Share

Bab 8

Pagi ini semua orang bangun sebelum Subuh, Alesha yang ikut terbangun saat Abizar akan berangkat ke masjid, juga bersiap-siapa mengambil air wudhu.

"Sha, setelah pakai mukena nanti shalat berjamaah sama Ummi, Zahrah dan Mba Arum, ya," pesan Abizar.

Alesha hanya mengangguk.

Alesha menatap dirinya di depan cermin. Rasanya begitu nyaman dalam balutan mukenah. Ia bahkan, terlalu lama tak merasakan hal seperti itu lagi.

Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Alesha tersadar. Ia segera membuka pintu dan melihat Zahra tersenyum padanya.

"Mba Alesha, sudah siap ternyata," ucap Zahra sambil tersenyum.

Alesha membalas senyuman itu dan bergegas keluar dari kamar.

Zahrah membawa Alesha ke sebuah ruangan ukuran 3×3 meter, mushola mini yang ada di rumah ini memang khusus untuk shalat berjamaah dan juga shalat Sunnah.

Ummi Abizar sudah ada di Mushola bersama Arum dan putrinya. Sementara Zahrah dan Alesha baru masuk dan segera menggelar sajadah.

Setelah selesai shalat dan berdoa, Zahrah dengan cepat mencium takzim pada Ummi, Arum dan Alesha. Kemudian gadis itu keluar dari mushola terlebih dahulu.

Alesha yang kini segera mencium takzim tangan mertuanya dan kakak iparnya, Arum.

"Eh, mau ke mana?" tanya Arum. "Sini duduk dulu," ucapnya lagi.

"Ada apa, Mba?" tanya Alesha kembali duduk di atas sajadahnya.

"Di rumah ini, kan, tidak hanya suami kamu saja. Ada suami saya dan Abi. Jadi kalau keluar dari kamar, sebaiknya kamu gunakan hijab, rambut itu aurat, seharusnya hanya muhrimmu saja yang boleh melihatnya," papar Arum membuat Alesha tak enak hati.

Ummi yang baru saja selesai berzikir membalik tubuhnya dan menghadap ke arah Arum dan Alesha.

"Alesha," panggilnya lembut. "Kamu terlihat cantik, Nak, mengenakan mukenah itu," puji Ummi sambil tersenyum.

Alesha membalas senyuman mertuanya dan berkata, "Terima kasih, Ummi. Jujur Alesha nyaman menggunakan mukena ini. Alesha juga ingin memakai hijab, tapi baju-baju Alesha tidak ada yang seperti Ummi dan Mba Arum. Bahkan, jilbab pun Alesha tak punya yang besar," ucapnya jujur.

"Hari ini pergilah belanja dengan Abizar. Beli baju gamis yang kamu inginkan dan juga jilbab yang membuatmu nyaman," pinta Ummi.

Arum memandang mertuanya dan berkata, "Kenapa harus beli, Ummi? Baju-baju Arum dan jilbab Arum juga banyak yang sudah gak kepakai lagi," timpalnya tiba-tiba.

"Jika kamu sendiri tak ingin memakainya lagi, kenapa kamu tawarkan untuk orang lain?"

Arum terdiam.

"Sebaik-baiknya sedekah adalah barang yang kita sukai, bukan barang yang kita sendiri sudah tak menginginkannya lagi." Ummi lalu tersenyum pada Arum dan Alesha.

***

Setelah shalat Subuh, Arum kembali ke kamar begitu pun dengan Alesha. Jika Arum bergegas ke dapur untuk mulai memasak, Alesha justru bingung bagaimana caranya ia keluar kamar dan harus memakai jilbab. Sementara Abizar yang baru pulang dari masjid bersama Abi dan Ansyar kini telah sampai di kamar.

Alesha mengacak-acak kopernya, ia sama sekali tak mendapatkan apa yang ia cari, tanpa ia sadari Abizar yang kini telah berdiri di belakangnya memandang heran ke arahnya.

Baju kaos Alesha kini justru mendarat tepat di wajah Abizar membuat laki-laki itu tersenyum. "Kenapa? Apakah kamu ingin membuang seluruh isi dari dalam kopermu?" tanya Abizar yang masih mengenakan baju koko putih itu.

Alesha yang terkejut segera menoleh ke belakang. Menatap Abizar yang tengah menggeleng-geleng.

Alesha hanya tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang bersih.

"Kamu sedang mencari apa?" tanya Abizar.

"Aku ingin keluar, tapi tak ada satu pun aku memiliki gamis ataupun jilbab," ujar Alesha sambil duduk di tepi tempat tidur.

Abizar melangkah mendekat ke lemari. "Kemarilah," ucapnya lembut pada Alesha.

Perempuan itu segera mendekat pada sang suami. Menatap isi lemari yang berderet baju-baju gamis dan juga jilbab besar senada warna gamis.

"Baju-baju siapa ini?" tanya Alesha bingung.

Abizar tersenyum dan menunjuk foto wanita yang berada di tembok, membuat Alesha mengikuti arah pandang Abizar.

"Dia adalah Fatimah, almarhumah istriku," jawabnya.

Seketika Alesha menyadari bahwa ternyata Abizar pernah menikah, ya, ini juga kesalahannya yang tak bertanya-tanya terlebih dahulu tentang Abizar. Sekarang ia merasa bahwa dirinya terjebak dalam masa lalu sang suami. Bagaimana tidak, jika baju-baju dan fotonya saja masih berada di kamar ini dengan rapi, seolah-olah sang istri masih hidup dan berada di sini. Bagaimana bisa kemarin malam ia tak menyadari keberadaan foto itu.

"Apakah maslah jika, kamu memakai baju Fatimah dulu? Siang ini aku akan menemani kamu berbelanja," ucap Abizar membuat Alesha mengangguk.

"Terima kasih, ya." Abizar tersenyum lalu meraih baju gamis bewarna hitam dengan taburan mutiara di bagian pergelangan tangan.

Alesha meraih gamis pilihan Abizar dan hendak masuk ke kamar mandi. Namun, langkah kakinya terhenti saat laki-laki berpeci itu memanggilnya.

Alesha menoleh.

"Apakah tidak papa jika foto almarhumah istriku tetap berada di sana?" Pertanyaan Abizar membuat Alesha tak memiliki pilihan lain selain mengangguk.

Apa alasannya untuk menolak keinginan Abizar, toh, dia hadir dalam hidup laki-laki ini hanya karena sebuah pelarian dan perlindungan Abizar dari seorang bajing*n Excel yang berbahaya.

"Terima kasih banyak, sekali lagi," kata Abizar. "Kamu tak perlu mengganti baju di kamar mandi, aku akan keluar dari kamar."

Alesha tersenyum memandangi punggung suaminya yang kini telah menghilang di balik pintu.

'Ah, mungkin dulu Mba Fatimah sangat beruntung memiliki suami seperti Abizar. Ia memperlakukan wanita dengan sangat baik.' Batin Alesha.

***

"Subhanallah," ucap Ummi saat melihat penampilan Alesha mengenakan gamis hitam dipadukan jilbab segi empat panjang abu-abu. "Ummi seperti melihat Fatimah," lanjutnya membuat Alesha terdiam.

Arum yang tengah mengaduk kopi di cangkir juga ikut berkomentar. "Masih cantik juga Fatimah."

Suara Arum mungkin tak begitu terdengar, tetapi Alesha bisa membaca gerak bibir Arum. Dari awal saat melihat Arum , gadis itu tahu bahwa kakak iparnya itu tak menyukai dirinya. Terlebih kesan pertama yang terlihat memang tak begitu baik.

"Nah, Alesha setelah sarapan nanti pergilah dengan Abizar untuk membeli gamis-gamis baru," ucap Ummi yang menyiapkan lauk-pauk di meja makan.

"Abizar mengatakan akan menemaniku nanti siang saja, Ummi," jawab Alesha yang turut membantu menata piring.

"Ngapain beli lagi, baju-baju Fatimah pasti masih banyak di lemari. Setahuku Abizar tak ingin membuang apapun yang berhubungan dengan almarhumah istrinya," ucap Arum membuat Alesha menoleh ke arahnya.

Mungkin Alesha terlihat diam saja saat ini, itu karena ia menghormati orang-orang di rumah ini. Apalagi dia masih baru di sini. Jika tidak pasti ia akan membalas semua ucapan kakak iparnya itu.

Ucapan Arum sukses menganggu pikiran Alesha. Jika Abizar sebegitu cintanya pada Fatimah yang telah tiada. Lalu akankah Alesha mampu berada di hati sang suami.

Alesha merasa ia harus meminum coklat hangat agar bisa menenangkan diri. Ia berjalan menuju rak piring kaca, meraih cangkir putih dari dalam lemari.

Namun, ia dikejutkan dengan suara Arum yang membuatnya tak sengaja menjatuhkan cangkir dari tangannya dan pecah seketika.

"Aku sudah bilang jangan sentuh cangkir itu! Lihat apa yang kamu lakukan saat ini?" Arum menatap tajam ke arah Alesha, bukan karena cangkir itu berharga baginya. Akan tetapi, cangkir itu berharga bagi Abizar.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status