“Kau jelas adalah jalang karena sudah tidur dengan pamanmu sendiri!” *** Ayumi tidak pernah ingin membuat masalah, terutama karena ibu mertuanya yang kejam, akan mudah saja mencela dan menghina, meski kesalahan yang dibuatnya hanya sebesar debu. Tapi malapetaka justru datang pada Ayumi, saat sedang mencoba menenangkan diri di rumah pamannya. Tidak tahu bagaimana, Ayumi malah berakhir di bawah selimut yang sama dengan Hȉdėkȉ, adik dari ayahnya. Paman yang selama ini merawat Ayumi dari kecil setelah kedua orang tuanya meninggal. Saat itu Ayumi berumur delapan, dan Hȉdėkȉ dua puluh. Pernikahan Hȉdėkȉ hancur saat itu juga, sementara Ayumi tidak jauh berbeda, karena tidak mungkin ibu mertuanya akan memaafkan perbuatan itu. Ayumi diiusir tanpa bisa menjelaskan semuanya pada Kāȉitȱ---suaminya. Ayumi tidak punya pilihan setelah itu, dan tinggal kembali bersama pamannya. Tapi kehidupannya tidak menjadi mudah setelah itu. Diantara malu dan hina, Ayumi harus bertahan, karena sikap Hȉdėkȉ yang semakin aneh. Paman yang dulu lembut dan perhatian sering marah dan kasar. Rahasia apa yang disembunyikan Hȉdėkȉ sampai membuatnya berubah seperti itu? Bisakah Ayumi memperbaiki pernikahannya? Atau mengambil pilihan terlarang yang tidak seharusnya?
View More“Dasar wanita sial! Kau memutus generasi penerus keluarga ini dengan kemandulanmu itu!"
Ayumi mengusap air matanya, tidak berani menampakkan diri. Terus bersembunyi dibalik dinding, sementara mertuanya lewat di lorong. Dari wajahnya, bisa terlihat kalau ia amat murka.
Amarahnya kali ini awet. Sejak tadi sebelum suaminya berangkat pagi---sampai sore. Ayumi tadi hanya mengusulkan agar suaminya ikut ke dokter memeriksa kesuburan juga, karena Ayumi sudah melakukannya beberapa kali, tapi hasilnya normal. Usulan yang diterima setara bencana, mertuanya marah, dan suaminya juga menolak, lalu meninggalkannya.
"Kau dimana? Kau tak lebih dari wanita mandul dan sakit-sakitan!" Teriakan terdengar lagi, dan Ayumi tersentak. Khawatir kalau mertuanya itu akan benar-benar menyakitinya. Ia belum pernah marah selama ini.
Ayumi mengendap mendekati pintu, secepat mungkin, tetap tanpa suara, mendekati pintu depan.
"Kau hanya memanfaatkan nama kami untuk menjadi terhormat. Tapi kau sendiri tidak berguna!” Teriakan itu diiringi suara sesuatu yang pecah.
Ayumi yang tadinya masih ragu, semakin yakin akan adanya bahaya. Ia menggeser pintu sampai membuka, lalu menutupnya sepelan mungkin. Ia berlari secepat mungkin setelah itu. Melintasi halaman. Ayumi berpakaian lengkap, memakai mantel dan sepatu, tapi hanya membawa dompet dan ponsel. Dua benda itu ada padanya karena memang Ayumi tadi berencana pergi berbelanja sore.
Hanya celaan mertuanya yang sekali lagi menusuk telinga membuat Ayu tidak tahan. Ia mencoba memberi jalan keluar, karena sudah jelas dirinya tidak mandul. Jalan keluar yang rupanya mengundang bencana.
"Taksi!" Ayumi mengangkat tangan dan taksi itu berhenti. Ayumi masuk dan menyebut alamat yang diingatnya saat ada keadaan darurat. Rumah pamannya, hanya itu tempat yang bisa dituju Ayumi. Satu-satunya keluarga yang ada di negara tirai bambu itu,
***
“Tolong turunkan saya di rumah yang itu.” Ayumi menunjuk rumah berpagar abu-abu dengan gerbang kayu dengan ornamen shinto yang antik.
