“Sebenarnya kita mau ke mana sih, Bang?” tanya Ayu penasaran.Bahtiar melirik sang istri yang duduk di jok sebelah sambil tersenyum penuh arti. “Rahasia. Nanti juga tahu.”“Ih, Abang mah gitu!”Dia pura-pura marah sambil menyilangkan tangan di dada. Padahal sebenarnya, hatinya berbunga-bunga.Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka jalan-jalan. Pagi tadi, Bahtiar semangat sekali menyuruhnya mandi, mengenakan baju casual, dan membawa pakaian ganti. Alas kaki pun diatur harus pakai sandal atau sepatu antislip yang permukaannya tidak licin.“Pipi kamu merah dari tadi. Senang banget, ya?” goda Bahtiar.Ayu menahan tawa. Bibirnya manyun sementara pipinya menggembung lucu.“Siapa bilang? Aku nanya biar nggak salah paham aja, kok. Soalnya selama ini kalau diajak pergi, tujuannya nggak jauh-jauh dari rumah orang tua, kantor ekspedisi, atau toko bahan bangunan.”Bahtiar tertawa sampai bahunya berguncang. Dia tahu, Ayu hanya bercanda. Mereka memang sudah sepakat untuk memanfaatkan waktu den
Sisa hujan semalam masih menempel di ujung dedaunan. Tetes-tetes air berkilauan terkena sinar matahari pagi yang baru merangkak naik. Udara terasa segar, menyingkirkan pengap yang sejak beberapa hari lalu menyelimuti komplek perumahan.Ayu jongkok di dekat pot kalatea. Jemarinya cekatan membersihkan dedaunan yang mulai membusuk dari tangkai. Sesekali ia menghela napas lega melihat tanaman hiasnya kembali tampak segar.“Lagi bersih-bersih, Teh Ayu?”Ayu menoleh dan segera berdiri ketika melihat sosok berkerudung biru laut berdiri di luar pagar.“Eh … Bu RT rupanya,” sapa Ayu ramah sambil menepuk-nepuk kedua tangan untuk membersihkan sisa tanah. “Iya nih, Bu. Bersihin daun aja supaya lebih indah djpandang.”“Wah, rajin sekali pagi-pagi sudah berkebun,” puji Bu RT sambil tersenyum. Kerutan di ujung matanya menandakan ia sedang benar-benar senang melihat pemandangan itu.Ayu menghampiri wanita berusia setengah abad tersebut. “Kebetulan ada beberapa tanaman yang butuh pindah pot. Saya kerj
[1 Tahun Kemudian]Ruang keluarga di kediaman Bahtiar dipenuhi aroma suka cita. Tercium wangi bolu pisang berpadu dengan semerbak kopi. Obrolan diselingi canda tawa mampu menghangatkan hati.“Belinda mana?” tanya Bu Ely sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.“Biasa, bikin konten mukbang, Ma,” sahut Ayu. “Sekarang Sekar yang jadi target kolabnya.”Yang lain tertawa. Semenjak dinyatakan sembuh dan keluar dari panti rehabilitasi, Belinda ikut tinggal di rumah itu atas permintaan Ayu. Mereka ingin Belinda tetap dalam pengawasan agar tidak salah pergaulan lagi.Gadis itu mulai mencoba berbagai hal baru. Terbaru, ia ketagihan membuat konten makan besar tanpa memperlihatkan wajah. Katanya, uang dari hasil membuat konten itu akan ditabung untuk mendaftar wisuda. Padahal Bahtiar sudah berulang kali bilang ingin membayar, tapi ia menolak agar bisa mandiri.“Ayo, Pak, Bu, dimakan lagi kuenya.” Bu Ely mengangsurkan sepiring kue bolu kepada besannya.“Makasih, Bu.”Bu Ratna mencomot sepotong
“Kamu bohong, Yu,” ucap Bahtiar lirih. “Padahal saya sudah salat dan belajar agama. Saya meninggalkan pekerjaan yang haram. Tapi kenapa Allah masih memberi ujian seberat ini?”Ucapan Gugun kembali terngiang di kepala Bahtiar. Aboylah yang menyebarkan fitnah bahwa kantor ekspedisi mereka sebenarnya adalah gudang penyelundupan narkoba. Pasca dipecat dari sana, Aboy menempel ke pengusaha lain dan membantunya mendirikan konter ekspedisi baru.Yang paling membuat Bahtiar tak habis pikir, ternyata motif dari semua perbuatan Aboy adalah asmara. ASMARA! Sejak SMA, Aboy rupanya menyimpan perasaan tak lazim kepada Bahtiar. Ia menjadi sangat geram sebab semenjak menikah, Bahtiar sangat bucin kepada istrinya.Ayu menggenggam jemari Bahtiar. Pandangannya menyapu deretan bunga krisan yang bermekaran di halaman. Ia lantas teringat ayat Alquran surat Al-Ankabut ayat 2.“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji?”Dita
“Bos, ternyata ini semua ulah si Aboy!” bisik Gugun, tangan kanan Bahtiar selama bekerja di koperasi.“Maksudnya?” Kening Bahtiar berkerut. Ia tak mengerti permasalahan apa yang sedang Gugun bicarakan.Gugun lantas mengeluarkan beberapa lembar dokumen serta foto. Ada dua laporan keuangan koperasi yang selisih nominalnya mencapai ratusan juta rupiah.Bahtiar mengambil laporan itu dan membacanya sepintas lalu. Selembar foto di sebelahnya lebih menarik perhatian. “Ini … apa?”“Si Aboy itu pengkhianat, Bos! Dia bersekongkol dengan Anita. Bukti palsu yang Anita serahkan ke polisi itu bikinan Aboy!”“Apa?!”Bahtiar membaca laporan keuangan sekali lagi. Ia pernah melihat bukti palsu yang Anita serahkan ke polisi. Bentuk dan formatnya sama persis dengan yang Gugun bawa.“Bagaimana dengan foto ini?”“Ini!” Gugun menunjuk foto yang Bahtiar pegang. “Ini buktinya kalau Aboy juga bersekongkol dengan pesaing kita!”Dalam foto itu, Aboy tampak sedang berbincang dengan pemilik koperasi pesaing dan pe
Ayu menghambur ke dalam pelukan Bahtiar. Air matanya tak terbendung. Hatinya mengharu biru setelah melihat tampilan notifikasi di ponsel Bahtiar.Pesanan baruTitik Penjemputan: Jalan KenangaTujuan: Stasiun KotaTerima ✓Bahtiar diam terpaku. Napasnya tercekat. Pelukan sang istri serupa mantel tebal di musim hujan. Hangat dan menenangkan. Selama ada Ayu, ternyata hidup masih baik-baik saja.“Sejak kapan Abang jadi driver taksi online?” tanya Ayu setelah mengurai pelukan.“Sudah seminggu,” jawabnya gugup.“Maaf kemarin-kemarin aku sempat suudzon. Abang, sih, nggak mau ngaku. Kenapa coba ditutup-tutupi segala? Jadi driver online kan juga pekerjaan halal.” Bibir Ayu cemberut.Bahtiar mengalihkan pandangan ke arah lain, tak kuasa menatap mata Ayu yang berbinar-binar.Ayu mendekat lalu menangkup pipi Bahtiar agar kembali menatapnya. Bahtiar melingkarkan kedua tangan di pinggang ramping istrinya.“Aku bangga sekali padamu, Bang. Terima kasih ya sudah berjuang meskipun harus dari bawah.”Ra