Tekad Candrakanti telah bulat. Pagi-pagi sekali, ia memanfaatkan kesunyian meditasi untuk keluar dari vihara. Ia membawa goloknya dan air untuk bekal. Menembus kabut yang gelap dan hawa yang dingin, sesekali Candrakanti menggosok lengannya yang terbuka kuat-kuat. Ia menerobos hutan menuju ibu kota Medang Poh pitu.Ibu kota Medang adalah tempat yang indah. Berbeda dengan kota Manisa di dekat Sima tempat Candrakanti tinggal. Poh Pitu adalah kota yang ramai meskipun matahari masih belum sepenuhnya bersinar. Dengan bekal informasi yang pernah diceritakan Jentra padanya, ia bisa menemukan padepokan pasukan Sanditaraparan di mana Jentra tinggal dan bertugas. Tempatnya memang bukan di jantung kota, namun di sisi sebelah barat kota dekat perbukitan yang bisa dipakai sebagai tempat latihan berkuda, memanah dan ketangkasan lainnya.Dengan hati-hati, ia mengamati tempat itu. Lalu bertanya pada penjaga tentang Jentra. Ia mengaku sebagai istri Jentra. Penjaga itu segera berlari menuju ruangan Je
"Aku tidak mengerti. Mengapa Jentra begitu berkeras untuk minta ditugaskan ke garis depan ekspansi Pengging, padahal ia belum berpengalaman pada perang terbuka." Kata Sasodara pada Amasu."Mungkin justru ia sedang ingin mencari pengalaman, Guru. Bukankah Guru sudah membekali Jentra dengan ilmu-ilmu yang hebat? Mungkin ia ingin mencobanya." Jawab Amasu."Kulihat kau sedikit aneh akhir-akhir ini Amasu?" Wiku Sasodara memastikan dengan memandang Amasu dengan tajam. Amasu menjadi sedikit salah tingkah."Aneh? Aneh bagaimana maksud, Guru?" Jawab Amasu sedikit tergagap"Beberapa hari lalu ada tiga orang perampok yang dihukum mati. Salah satu yang dihukum masih berumur tiga belas tahun bernama Biru. Kakak perempuannya menangisinya tiada henti dan berlutut di alun-alun sampai hari ini jika tidak diusir perajurit jaga. Apakah kepergian Jentra ada hubungannya dengan ini. Hhmm?""Eeehhm...eehhhmm saya tidak tahu, Guru." Jawab Amasu terbata-bata."Amasu!" Teriak Wiku Sasodara"Iya, Guru!" Jawab A
Hampir setengah hari Amasu dan Jentra menembus hutan Kalisrenggi yang rapat oleh pepohonan hingga puncak. Mereka beristirahat diantara bebatuan besar. Hawa dingin menggigit dan kabut mulai turun. Amasu melangkah beberapa ratus meter lagi ke atas dan ia menemukan sebuah nisan besar. Jentra heran melihat nisan itu, mengingat pada masa itu tak ada orang mati yang dikuburkan .Amasu menggeser batu nisan itu dan tanah di bawahnya bergetar. Sebuah batu besar di samping mereka bergerak membuka. Sebuah tangga ke bawah nampak menuju ruangan yang sangat gelap di dalam tanah. Amasu kemudian menyalakan obor dan menuruni tangga. Jentra mengikutinya.Di sepanjang dinding Amasu menyalakan obor yang tergantung sehingga tempat itu menjadi terang. Di dinding itu juga terukir berbagai posisi orang yang sedang berlatih meditasi dan bela diri. Jentra ternganga."Ini adalah tempat menyimpan abu kakek buyutku. Beliau adalah panglima dari kerajaan Galuh. Beliau sangat sakti. Tak ada yang bisa mengalahkann
Pasukan Jentra telah begitu kelelahan dihajar perajurit Pengging yang ternyata sangat tangguh. Apalagi Panglima perang mereka adalah Randujalak, ahli perang dan jenderal yang berpengalaman. BahkanKaruna Sankara dan Nagarjuna yang menjadi kekuatan utama Medang menghindari pertempuran satu lawan satu dengan Randujalak. Oleh karena itu, sebagai pasukan pelopor Jentra terpaksa berhadapan langsung dengan Randujalak."Hai orang Medang! Apa kalian kehabisan orang hingga mengirim bocah tengik ini melawanku." Teriak Randujalak."Suruh Karuna Sankara atau Nagarjuna menghadapiku. Jangan menghantar nyawa pemuda malang ini." Kata Randujalak menghina."Sudahlah Randujalak. Tidak usah berteriak-teriak. Lawanlah saja aku jika kau bisa. Aku Jentra Kenanga, pimpinan pasukan pelopor. Aku tidak akan mundur menghadapimu." Jawab Jentra"Baiklah! Bersiaplah untuk mati. Sebenarnya aku merasa sayang padamu. Kau masih begitu muda dan tampan, apalagi jika tanpa parut di wajahmu itu."Ejek Randujalak."Parut di
"Kakang....kakang...., bangun." Kata Rukma perlahan. "Ya Rukma, ada apa?" Tanya Jentra dengan mata yang masih terasa berat. Kenangan yang telah mengganggunya selama tiga tahun terakhir belum terhapuskan, membuatnya susah tidur. Apalagi saat ia kembali dari medan perang, ia tidak menemukan Candrakanti di rumah yang diberikannya. Kata Amasu, Candrakanti memilih untuk tinggal bersama kerabatnya entah dimana bersama dengan anak di dalam kandungannya. Ia menolak semua kebaikan yang diberikan Jentra. Setengah sadar Jentra mengerjapkan matanya. Rukma menunggu Jentra benar-benar telah bangun baru menjawab pertanyaan Jentra. " Kang Jentra, ada tamu di depan." Jawab Rukma. "Baik. Mintalah mereka menunggu. Aku akan mencuci muka dulu."Kata Jentra. Rukma mengangguk. Ia kemudian menemui kedua tamu Jentra dan mempersilahkan mereka untuk duduk. Rukma yang telah terbiasa dengan pekerjaan rumah di desanya, dengan mudah beradaptasi di rumah Jentra. Tanpa diperintah-pun ia juga menyiapkan air minu
"Mengapa Pangeran Balaputeradewa begitu berkeras ingin mendapatkan Mustika itu, Amasu?"Tanya Jentra"Aku juga tidak tahu, Jentra. Tapi sepertinya Pangeran ingin mengusai tanah Walaing di Kewu Selatan (Daerah perbukitan Bokoharjo Saat ini). Jika beliau berhasil menguasinya, tempat itu adalah pijakan bagus untuk menyerang Kedu. Tapi ini hanya perkiraanku saja, ya. Aku tidak berani berspekulasi lebih jauh. Namun membayangkan menjadi Chakrawartin yang dihormati raja-raja di seluruh wilayah bahkan dunia tentu bukan cita-cita yang kecil, mengingat Yang Mulia Maharaja tidak memiliki seorang putra." Kata Amasu"Hhhhmmm.....,itu menjadi hal yang mempersulit kedudukan kita. Di satu sisi kita mengabdi pada negara yang artinya tunduk pada Maharaja Rakai Garung, tapi sebagai Panglima pasukan Sandi harus tunduk kepada Pangeran Balaputeradewa. Jika keduanya harus berhadapan di medan tempur, kita akan memilih siapa? Aku juga kesulitan di dalam penugasan kali ini. Mengikuti perintah Pangeran Balaputer
Mpu Pugat Liwung murka ketika mendengar lontar milik leluhurnya tergadai oleh brahmana yang dipercaya menyimpannya. Bertahun-tahun keluarga Rakai Walaing menjaganya sebagai warisan rahasia yang kelak akan diberikan pada penguasa Medang yang sah dari keturunan Sanjaya, Rakai Panaraban. "Ranuhmaya bagaimana kita bisa kebobolan? Kau tahu betapa berharganya lontar itu bagi kebesaran Medang dan wangsa kita? Sekarang kita harus diam dan menahan diri diperintah oleh Rakai Garung, keturunan tidak sah wangsa Sanjaya. Sekarang dengan segala tipu daya, mereka mengambil milik kita yang paling berharga yaitu Lontar Anarghya." Kata Pugat Liwung. "Maafkan keteledoran saya, ayahanda. Karena tidak setiap kali saya memeriksa keadaan lontar itu. Saya pikir semuanya beres dan tertata seperti lontar-lontar lainnya." Jawab Ranuhmaya dengan wajah tegang dan sedih. "Kakek, apa isi lontar Anarghya itu? Mengapa semua orang begitu panik?" Tanya Mpu Kumbhayoni yang sedikit tidak terima ketika kakeknya memarah
Kerajaan Pengging memiliki Raja muda yang tampan dan adik perempuan yang sangat cantik. Raja Pengging bernama Basundra Naranata, seorang Raja yang adil dan sangat bijaksana. Sedikit berbeda dengan Raja Medang yang pemarah dan ambisius. Perang yang kadang terjadi diantara kedua negara ini dipicu banyak hal, dari masalah batas wilayah, agama dan yang terakhir adalah pernikahan. Rakai Garung merasa marah ketika akhirnya Basundra lebih memilih menikahkan adik cantiknya yang bernama Meitala Padmi dengan Rakai Panaraban dengan alasan seagama, daripada menerima keinginannya untuk menikahkan adik Raja Pengging itu dengan Pangeran Balaputeradewa. Basundra sendiri mencium keserakahan Rakai Garung atas tanah perbatasan Pengging yang akan dijadikannya sebagai perluasan ibu kota baru yang tengah digagasnya. Oleh karena itu perang-perang kecil sering terjadi di wilayah mereka. "Bagaimana hasilnya Cayapata? Adakah berita yang kau dengar dari Kanjuruhan mengenai Mustika itu?"Tanya Basundra. "Belu