“Arigatou gozaimasu.” (Terima kasih)
Ayumi turun dan disambut gelap yang dingin. Musim gugur dan malam. Angin yang menerpa tubuhnya semakin membuat Ayumi merasa letih. Pikirannya yang lelah akibat celaan, kini dibarengi lelah fisik.
Ayumi menekan bel rumah yang menjadi tempatnya tumbuh dengan tangan gemetar.
“Ya!” Terdengar sahutan, dan pintu gebang itu terbuka.
“Ayumi!” Sambutan ceria membahana, dari Karina, bibi Ayumi.
Karina menjadi bibinya bukan hanya karena menikah dengan Hideki---adik dari ayahnya, tapi Karina adalah adik kandung ibu Ayumi juga. Jarak usianya tidak jauh dari Ayumi tapi. Ibu Ayumi menikah muda, sedang jarak usia Karina dan ibunya juga jauh. Karina hanya enam tahun lebih tua dari Ayumi yang saat ini dua puluh.
“Ya, kemari.”
Dengan suara penuh prihatin, Karina menggeser pintu depan yang terbuat dari shoji ke samping lebih lebar, lalu memeluk Ayumi. Pelukan hangat yang memang dibutuhkan Ayumi. Ia memang sudah lama menceritakan pelik rumah tangganya pada Karina. Meski hanya lewat pesan, Karina tahu benar bagaimana derita Ayumi.
Karina membiarkan Ayumi menangis dalam pelukannya beberapa lama. Membiarkannya menumpahkan sesak, sebelum membawanya ke ruang tamu.
“Aku lega kau disini. Aku tidak akan bertanya kenapa atau memintamu menceritakannya.” kata Karina, sambil mengelus bahu Ayumi. Meski tidak bertanya pun, penyebabnya tidak akan jauh dari mertua jahat.
Karina sudah beberapa kali meminta Ayumi pergi, hanya Ayumi belum mampu. Ia terlalu menyayangi suaminya. Kaito bukan suami kejam tidak berperasaan. Ia memperlakukkan Ayumi dengan baik, lembut dan perhatian. Yang menjadi masalah adalah ibunya.
“Aku tidak bisa meninggalkan Kaito, Bibi,” bisik Ayumi, sambil menghapus air matanya.
“Dia tidak membelamu lagi hari ini bukan? Kau masih ingin mempertahankannya?!" Karina mendesis jengkel.
Ayumi sedikit tersentak, karena itu benar. Ayumi teringat sakit hatinya yang lain. Kaitto tidak pernah membelanya. Kaitto biasanya menghindar saat ibunya mulai mengamuk, dan meminta Ayumi mengalah, tidak melawan ibunya.
"Sudahlah. Kau disini dulu intinya. Pamanmu belum pulang, dia memang biasa pulang larut. Kita bicarakan lagi nanti." Karina bangkit sambil menepuk pelan bahu Ayumi sebelum keluar dari ruang tamu itu.
Ayumi menggangguk lalu mengamati sekitar agar tidak ingin menangis lagi. Rumah itu menjadi tempat tinggal Ayumi selama sepuluh tahun. Dari umur delapan, sampai delapan belas, sampai ia menikah dengan Kaitto. Sekarang meski pamannya sudah menikah dengan Karina selama dua tahun, tatanannya nyaris tidak berubah.
Ayumi masih melihat aneka lukisan Jepang kuno, topeng oni berwarna merah, juga katana yang menggantung. Pamannya memang berselera klasik. Ia pria Jepang tulen yang sangat menjaga budaya nenek moyangnya.
“Ini. Aku harap akan membuatmu lebih tenang.” Karina kembali, sambil meletakkan segelas susu hangat di hadapan.
