Share

BAB 3 Masuk Rumah Sakit

“Aauuw sakit”, jeritku saat perut terasa melilit. Ibu dan Laura langsung berlari ke kamar.

“Kamu kenapa nak, sakit?” tanya ibu mertuaku melihat keadaanku. Aku mengangguk sambil meringis menahan sakit keringat sudah membasahi seluruh tubuh dan dahiku.

“Ranti kita ke rumah sakit sekarang ya”, kata Laura meringis seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. Laura memegang tanganku dan memeluk pinggangku membantuku berjalan tapi tetap saja kesulian karena aku sulit untuk berdiri. Satrio yang berdiri diambang pintu langsung sikap meraih pingang dan mengangkat tubuhku. Aku tak kuasa menolak karean kondisi darurat.Laura berlari membukakan pintu mobil. Ibu menenteng tas berisi perlengkapan bayi mengikuti dari belakang.

“Ibu masuk dulu biar miranti tidur dipangkuan ibu”, kata Laura merebut tas yang dibawa bu Ismi dan mempersilahkan perempuan itu masuk mobil lebih dulu. Kemudian Laura menutup pintu dan duduk disamping Satrio yang menyetir. Mobil melaju dengan kencang menembus kegelapan malam, jalanan yang sepi membuat laju mobil bisa lebih cepat. Dalam waktu kurang dari setengah jam mobil sudah sampai di depan rumah sakit.

“Sus tolong sus ada pasien mau melahirkan”, teriak Laura pada suster yang lewat. Suster itu langsung mengambil brankar kemudian mendorongnya mendekati mobil.

Satrio masuk dan kembali menggendong tubuh Miranti kemudian dengan hati hati membaringkan di atas brankar.

Sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat Miranti menggenggam erat tangan Satrio sambil memejamkan mata. Laura yang melihat kejadian itu tersenyum simpul menatap Satrio yang tidak sengaja sedang memandang ke arah Laura. Sedangkan bu Ismi berjalan cepat mengikuti langkah mereka sambil menenteng tas besar berisi perlengkapan bayi.

“Bapak ibu tunggu disini pasien akan di tangani tenaga medis”, kata Suster menghalangi langkah kami untuk masuk.

“Silahkan bapak masuk temani istri bapak beri dia semangat”, kata suster lain sambil menarik tangan Satrio masuk ruang bersalin. Satrio bingung tapi tidak bisa menolak. Akhirnya dia masuk ke dalam ruang bersalin.

Laura yang melihat hanya geleng geleng kepala sambil memberi kode jempol pada Satrio.

Sementara bu Ismi baru sampai dengan napas terengah engah. Wajahnya penuh keringat.

Bapak duduk didepan kepala ibu, genggam tangannya untuk memberi semangat jangan lupa berdoa agar prosesnya di mudahkan”, kata dokter yang menanganinya. Dengan tubuh gemetar Satrio mengenggam tangan Miranti, seumur umur baru kali ini dirinya menemani orang lahiran.

“Mimpi apa aku semalam”, batinnya.

“Aakhh sakit”, pekik Miranti kesakitan. Tangannya mencengkeram kuat ke tangan Satrio membuat Satrio meringis kesakitan.

“Sakit… sakit mas”, rintih Miranti dengan mata terpejam. Naluri Satrio mulai tergerak dia mencium pipi Miranti dan membisikkan kata kata semangat dan juga doa di telinga Miranti membuat Miranti lebih tenang dan bisa mengikuti arahan dokter.

“Sabar sayang, aku disini bersamamu”, bisik Satrio di telinga Miranti.

“Mas…” erang Miranti membuat bulu kuduk Satrio merinding. Bukan apa apa hanya saja merasa kasihan pada nasib orang yang di cintainya. Disaat dia membutuhkan kehadiran suaminya dia malah mabuk mabukan sampai tidak sadarkan diri.

“Ibu dengarkan arahan saya ya, tarik napas keluarkan pelan pelan. Mulai satu dua tiga

“Tarik hembuskan, tarik hempuskan terus…”, kata Dokter memberi arahan.

“Aaakh sakit”, erangnya lagi.Satrio kembali memposisikan diri sebagai suami. Dia duduk dibelakang kepala Miranti dan meniupnya dengan lantunan doa kemudian mencium pucuk kepalanya. Melihat keadaan Miranti Satrio menitikkan air mata.

“Ayo bu sedikit lagi kepala bayinya sudah kelihatan”, kata dokter yang menanganinya.

“Semangat sayang , sedikit lagi”, bisik Satrio di telinga Miranti.

