Share

Bab 9

Jatah Sebelum Pernikahanmu (9)

Sepasang mata Arum menatap tajam ke arah Alesha yang masih berdiri mematung menatap cangkir yang pecah di lantai keramik putih itu.

"Lancang sekali kamu, ya!" teriaknya lagi.

"Maaf, Mba, aku terkejut karena teriakan Mba tadi," jawab Alesha lalu berjongkok.

"Kamu gak tahu seberapa berharganya gelas itu untuk Abizar, kalau dia tahu kamu akan merasakan akibatnya," ucap Arum sambil menunjuk Alesha.

Alesha memilih terdiam, memunguti pecahan cangkir ke tangannya. Dalam pikirannya hanya memikirkan Abizar, mungkin ia akan marah padanya saat ini seperti perkataan Arum.

"Makanya kalau bukan milikmu jangan pernah berani mengambilnya," cetus Arum sinis.

Alesha merasa apa kesalahannya pada Arum, sehingga ia merasa perempuan itu tak menyukainya sejak awal kedatangannya.

"Ada apa ini?" tanya Abizar yang masuk ke dapur untuk makan pagi.

Alesha yang tergesa-gesa tak sengaja terkena pecahan cangkir dan mengakibatkan jari telunjuknya berdarah seketika. Ia mencoba menekan agar darah tak mengalir.

"Lihat ulah istrimu, dia memecahkan cangkir kesayangan Fatimah," ucap Arum pada Abizar.

Abizar menatap Alesha, ia masih berdiri di samping Arum dan melihat wajah sang istri yang terus menunduk sambil mengumpulkan pecahan cangkir.

"Harusnya kamu itu gak menyentuh barang yang bukan milik kamu!" Arum lagi-lagi merasa bisa memarahi Alesha.

Abizar lalu membuka telapak tangannya dan mengarahkan kepada Arum untuk menghentikan ucapannya itu. Arum memandang tak percaya ke arah Abizar. Karena selama ini adik iparnya itu akan marah setiap kali ada yang menyentuh benda-benda kesayangan Fatimah. Bahkan, saat dirinya tak sengaja memecahkan bingkai foto Fatimah, Arum ingat benar bagaimana Abizar marah padanya.

"Kamu gak papa?" tanya Abizar yang kini berjongkok di samping Alesha.

Alesha menggeleng. "Maafkan, aku," ucapnya lirih.

"Kenapa meminta maaf hanya karena cangkir yang pecah?" Abizar tersenyum. "Berikan tanganmu," pinta Abizar lagi.

Alesha mengulurkan tangan kirinya.

"Apa ini? Berikan tangan kananmu," pinta Abizar lagi.

Alesha masih terdiam. Ia berusaha menyembunyikan luka di jari kanannya saat ini.

"Berikan!" pinta Abizar mengulang kalimatnya.

Perlahan Alesha mengulurkan tangan pada Abizar. Laki-laki yang kini sudah berganti dengan kaos putih itu segera meraih tangan Alesha dan membawa sang istri ke wastafel.

Abizar memutar keran, sehingga air kini mengalir ke luar. Mengulurkan tangan Alesha agar jari telunjuk yang terluka terkena air dan darah ikut mengalir di sana.

"Tunggu di sini dan biarkan jarimu tetap berada di sana," ucap Abizar lalu ke luar dari dapur.

Saat melewati Arum. Wanita berjilbab maroon itu melihat Abizar dengan tatapan aneh. Ia tak menyangka bahwa adik iparnya akan berbuat begitu lembut pada Alesha di hadapannya. Tentu saja hal itu membuat harga dirinya merasa jatuh.

"Cuma luka kecil doang, kan? Gak usah lebay," komentar Arum lalu melanjutkan menata meja makan.

Sementara Alesha memilih tak memedulikan ucapan Arum. Baginya perlakuan Abizar sudah sangat jauh dari ekspetasi-nya sendiri. Laki-laki itu benar-benar membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Seandainya, ia tak bertemu dengan Excel terlebih dulu, mungkin ciuman pertama itu tak akan terampas darinya. Ia akan memberikannya untuk Abizar. Suaminya.

***

"Ummi." Abizar memanggil ibunya saat tiba di ruang tengah.

Sang ibu yang sedang meletakkan kopi di meja untuk suaminya, segera menoleh ke arah suara Abizar. "Ada apa?" tanyanya.

"Kotak P3K di mana?" tanya Abizar lagi sambil membuka laci-laci di ruang tengah.

Ummi yang telah selesai meletakkan tiga cangkir kopi segera menghampiri Abizar.

"Kenapa? Apakah kamu terluka?"

Abizar tersenyum. "Bukan aku yang terluka, tapi Alesha," ucap Abizar.

Ummi tersenyum memandang Abizar. "Alesha yang terluka, tapi kamu yang panik seperti ini. Ummi pikir kamu yang terluka."

Ummi berjalan ke arah nakas dan membuka laci bawah. Mengeluarkan kotak putih dan memberikan pada Abizar.

"Ini," ucapnya. "cepat obati istrimu." Perkataan Ummi sukses membuat Abizar tersenyum malu.

***

Abizar masuk kembali ke dapur, melihat Alesha masih berdiri di tempat yang sama dan membiarkan tangannya di bawah air yang terus mengalir.

Abizar meletakkan kotak P3K di meja, membukanya dan mengeluarkan obat merah, kapas dan juga plester.

"Berikan jarimu padaku," ucap Abizar.

Alesha mengulurkan tangannya setelah sang suami mematikan keran.

Abizar benar-benar membuat Alesha jatuh hati pada akhlak yang ia miliki. Begitu lembut dan dengan sabarnya ia mengusapkan obat merah pada jari Alesha dengan kapas.

"Apakah sakit?" tanya Abizar.

Namun, Alesha tak menjawab pertanyaan Abizar. Karena saat ini ia terlalu fokus memandang wajah sang suami. Sambil tersenyum tipis.

"Apakah sakit?" tanya Abizar lagi, kali ini ia menatap Alesha.

Alesha yang tiba-tiba di tatap oleh Abizar menjadi salah tingkah karena terpergok tengah menatap wajah suaminya sedari tadi.

Tatapan mata itu terlihat begitu tulus, Arum yang masih menata gelas di meja bisa melihat adegan romantis itu dari sana. Adegan yang dulu sering ia lihat juga saat Fatimah masih hidup.

"Dasar, apakah mereka kira dapur ini hanya milik mereka," gerutu Arum lirih.

"Jika sakit katakan saja," kata Abizar lalu memasang plester.

Alesha menggeleng. "Terima kasih."

"Untuk apa?" Abizar memasukan obat merah ke kotak.

"Untuk pengobatan tanpa rasa sakitnya." Alesha tesipu saat mengatakan hal itu. "Dan juga karena tidak marah soal cangkir itu," lirihnya.

Abizar lalu mendekat dan berbisik di telinga kanan Alesha. "Aku masih belum memaafkan kamu karena memecahkan cangkir itu, tapi aku tidak marah. Hanya saja ... mendapatkan maafku itu pasti akan penuh perjuangan," ujar Abizar menggoda Alesha sambil tersenyum.

Sementara Alesha yang tak paham jika Abizar tengah menggodanya saat ini. Berpikir keras bagaimana jika Abizar tak mau memaafkannya.

Abizar lalu berbalik dan meninggalkan dapur. Sementara Alesha masih terdiam mematung tak percaya bahwa laki-laki itu ternyata kejam juga. Ia tak marah, tetapi dia tidak memaafkannya.

"Alesha, kamu gak papa?" tanya Ummi yang kini masuk ke dapur.

Alesha tersenyum. "Alhamdulillah, cuma luka kecil Ummi," jawab Alesha sambil menunjukkan jarinya yang terbungkus plester.

"Syukurlah, lain kali hati-hati, ya," pinta Ummi.

Alesha mengangguk.

"Luka kecil saja sampai harus Abizar yang turun tangan." Arum memandang ke arah Alesha saat sang mertua tengah mengambil sambal di kulkas.

Alesha melangkah dan mendekati Arum. "Apa ada masalah denganmu? Aku bisa diam sesuai keadaan, tapi aku bisa memberontak juga sesuai keadaan," bisik Alesha tepat di telinga iparnya.

Ummi kini berbalik dan tersenyum melihat kedua menantunya itu tengah berdiri berdampingan terlihat begitu akur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status