas pernikahannya,” kata Ayu, sementara tangannya saling meremas dengan sekuat tenaga. Menahan isakan dalam tenggorokan dan juga air mata. Masih merasa air matanya terlalu mahal untuk diumbar di sini.“Sudah! Tidak perlu mengucapkan apapun. Kau akan menyebarkan kesialan jika terus seperti ini!” bentak Kaede.Ayu memang hanya mampu mengucap itu, maka ia berbalik membuka pintu dan keluar.“Ayumi?!”Ayu nyaris saja bertabrakan dengan Kaito yang akan masuk. Pria itu menatapnya dengan wajah terkejut
Hide berlari memasuki UGD dan Ryu mengikutinya. Tidak ada yang peduli dengan bentuk mobil yang terparkir sembarangan.“Tanaka! Baru saja masuk… pendarahan…”Hide menyebut pada petugas yang ada di pendaftaran, dengan napas terengah. Bukan karena berlari, tapi karena panik.“Sebentar…” Petugas itu bergegas memeriksa.“CEPAT!” Hide mendesis berbahaya.“Tenang, dia baru mencari selama lima detik.” Ryu menenangkan. Tapi Petugas itu justru tidak terlalu terpengaruh. Dia sudah terbiasa menghadapi keluarga pasien yang panik.“Ya, benar. Ayumi Tanaka. Ditemukan di halte bis, dan dia baru saja masuk. Tapi belum ada laporan apapun tentang keadaannya. Ini berarti dokter sedang menanganinya. Saya harap Anda bersabar menunggu.”Hide mendapat jawaban itu tidak sampai satu menit kemudian, tapi bukan jawaban yang akan membuat Hide lega tentunya. Hide mengamuk.“KENAPA LAMA SEKALI MENANGANINYA! Apa saja yang kalian lakukan? Aku akan membuat kalian semua membayar…”“HIDE! CUKUP!” Ryu membentak, lalu men
“Kyoko-chan!” Ayu menyapa seceria mungkin, tapi jelas respon Kyoko adalah decakan jengkel.“Kau itu kenapa lagi? Sakit apa lagi? Kenapa kau sering sekali sakit!”Karena mereka bicara lewat ponsel, Ayu tidak bisa melihat raut wajah Kyoko, Ayu tidak tahu apakah Kyoko benar-benar mengomel atau dia hanya sekedar khawatir saja. Berbicara pada Kyoko—selain perlu keahlian, juga memerlukan keadaan berhadapan langsung. Berbicara lewat telepon seperti ini, menyulitkan Ayu untuk menebak reaksinya.“Aku juga tidak mengerti, tiba-tiba saja tubuhku sakit. Lalu mereka mengatakan aku terlalu lelah dan butuh istirahat,” kata Ayu.Ia mengatakan semua itu dengan ada ceria, tapi tidak ada senyum di wajahnya. Ayu perlahan meraba perutnya. Tidak ada yang berubah, karena memang sejak awal perutnya belum menunjukkan perubahan berarti. Tapi Ayu tetap merasa kosong—ada hal yang hilang di sana.“Hei! Kau masih mendengarku atau tidak?!” Kyoko membentak, dan Ayu tersentak.“Aku dengar!” Ayu menyahut tergesa, lalu
“Dimana Inoue?”Hide bertanya pada Ryu, karena yang ditemuinya hanya Ryu di kantor. Hide malas memakai ponsel untuk mencari tahu. Lagi pula tidak biasanya Ryu akan ada di sana. Kantor Ryu ada di Shingi Fusaya. Gedung yang berbeda. Jaraknya tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki, bukan gedung yang sama dengan Hide.“Mm… Apa kau akan membunuhnya?” tanya Ryu, dengan hati-hati. Ia ada disana untuk bertanya tentang itu.“Apa?” Hide mengerutkan kening. “Siapa?”“Sejak kejadian itu, Inoue takut kau akan membunuhnya.” Ryu menjelaskan, sambil menghela napas.“Oh, tidak. Aku tidak peduli.” Hide melepaskan mantel dan duduk di kursinya. Mulai membuka laptop dan bekerja.“Di mana dia?” tanya Hide, mendongak dan menatap Ryu yang masih berdiri di depannya dengan mulut ternganga. Sejak tadi Ryu mematung, terlalu terkejut.“Kau tadi mengatakan apa?” Ryu maju, dan memandang Hide.“Dimana Inoue? Astaga! Apa ini sulit?” Hide membanting pena di tangannya dan menatap Ryu, jengkel.“Bukan itu