Ayumi mengangguk, dan meminumnya. Susu itu hangat, membuatnya nyaman. Sebentar saja kantuk datang. Ayumi sampai heran. Ia tidak tahu tubuhnya selelah itu sampai sedikit nyaman dari susu bisa membuatnya mengantuk.
"Kau lelah? Istirahat di dalam. Ayo."
Ayumi tidak terlalu ingat bagaimana, tapi matanya sudah hampir memejam saat Karina menuntunnya ke kamar, dan membantunya berganti baju tidur. Ia menurut saja, dan mengikuti saat Karina menggelar futon (kasur lipat).
“Selamat tidur." Ayumi masih mendengar Karina mengucapkannya, dan setelah itu gelap. Ayumi tidak ingat lagi.
***
Hideki nyaris bersin saat hidungnya mencium aroma wangi yang tidak biasa begitu membuka kamarnya. Tidak buruk, hanya menyengat dan membuat kepalanya sangat ringan, tapi Hideki juga tidak berpikir panjang. Ia minum sake tadi, mungkin terlalu banyak walau ia tidak merasa mabuk.
Hideki membuka jas dan kemeja, sambil melirik gundukan tertutup selimut di atas futon. Hanya bayangan gelap karena kamarnya memang remang-remang.
Hideki tidak akan mengusik, dan meneruskan membuka celana, menyisakan boxer. Tapi dengan aneh kepalanya semakin terasa berkabut. Aroma manis dan wangi itu, sepertinya bukan aroma biasa. Hideki ingin mencari dari mana asalnya, tapi saat melangkah tubuhnya sedikit oleng.
"Nanti." Hideki menyerah dan menggelar futon yang lain, berbaring di samping tubuh yang tertutup selimut itu. Hideki lalu mencoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba ada tubuh bergerak merapat.
“Minggir, ada apa denganmu?!" Hideki mendesis kesal. Ia tidak ingin Karina mendekatinya. Tidak ada jawaban tapi terdengar desahan, lalu ada tangan terulur memeluk tubuhnya.
"Sejak kapan kau merasa boleh menyentuhku?!” Hideki semakin kesal dan menurunkan tangan yang ada di pinggangnya itu. Tapi tangan itu keras kepala, malah menarik tubuhnya semakin dekat. Hideki biasanya tidak akan terpengaruh kalau tidak sangat mabuk, tapi hembusan dan desahan itu menggoda---belum lagi tubuhnya juga mulai terasa panas.
Hideki meraih tangan di pinggangnya, lalu mendorongnya sampai telentang, dan ia bergerak naik menindih tubuh hangat yang terus mendesis itu. Hideki mengelus pipi yang embalik wanita yang memeluknya, dan bergerak naik ke atas tubuhnya. Hideki mengelus wajah wanita yang ada di bawahnya,
"Kau gatal rupanya. Kau menginginkannya?" gumam Hideki. Berpikir jika wanita itu adalah Karina---istrinya.
Desahan berat terdengar saat Hideki mengelus leher dan juga meraba tubuh di bawahnya, tapi dalam sekali raba, Hideki tahu kalau tubuh itu berbeda. Ukurannya berbeda, lebih sintal dari Karina, tangannya juga tidak bisa menangkup dada yang biasanya pas di tangannya.
Melawan pusing dan nafsu, Hideki bangkit menghidupkan lampu. Mata Hideki yang berwarna gelap melebar saat melihat tubuh yang terbaring dan pasrah—dengan baju berantakan, dan bukan istrinya.
“Ayumi?” Hideki membelalak tidak percaya. "Kenapa kau di sini?!" Hideki nyaris kembali terjatuh akibat kejutan itu. Sejak tadi yang disentuhnya adalah Ayumi.
Dan semakin buruk. Ayumi mulai menggeliat dan mencoba membuka gaun tidur tipis yang sejak awal sudah mengundang itu.
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments