Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur.
Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya.
Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat
“Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang dirasa cukup memuaskan.
Dengan bekerja, Ayu yakin dia masih memiliki kesempatan untuk hidup, dan tidak harus ada di sini. Meski tidak mudah, tapi Ayu akan terbebas dan benar-benar memiliki kehidupan baru. Dengan bekerja, Ayu tidak hanya akan menyibukkan diri dan membuatnya mudah melupakan Kaito, tapi juga akan menyelesaikan masalahnya dengan Hide.
Pemikiran itu membuat Ayu sedikit tenang, dan akhirnya bisa tertidur. Meski dalam gelisah dan dihantui mimpi buruk. Tentang Kaede, Kaito, Karin, yang menuding ke arahnya dalam hinaan wanita murahan, lalu Hide yang mengejarnya dengan garang. Sampai akhirnya air mata Ayu menetes dari sudut mata, karena mimpinya beralih ke kedua orang tuanya.
Tangan berwarna kecoklatan terulur, menghapus air mata itu. “Nakanaide, Yumi.” (Jangan Menangis, Yumi). Bisikan lirih, yang jelas tidak akan membangunkan Ayu.
Hide masuk ke kamar itu beberapa saat lalu, dengan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sama sekali. Kini berdiri di samping ranjang, sedikit menunduk. Setelahnya Hide hanya berdiri, entah berapa lama, mengamati kegelisahan Ayu, dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya. Dan Hide keluar dari kamar Ayu dini hari—setelah Ayu tertidur lebih nyenyak.
***Tubuh Ayu terasa sangat berat saat dia terbangun. Beberapa bagian tubuhnya juga terasa sakit karena memar. Tidak perlu mencari tahu, Ayu tahu benar dari mana asal lebam dan rasa lelah tubuhnya. ‘Perang’ yang terjadi kemarin, tidak mungkin tidak membekas. Perangnya dengan Karin, perangnya dengan Kaede, dan tentu ‘perang’ bersama Hide, akan membekas—bahkan bukan hanya secara fisik.
Tapi Ayu mengabaikan semuanya—mencoba melupakannya. Karena sekarang adalah hari di mana dia harus berperang dengan nasibnya sendiri. Ayu sudah bertekad, berjuang memperbaiki nasibnya yang memburuk hanya dalam waktu sekejap kemarin. Ayu masih merasa apa yang terjadi bagaikan mimpi, tapi tetap memaksakan diri untuk bangun. Ayu tahu dia tidak boleh tenggelam dalam kesedihan itu dalam waktu lama.
“Kau akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja. Besok masih ada.” Ayu bergumam, sambil melipat futon dan menyimpannya kembali di lemari.
Ayu menatap sekitar. Tadi malam dia belum sempat memandang sekitar, maka Ayu kini mengamati semua dengan lebih baik. Kamar yang selama bertahun-tahun pernah ditinggalinya. Tidak ada yang berubah, semua masih sama. Hide tidak memindahkan satu barang pun dari sana, hanya kamar itu dibersihkan secara rutin saja.
Ayu menatap beberapa poster penyanyi J-rock yang menjadi favoritnya yang masih utuh menempel di tembok, juga aneka macrame yang tetap tergantung pada tempatnya. Hiasan dinding berbentuk anyaman tali itu adalah buatan Ayu. Untuk mengembalikan fungsi otaknya setelah menjalani operasi tumor otak dulu, Ayu diperkenalkan pada aneka macam crafting, tapi menganyam tali macrame adalah apa yang tersisa sampai dirinya dewasa. Ayu berhenti total baru setelah dirinya menikah. Kaede menganggap berjam-jam waktunya menganyam hanyalah percuma dan tidak akan membantunya hamil.
Ayu mendesis, mengusir kenangan pedih itu, dan beralih pada kertas-kertas penuh tulisan kanji juga menempel di dinding. Ayu meraih salah satu kertas yang tertempel. Itu adalah tulisan dalam huruf kanji pertama yang dibuat oleh Ayu. Sebagai anak berumur delapan tahun, tentu Ayu sudah bisa membaca huruf latin. Tapi pengetahuan itu tidak berguna di sini. Ayu harus belajar dari nol untuk menulis dan membaca huruf kanji. Kertas yang dibawanya adalah tulisan kanji yang ditulisnya dengan benar, tanpa bantuan dari Hide
“Watashi wa oji ga daisuki desu.” (Aku menyayangi Paman)
Ayu bergumam membaca tulisan penuh lekuk yang jauh dari rapi itu. Itu adalah tulisan pertama Ayu, dan tentu saja yang disebutkan adalah Hide. Pria itu adalah dunianya saat itu. Dunia tempat Ayu bersandar. Satu-satunya harapan yang membuat Ayu tidak menyerah menghadapi penyakitnya. Semua semangat dan keinginannya untuk hidup, berasal dari Hide saat itu. Tapi kini sosok yang yang begitu dipuja Ayu, seolah tertelan malam kelam. Dia begitu berbeda, sampai Ayu tidak lagi mengenalinya.
Ayu menghela napas, kembali menempelkan tulisan itu di dinding, lalu berjalan dan keluar dari kamar. Sadar jika waktunya tidak bisa terbuang untuk mengenang. Dia harus bergerak. Ayu sudah bertekad untuk mencari pekerjaan hari ini, tapi yang jelas dia membutuhkan makan. Hampir seharian kemarin dia tidak menelan apa pun, kecuali susu yang diberikan Karin. Tentu saat ini perutnya sangat lapar.
Langkah kaki Ayu berhenti di depan dapur. Hide berdiri di sana, dan tampak memasak sesuatu di atas kompor. Saat melihat bagian punggung Hide seperti itu, Ayu tidak merasakan ada perubahan apa pun. Dia masih seperti Hide yang dulu dilihatnya, mungkin hanya gaya rambutnya saja yang berubah. Hide yang selalu menyiapkan makanan untuknya, sampai Ayu bisa melakukannya sendiri.
“Aku akan menyiapkan makanan untukmu sekali ini, tapi setelah itu kau sendiri yang harus menyiapkan.” Hide belum berbalik, tapi dia sudah mendengar langkah kaki Ayu dan juga mendengar bagaimana dia hanya diam menunggu.
“Bukan hanya menyiapkan untukmu saja, tapi juga untukku. Kau harus menyiapkan sarapan dan juga makan malam untukku, setiap hari.” Hide menambahkan sambil berbalik meletakkan dua piring omurice di atas meja. Satu-satunya meja yang tidak bergaya Jepang asli di rumah itu adalah meja makan. Mereka duduk di kursi untuk makan, tidak di lantai seperti di ruangan lain di rumah ini.
Ayu mengangguk, tidak keberatan dengan pembagian tugas itu. Dia juga tidak ingin tinggal secara percuma di rumah ini. Bahkan dulu sebelum Ayu menikah dan meninggalkan rumah ini, dia sudah mempunyai tugas untuk memasak. Perbedaannya, dulu Hide tidak dengan khusus memberinya tugas itu. Biasanya saat Ayu mempunyai banyak kegiatan di sekolah, maka Hide yang memasak. Atau saat Hide pulang terlebih dulu, maka dia juga akan memasak, dan begitu sebaliknya. Atau terkadang mereka memasak bersama. Mereka dulu hidup dalam harmoni yang sempurna seperti itu. Harmoni yang sekarang sudah pasti rusak. Ayu bahkan tidak ingin berada di ruang yang sama dengan Hide saat ini.
Rasa lapar yang membuat Ayu duduk, tidak cukup untuk membuatnya berhenti ketakutan. Ayu harus meremas kedua tangannya di bawah meja dengan sangat erat—untuk menenangkan diri, sebelum bisa mengambil sendok untuk memakan omurice bagiannya. Dan pada gigitan pertama, Ayu kembali ingin menangis. Ayu menyalahkan emosinya yang belum stabil, karena seharusnya omurice itu tidak membuatnya menangis.
Rasanya tidak luar biasa lezat, tapi rasa itu adalah kenangan yang ada dalam kepala Ayu. Rasa omurice itu masih seperti yang Ayu ingat. Hangat, dengan sedikit manis dan asam dari saus tomat yang menghiasi permukaan kuning telur dadar yang mulus. Rasa itu perlambang kehidupannya yang damai dulu.
Ayu cepat-cepat menghapus air matanya. Tapi pada suapan kedua, Ayu kembali ingin menangis. Tapi kali ini bukan karena rasa. Ayu menangis karena sadar jika ini pertama kalinya dalam dua tahun ini—setelah masa pernikahannya—dirinya bisa makan dengan tenang, tidak takut oleh penilaian dan hujatan.
Ayu tidak keberatan memasak, tapi acara memasak dan makan, lambat laun berubah menjadi horor bagi Ayu, karena Kaede. Mertuanya itu selalu berhasil menemukan cacat dalam semua makan yang pernah dibuat Ayu selama dua tahun ini. Nasi yang terlalu keras, sup miso yang asin, ikan bakar gosong, dan masih banyak lagi. Itu sedikit contoh celaan yang dipakai Kaede untuk menilai masakannya. Membuat Ayu sulit untuk menelan saat makan bersamanya.
Ayu biasanya akan memilih untuk makan di dapur, di antara kegiatannya mencuci piring atau membersihkan dapur. Tentu Ayu juga membuat catatan apa saja yang harus diperbaiki saat itu. Selama dua tahun ke belakang, Ayu melakukan hal yang sama secara terus menerus. Tapi masakannya tidak pernah memuaskan bagi Kaede.
Ayu tadi berhasil menghapus air mata sebelum menetes, tapi kali ini tidak bisa seperti itu. Ayu bisa merasakan asin air matanya di antara butiran nasi yang dia makan. Semakin lama berada jauh dari rumah itu, Ayu semakin sadar jika Kaede mungkin adalah setan yang menjelma menjadi manusia. Dia keji. Ayu terus merunduk, tidak ingin mendongak dan memperlihatkan air matanya pada Hide. Bagi Ayu saat ini, Hide tidak lebih baik dari Kaede. Karenanya Ayu terus makan sambil menunduk. Menelan rasa asin itu tanpa banyak bicara, sampai Ayu tersentak, saat Hide bangkit.
“Aku akan pulang jam sembilan. Siapakan makanan sebelum aku pulang.” Setelah mengucapkan itu, Hide meninggalkan dapur.
Dan Ayu menyambutnya dengan helaan napas lega. Ayu akhirnya mendongak dan menghapus air matanya. Ayu mengingat pesan Hide, sementara menghabiskan sarapan itu dengan cepat. Masih banyak hal yang harus dilakukannya hari ini. Yang pertama tentu saja mencari pekerjaan.
Ayu sebentar meninggalkan dapur, dan kembali membawa laptop tua yang dulu dipakainya untuk sekolah, meletakkannya di meja makan. Dia juga bergerak mencari buku catatan dan pensil. Ayu mencari lowongan pekerjaan lewat laptop, dan kini mencatat lowongan mana yang sekiranya cocok untuknya. Dan sekali lagi, Ayu menyesali pilihan hidupnya. Dia menikah dengan Kaito, langsung setelah lulus, tanpa kuliah atau lainnya. Dia tidak menyesal telah mencintai Kaito, hanya sekarang merasa keputusannya menikah mungkin terlalu cepat.
Kaito saat itu mendesak karena mendapat rongrongan dari ibunya untuk memiliki cucu. Kaito saat itu menjanjikan Ayu untuk memberinya kebebasan jika ingin kuliah dan lainya. Tapi janji manis itu tidak terjadi pastinya. Kaede keberatan, dan mengatakan Ayu harus ada di rumah saja, tentu Kaito membujuknya agar menurut pada Kaede.
Ayu menghela napas, keputusannya itu kini menyulitkannya mencari pekerjaan. Ada beberapa pekerjaan yang cocok dengan kualifikasinya, tapi sama sekali tidak bergengsi. Tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Ayu ingin keluar dari rumah ini secepatnya.
Sampai siang, Ayu tanpa lelah terus mencari mencari. Mengirim lamaran online, dan menyiapkan berkas yang harus dibawa besok. Jepang mungkin sangat maju, tapi ada beberapa tempat yang masih menyukai cara lama, yaitu pelamar datang langsung. Ayu akan menjalani semuanya, apa pun pilihannya.
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage.Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit.Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu men
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran.Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana da
“AAGHH!” Ayu menjerit, menutupi wajahnya dengan tangan, dan menggelengkan kepala, tidak ingin menerima ciuman itu, tapi Hide menangkap kedua tangan Ayu dan menurunkannya dari wajah.“Apa lagi yang kau inginkan dari keluarga itu? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di sini, dan lupakan mereka! Apa aku tidak cukup?” Suara Hide lebih lirih, tapi Ayu sudah telanjur ketakutan dan tubuhnya semakin gemetar.Dengan kenekatan yang terakhir, Ayu mengibaskan kedua tangan Hide, dan berhasil melepaskan diri. Cengkeraman itu tidak terlalu kuat karena Hide mabuk. Dan dengan mudah Ayu mendorong tubuh Hide ke samping.Tanpa menoleh lagi, Ayu berlari sekencang mungkin menuju ke kamarnya dan menutup pintu.Diiringi napas tersengal, Ayu kembali luruh. Terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Untuk menenangkan gemetar, sekaligus menahan isakan yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. “Kenapa…” Isakan itu akhirnya tetap datang seiring air mata.
“Shokuji o tanoshinde.” (Selamat Menikmati)Ayu membungkuk lalu mundur dengan wajah penuh senyum, sambil merapikan kimono yang dipakainya. Pakaian itu sedikit merepotkan pastinya—karena Ayu tidak terbiasa, tapi kimono itu adalah keharusan saat bekerja di restoran. Kimono itu adalah seragam karena restoran tempatnya bekerja bertema klasik. Menyajikan masakan tradisional asli Jepang dengan dekorasi yang juga kental dengan nuansa Jepang kuno.Ayu awalnya ragu bisa melakukan pekerjaan itu, karena pengalamannya memakai kimono hanya saat pergi ke festival musim panas bersama Rie beberapa kali, tapi setelah dua hari dan mendapat tips dari pramusaji lain yang ada di restoran itu, Ayu dengan mudah beradaptasi dan kini bisa dengan lancar melakukan pekerjaan—bahkan berlari memakai kimono itu tanpa merusak bentuknya. Ayu juga menyukai lingkungan kerja di restoran itu. Karena sangat sibuk, membuatnya cepat lupa dengan segala kehidupan mengenaskan di dunia ny
“Apa yang terjadi dengan tanganmu?” tanya Hide saat melihat telunjuk Ayu yang tertutup perban, saat mereka berpapasan di dekat dapur.“Tergores pecahan cangkir.” Ayu menjawab sesingkat mungkin, lalu membungkuk dan berlari keluar. Berangkat menuju ke stasiun untuk bekerja. Tentu saja Ayu tergesa keluar, mencegah Hide bertanya lebih lanjut, maupun mempunyai ide untuk melarangnya. Ayu sudah cukup menyesal dengan bangun terlambat tadi. Tentu saja karena menangis cukup lama semalam. Kehilangan salah satu pekerjaan nyaris membuat Ayu kembali pada titik yang membuatnya putus asa.Tapi kini Ayu sudah kembali mendapatkan tekadnya hari ini. Dia sengaja mengambil shift pagi di swalayan, jadi nanti akan punya waktu luang untuk mencari pekerjaan lain. Ayu akan mencoba bertanya di restoran lain, atau mungkin swalayan yang lain. Ayu tidak akan menyerah dengan satu pekerjaan saja. Dia tidak ingin memperpanjang masa tinggalnya di tempat Hide. Ayu mempunyai tujua
Hide yang duduk pada kursi kulit mengilat berwarna gelap, menatap dua orang yang membungkuk di depannya, dengan pandangan datar. Tapi diamnya Hide itu justru membuat dua orang itu terlihat gelisah.Mereka tahu jika Hide yang diam, lebih berbahaya daripada Hide yang bicara.“Siapa di antara kalian yang melukai tangannya?” tanya Hide. Setelah beberapa lama, pertanyaan akhirnya datang. Dua orang yang ada di depannya terlihat semakin gugup, saling menatap. Pernyataan itu menyiramkan ketakutan pada kegelisahan mereka yang menumpuk.“S...saya, Sandaime." (Ketua Generasi Ketiga)Pria dengan tato di pipinya menjawab terbata, sambil kembali membungkuk.“Yamada? Apa yang kau lakukan padanya?” Hide menyandarkan kepalanya, kini hanya menatap Yamada.“Saya menendang pecahan cangkir, tapi gadis itu memegangnya. Tangannya tergores karena itu.” Yamada bercerita dengan tubuh membungkuk semakin dalam, lebih dari s
Ayu mengelus pakaiannya untuk merapikan diri. Sudah beberapa kali Ayu melakukannya, semenjak dia melihat bagaimana wujud dari kantor Shingi Fusaya Real Estate. Ayu merasa penampilannya mungkin sedikit kurang rapi, saat menyadari jika perusahaan itu lebih besar dari bayangannya. Informasi yang tertulis di internet kemarin tidak lengkap.Perusahaan itu menempati gedung lima lantai yang berada di daerah perkantoran utama kota Tokyo. Yang mana, sudah pasti harga tanah dan juga properti di situ sangat mahal. Bisa menempati satu gedung di situ berarti Shingi benar-benar kuat. Lingkungan pekerjaan yang ini akan sangat jauh berbeda daripada sekadar swalayan maupun restoran yang kemarin. Ayu merasa salah tempat saat pertama datang tadi.Tapi saat menunjukkan surat panggilan di lobi tadi, sudah dipastikan Ayu tidak salah tempat. Surat itu disambut, dan Ayu dengan cepat diantar ke ke area HRD yang ada di lantai tiga untuk menjalani wawancara. Bahkan wawancara itu juga tidak
“Bukankah kemarin kau memasukkan datanya di sini? Rumah yang ini tidak termasuk berharga mahal.” Ayu menunjuk folder lain, membantu Riko karena terlihat kebingungan.“Aaahh…” Riko mendesah panjang, lalu membuka folder yang dimaksudkan oleh Ayu, dan tentu akhirnya menemukan data rumah yang ada di depan mereka.“Hebat. Kau cepat sekali belajar rupanya,” puji Riko. Ayu hanya tersenyum malu, tapi gembira mendengarnya.“Aku tadi berpikir rumah ini akan termasuk yang mahal melihat ukurannya,” kata Riko, sambil membuka data dari tab di tangannya.Ayu sudah meninggalkannya, mulai mengukur lebar gerbang. Menunduk dan mencatat dengan teliti hasil pengukuran itu. Kerja lapangan memang termasuk bagian dari pekerjaan barunya. Untung saja, untuk kegiatan luar seperti ini, Shinigi menyediakan celana panjang hitam sebagai seragam. Ayu dulu sempat heran saat membayangkan dia harus bekerja di luar memakai rok pendek it