“hah.. hah hah

“Saya kasih aba aba hitungan ke tiga mulai ngejan”, kata dokter lagi.

“Satu.. dua… tiga.

“Hah hah hah Allahu akbar!”, teriak Miranti sekuat tenaga.

Oooeeek.. ooeek”, tangis bayi menggema memecah keheningan.

“Alhamdulillah, selamat ya putrimu sudah lahir cantik seperti bundanya”, kata Satrio mencium pucuk kepala Miranti. Miranti baru menyadari kalau yang berada disampingnya saat ini adalah Satrio bukan suaminya.

“Satrio.. kau”,Miranti melotot melihat keadaan Satrio yang acak acakan. Bajunya basah keringat dan tangannya berdarah dicengkeram Miranti.

perlahan Miranti melepas genggaman Satrio sambil membuang pandangan ke arah lain.

“Tersenyum dong, kau sudah menjadi seorang ibu,putrimu sangat cantik”, bisik Satrio di telinga Miranti, Miranti menoleh dan tersenyum ke padanya.

“Selamat ya pak bu, bayinya perempuan cantik seperti ibunya, oh ya pak ini bayinya di adzani”, Suster menyerahkan bayi yang sudah bersih dan cantik ke tangan Satrio.Laki laki itu dengan sigap menerima dan mengadzani. Setelah selesai membaringkan disamping Miranti.

“Terima kasih kau ada untukku saat aku membutuhkan orang yang mengsupport aku”, ucap Miranti menatap wajah Satrio. Laki laki yang masih mengharapkan Miranti itu tersenyum dan mengangguk.

“Silahkan bapak keluar dulu, ibu mau dibersihkan dan dibawa ke ruang rawat”, kata suster yang menanganinya.

Satrio keluar dengan langkah gagah dan penuh percaya diri,ada kebahagian tersendiri bisa menemani orang yang dicintai disaat saat sulit. Dia membuka pintu dn tersenyum pada Laura yang sudah menunggunya didepan pintu.

“Gimana Ranti?” tanya Laura tidak sabar, Satrio tidak mengubris pertanyaan Laura, dia bergegas menuju kursi tunggu yang tersedia. Kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya disana. Laura yang penasaran mengikuti dan menyerangnya dengan berbagai pertanyaan

“Gimana keadaan Ranti kampret!, ditanya kok malah senyum senyum”, ucap Laura kesal.

“Alhamdulillah udah lahir dengan selamat, bayinya perempuan cantik kaya bundanya, aku bangga dan bahagia bisa menemaninya disaat saat sulit”, kata Satrio matanya menatap plafon rumah sakit sedangkan pikirannya travelling ke mana mana sambil bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum.

“Hai sableng,kumat lo”, kata Laura menonjok bahu sahabatnya. Satrio tertawa melihat tingkah kocak sahabatnya.

“Ibu mertuanya kemana?” tanya Satrio mencari keberadaan bu Ismi.

“Tadi pamitnya sih ke mushola:, jawab Laura santai. Matanya lebih fokus pada pasien yang baru keluar dari ruang bersalin.

“Ranti” panggilnya kemudian berjalan mengikuti pasien membawa brankar menuju ruang rawat inap. Setelah masuk ruang rawat biasa Satrio berlari mengejar suster yang menangani tadi.

“Sus, maaf sebaiknya pasien ditempatkan dikamar VIP saja”, kata Satrio dengan napas memburu mengejar langkah suster.

“Tapi pasien meminta ruang rawat yang biasa”, kata suster menjelaskan.

“Pindahkan saja ke ruang VIP aku yang bertanggung jawab”, kata Satrio kemudian berlari ke ruang administrasi untuk menyelesaikan pembayaran. Suster bergegas kembali ke ruangan tadi dan memindahkan pasien ke ruang VIP.

“Mengapa dipindah sus?” tanya Laura pada suster jaga.

“Suaminya meminta pasien dipindahkan ke ruang VIP”, kata suster kemudian mendorong brankar ke ruang VIP.

“Suami?, mas Radite datang yah”, tanya Miranti pada Laura. Laura hanya mengedikkan bahu.

“Mungkin atas permintaan Satrio, mereka mengira dia suamimu, makanya dia disuruh masuk menemanimu saat lahiran”, kata Laura tersenyum membuat Miranti tersipu malu.

Pulang dari bagian administrasi Satrio bertemu dengan bu Ismi yang sedang berjalan gontai dikoridor rumah sakit.

“Bu, Miranti sudah lahiran dengan selamat, bayinya perempuan cantik”, kata Satrio terlihat ikut bahagia.

“Alhamdulillah cucuku sudah lahir, dimana mereka sekarang?”

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status