Share

BAB 2 MABUK

“Apa menyesal?, seharusnya aku yang menyesal, aku yang sedang bekerja dengan penghasilan yang lumayan harus menikahimu dan dikeluarkan dari kerjaan. Aku kira menikah dengan orang kaya hidupku akan enak, tapi ternyata malah sebaliknya.Harapan dan impianku hancur berantakan, semua ini gara gara kamu, kamu yang membuat hidupku jadi seperti ini”,kata suamiku . Aku menggigit bibirku untuk menahan sakit yang ku rasa saat ini.

“ Aku harus kuat”, gumamku dalam hati. Aku tidak mengindahkan omongan suami ku yang semakin ngelantur kemana mana. Dan bergegas ke kamar.

Aku berpikir sejenak untuk mengambil langkah selanjutnya. Kemudian bergegas mencuci muka dan memoles sedikit make up diwajahku agar bisa menutupi wajahku yang sembab kemudian berganti baju dan mengambil tas. Memasukkan semua perhiasan yang masih ku miliki untuk dijual.

“Tapi dengan siapa aku ke toko perhiasan, sedangkan perutku semakin sering kontraksi”. Diluar terdengar suara deru motor yang menjauh.Ku tengok dari jendela kamarku ternyata suamiku pergi mengendarai motornya.

“Syukurlah dia pergi, aku akan mencari ibu”. Kemudian aku mengunci pintu kamar dan menutup pintu depan untuk mencari keberadaan ibu mertuanya.

“Aku coba tanya di warungnya mba Yuni deh barangkali ada yang tahu keberadaan ibu”.

“Assalamualaikum bu Yuni,” sapaku memanggil yang punya warung.

“Eh mba Mira mau kemana, jangan jauh jauh mba, nanti lahiran dijalan repot”, jawab bu Yuni melihat ke arahku.

“Iya bu aku cari ibuku, kemana yah apa mba Yuni tahu?” tanyaku pada pemilik warung itu.

“Oh ibu mertuamu tadi ngutang gula di warung tapi katanya mau pinjam duit di bu Yola, dia mungkin masih disana”.

“Bu Yola rentenir itu bu?” tanyaku tak percaya.

“Iya coba saja kamu kesana, tapi … “mba Yuni menjeda ucapannya.

“Tapi kenapa bu?” tanyaku heran.

“Kamu diantar saja sama anakku, kalau mba Mira jalan sampai sana bisa bisa lahiran dijalan”, jawab mba Yuni khawatir. Aku hanya tertawa mendengar candaan bu Yuni pemilik warung. Napasku yang terengah engah semakin membuat mba Yuni panik.

“Mending mba Mira disini aja biar Anita yang memanggilkan bu Ismi”, kata mba Yuni kemudian memanggil anaknya yang bernama Anita.

“Nita kamu panggil bu Ismi dirumah bu Yola, suruh cepat balik, mba Mira mau lahiran”, perintah mba Yuni pada anaknya. Anita langsung menuntun motornya keluar sambil sesekali menatapku. Aku bersyukur hidup dilingkungan orang orang yang masih peduli dengan tetangga dan punya ibu mertua yang baik walau suamiku sudah sangat mengecewakan.

“Duduk dulu mba Mira, suami mba Mira kemana, kenapa mba Mira jalan sendirian, harusnya dia jagain istrinya yang mau lahiran”, tanya mba Yuni dengan tatapan menyelidik.

“Suamiku sedang kerja mba, aku dirumah sama ibu, saat aku ketiduran dikamar tahu tahu ibu pergi entah kemana”, jawabku berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya karena ini merupakan aib keluarga. Perutku semakin sering kontraksi sehingga keringat dingin mulai membasahi wajahku dan aku meringis manahan sakit.

“Mba Mira baik baik saja kan?” tanya mba Yuni mulai panik melihat keadaanku. Tak lama kemudian Anita datang bersama bu Ismi.

“Bu Ismi dari mana, ini mba Mira mau lahiran lho”, kata mba Yuni saat ibu baru turun dari motor.

“Benarkah, kita ke bidan sekarang?” ajak ibu mertuaku yang ikut panik melihat keadaanku.

Aku menarik napas agar lebih tenang dan berusaha menahan rasa sakit yang sudah mulai sering.

“Bu aku semula berniat ingin mengajak ibu ke pasar ke toko perhiasan”.

“Mau apa ke pasar”, tanya ibu mertuaku. Aku kembali menarik napas dan menghembuskan pelan.

“Mau jual perhiasan untuk biaya lahiran”, ucapku terbata bata.

“Jangan mba Mira, mending mba Mira istirahat aja di rumah, atau begini saja mba Mira disini dulu biar bu Ismi dan Anita yang ke pasar untuk jual perhiasan milik mu”, saran Mba Yuni.

“Sudah nak ngga usah dipikirkan ibu tadi pinjam uang untuk pegangan,pakai aja jika kamu membutuhkan jual perhiasannya nanti kalau kamu sudah bisa ke pasar”, kata meruaku menengahi.

Akhirnya kami pulang diantar Anita anak mba Yuni. Sampai dirumah aku langsung masuk kamar dan tiduran miring agar kondisi janin lebih rileks. Itu yang pernah ku dengar dan sekarang ku praktekkan. Dan benar saja rasa sakit itu lambat laun berkurang.

Sampai jam sembilan malam suamiku belum juga pulang, ibu terlihat gelisah menunggu kepulangan anaknya sedangkan aku sudah tidak perduli lagi.

Aku meraih ponselku yang kuletakkan tak jauh dari tempat tidur kemudian aku mencoba menghubungi sahabatku Laura

“Halo Laura apa kabar?” sapaku disambungan telepon.

“Ranti, ini kamu kan, gimana keadaanmu kenapa baru menghubungi aku, kemana saja selama ini?” cerocos Laura dari sambungan telepon.

“Nanti aku ceritakan tapi aku bisa minta tolong kan?” tanyaku dengan napas terengah engah.

“Kamu kenapa Ranti?” tanya Laura panik.

“Cepat ke sini bawa mobil, antar aku ke rumah sakit nanti aku sharelock”, kataku kemudian memutuskan sambungan secara sepihak aku cepat cepat mengirim alamat ku saat ini. Perutku semakin melilit dan sakit. Aku merintih.

“ Sabar ya nak sebentar lagi suamimu pulang”, kata ibu penuh harap. Dan ternyata benar diluar terdengar suara motor mas Radite. Ibu langsung berlari keluar menyambutnya, dan mas Radite jatuh didepan pintu masuk tak sadarkan diri, ternyata suamiku pulang mabuk berat. Ibu menangis histeris mengaksikan keadaan anaknya sehingga membuat tetangga berdatangan.

“Ada apa bu Ismi ada apa?” kata warga yang berdatangan.

“Radite pingsan tolong bantu kami”, kata ibu disela isak tangisnya.

Seorang warga berjongkok dihadapan tubuh Radite yang tergeletak didepan pintu masuk.

“Oh Radite ini pingsan karena mabuk bu”, kata pemuda yang berjongkok dihadapan tubuh Radite.

“Ya Allah nak, kenapa kamu sampai seperti ini?” tangis ibu kembali pecah melihat kondisi anaknya yang mabuk berat.

“Tolong di angkat dan tidurkan di sofa”, pinta bu Ismi pada warga yang menolongnya. Setelah mengangkat tubuh Radite warna pulang ke rumah masing masing, kini tinggal bu Ismi seorang diri didepan pintu. Tiba tiba datang mobil mewah warna hitam. Tak lama pintu mobil terbuka dan muncul seorang wanita cantik dengan seorang laki laki tampan.

“Maaf ibu apa benar ini rumah Miranti?” tanya Laura pada bu Ismi. Bu Ismi menatap heran dan curiga pada orang yang baru datang tersebut.

“Kalian siapa dan apa hubungannya dengan menantuku?”.

“Oh kami temannya, saya Laura dan ini Satrio, tadi Miranti menelpon kami untuk mengantarkan ke rumah sakit, Miranti sakit apa bu?” tanya Laura penasaran.

“Oh temannya to, menantuku mau lahiran”. Belum selesai ngomong dari dalam terdengar lengkingan suara kesakitan.

“Aaauuw.. sakit”.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status