“....lalu mengenai pembiayaan pembangunan pembangkit listrik tenaga air di negara…” BRAK! Pria yang sejak tadi bicara di hadapan proyektor, diam membeku. Seluruh ruangan meeting itu sunyi senyap. Karena Hide baru saja melemparkan ponselnya ke tembok. Setelah mendengar kiriman rekaman dari Inoue, jengkel. Hide kesal pada dirinya sendiri karena dengan otomatis memilih untuk mendengar sampai selesai. Yang mana itu bukan tanda ketidakpedulian. Seharusnya Hide mematikan rekaman itu begitu tahu isinya tentang apa. Ponsel itu luluh lantak tidak berbentuk–berhamburan menjadi beberapa bagian, dan semua orang hanya berani melirik. Ada sekitar sepuluh orang di ruangan itu, dan semuanya berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan Hide—kecuali Ryu tentunya. Tapi Ryu pun hanya berani mengernyit. Tidak bertanya kenapa Hide merasa perlu untuk melemparkan ponsel. Hide menghela napas dan kembali bersandar di kursinya, memandang pria yang mematung di depan. Tangan pria itu bahkan masih ada dalam p
“Aku mau di sini saja!” Ayu memutuskan hanya setelah melihat dua tempat. Padahal mereka punya banyak daftar apartemen yang bisa dilihat. Kyoko meminta data dari salah satu temannya yang ada di bagian marketing Shingi Fusaya.“Kau yakin? Ini tinggi sekali.” Kyoko menatap tangga yang ada di depan bangunan apartemen itu dengan skeptis. Tangga itu dari besi, tapi tidak menjamin kekokohannya. Dan apartemen yang tersedia ada di lantai paling atas—lantai tiga. Ayu harus naik turun tangga itu setiap harinya. Akan fatal jika tangga itu tidak dalam keadaan prima.“Ya, dan tidak apa-apa tinggi. Aku masih kuat jika hanya naik turun tangga. Jangan meragukan kakiku.” Ayu berseru sambil menepuk kakinya. Tekadnya sudah bulat.Kyoko menyipit memandang Ayu. “Jangan katakan kau memilih tempat ini karena ingin menggangguku setiap hari.”Kyoko curiga karena Ayu memilih apartemen yang hanya berseberangan dari bangunan apartemen tempatnya tinggal, Dari tempat mereka berdiri sekarang—bagian depan apartemen p
“Cukup! Tak perlu minum lagi. Kalau kau ingin pulang, maka pulang saja!” Ryu merebut cawan dari tangan Hide, mencegahnya untuk minum lebih banyak. Sejak tadi, Hide meminum sake seperti air. Tidak peduli berapa banyak.Hide menepis tangan Ryu. “Pergi! Tidak perlu menggangguku.”Ryu mendesah lalu duduk disampingnya. Mereka ada di salah satu restoran milik Kuryugumi. Tidak akan ada yang mengganggu meski Hide berada di situ semalam suntuk.Ryu tadinya masih ingin bekerja, tapi mendapat panggilan dari Inoue yang memintanya datang ke restoran itu, karena bisa melihat jika keadaan Hide buruk—lebih dari hari-hari sebelumnya.Tentu Hide yang seperti ini bukan baru pertama terjadi. Semenjak tidak pernah pulang, hampir setiap hari Hide menghabiskan waktu di bar atau restoran seperti ini untuk mabuk. Setelah itu biasanya Ryu akan membawa Hide ke hotel dan meninggalkannya di sana.Bisa saja seandainya membawa paksa Hide pulang, tapi Ryu masih menyayangi nyawanya. Tidak ingin katana Hide berada di
Ayu yang jatuh terduduk, menutup mulut rapat-rapat. Ayu berharap Hide tidak sedang marah saat ini.Hide perlahan duduk, mengusap kepalanya yang tentu saja sakit, lalu memandang sekitar. Ayu sudah ingin lari, tapi Hide ada persis di pintu. Sedang dirinya sudah ada di dalam kamar Hide.“Yumi-chan? Kenapa kau disini? Kapan kau sampai?” tanya Hide, saat melihat Ayu.Mulut Ayu ternganga, karena dia baru saja melihat Hide tersenyum geli dengan sangat jelas. Senyum yang sudah lama tidak dilihat Ayu, sampai tidak ingat lagi kapan terakhir Ayu melihatnya.Ayu mengedipkan mata beberapa kali, untuk melihat apakah senyum itu akan menghilang seperti ilusi. Tapi ternyata tidak.Tingkat mabuk Hide rupanya sudah benar-benar amat parah. Hide yang marah dulu mabuk, tapi masih bisa bicara masuk akal. Hide yang sekarang sudah sama sekali tidak masuk akal. Tidak seharusnya Hide tersenyum setelah kepalanya terbentur seperti itu.“Jangan-jangan aku membuatnya gegar otak?” Ayu bergumam panik, dan ingin memer