"Safia ...," ucapnya lirih dan serak. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu tersenyum getir, melihat sejoli di hadapannya.
"Waktu aku ngasih tahu alamat ini, Jevin bilang sudah pernah kesini nganterin kamu. Iya, Fi?" tanya Embun dengan senyum yang selalu tersungging di bibirnya. Fia hanya mampu mengangguk pelan, tuk menjawab.
"Sebentar ya ...," ijin Fia kepada kedua orang di hadapannya. Gadis itu masuk ke dapur dan mengambil kue brownis, kemudian keluar kembali menemui sahabatnya.
"Aku buatin brownis buat kamu Bun, anggep aja ucapan selamat atas jadian kembalinya kalian," ujar Fia berbohong sambil menyerahkan kue itu ke Embun.
"Ihh ... baik banget kamu, makasih ya." Embun mencium sahabat mungilnya itu penuh haru. Lalu gadis itu memotong kue brownis, kemudian mengigitnya.
"Gila enak banget ... Je cobain deh," ujar Embun sambil menyuapkan sepotong brownis ke mulut Jevin, cowok itu mengunyah kemudian mengangguk-anggukkan kepala pertanda dia setuju kalau brownis itu enak.
Safia hanya mampu menahan sesak di dada, melihat pemandangan di depannya. Sungguh ia tak menyangka jika cowok yang beberapa hari terakhir selalu jadi penyelamat hidupnya adalah kekasihnya Embun. Sahabat terdekatnya sekarang.
Ketiga anak muda itu pun, kemudian terlibat obrolan. Menjadi obatnya dalam obrolan manja Embun pada Jevin membuat Safia merasa jengah. Dan menurutnya Embun juga tidak punya perasaan memamerkan kemesraan pada dirinya yang baru saja patah hati.
Kebosanan yang dilanda Safia ternyata disadari oleh Jevin. Gadis mungil yang biasanya ceroboh sekali itu sedari tadi cuma diam. Entah menyimak obrolan atau tidak. Dan yang pasti senyum palsu yang dilukis Safia, tertangkap di mata Jevin. Tanggapan Safia yang begitu datar padanya dan juga Embun membuat dirinya merasa tidak betah.
"Sebaiknya kita pulang saja yuk, Bun! Sapa tau Safia masih sibuk dengan kerjaan dia," ajak Jevin pada Embun yang masih asyik bercerita sesekali menggigit brownies buat Safia.
"Iya nih. Masih ada beberapa kue yang harus aku bikin nih. Banyak orderan," sambar Safia cepat.
Hatinya memang berharap kedua sejoli itu lekas pergi dari hadapannya. Selain tidak nyaman rasanya, entah kenapa ada hawa panas yang mengalir di darah bila melihat sikap manja Embun pada Jevin.
"Ya udah deh, kita pergi dulu ya, Fi." Embun menyetujui usul Jevin. Setelah mendapat anggukan kecil dari Safia, kedua sejoli itu pun berlalu.
Safia sendiri begitu kedua sejoli itu pergi, segera menyuruh Sabira adik kembar ceweknya untuk segera menutup toko dengan alasan sedang tidak enak badan.
"Perasaan tadi happy-happy aja waktu bikin brownis," guman Sabira heran melihat kakaknya yang terlihat begitu galau menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Aneh." Sabira hanya bisa mengendikan bahu tak tahu.
Safia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, begitu sampai di kamar. Gadis itu memegang dadanya yang berdenyut nyeri.
"Aku pikir setelah remuk berkeping-keping, dan sudah mulai tertata. Kau tidak akan hancur lagi hiks," kesah Safia sedih kepada hatinya sendiri.
"Akh ... Beteeeee," teriak Safia galau.
***
Setiap hari Safia merasa hatinya terasa panas, melihat kemesraan yang ditujukan Embun kepada Jevin saat mengantar atau menjemputnya di kantor. Apalagi saat semua teman kantor bilang kalau keduanya adalah pasangan yang romantis, ada rasa tidak rela dalam hati Safia.
Gadis itu hanya mampu menanggapi obrolan Embun dengan senyum yang palsu, saat tengah membicarakan Jevin. Sebenarnya dirinya juga heran kenapa tiba-tiba hatinya begitu cepat berlabuh pada Jevin. Perasaan sayangnya pada Vino entah menguap ke mana sekarang.
"Besok malam Jevin akan mengajakku makan malam di rumahnya," cerita Embun pada Safia ketika mereka sedang makan siang di kantin.
"Bagus dong," jawab Safia sekenanya sambil terus menikmati soto ayam.
"Apanya yang bagus, Mamanya Jevin gak pernah respek sama aku Fi dari dulu."
"Kenapa?"
"Entahlah, aku juga gak tahu. Sepertinya dia sudah punya calon tersendiri untuk anaknya itu."
"Maksudmu?"
"Jevin pernah bilang setelah putus denganku, pernah mengenalkan seorang cewek ke Mamanya. Namun, tanggapannya sama seperti ke aku," tutur Embun sambil mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan.
"Tapi dia berjanji akan terus membujuk Mamanya agar mau menerimaku sih. Hey ... Kok jadi mirip kisahmu sama Vino ya?"
"Please deh gak usah sebut nama itu lagi! Udah ya ... Aku masih banyak kerjaan nih," pamit Safia setelah mengelap mulutnya dengan tisu.
Kemudian gadis itu berlalu meninggalkan temannya sendiri di kantin. Embun hanya mampu menatap kepergian sahabatnya itu dengan heran, dia merasa akhir-akhir ini Safia agak sedikit aneh.
"Mungkin efek dari patah hati karna ditinggal kawin oleh pacar," guman Embun berpikir positif. Dia pun berjalan menyusul sahabat dekatnya itu.
***
Dengan langkah yang lemas Safia menaiki anak tangga menuju kamar, langkahnya terhenti begitu mendengar ibu memanggilnya.
"Apa, Bu?" tanyanya sambil meneruskan jalannya menuju kamar.
"Hari minggu besok, temani Ibu ke rumah teman ya," pinta ibu begitu sampai di kamar.
"Males ah ... Minta ditemani Bira ato Biru aja, Bu." Dengan malas Safia menolak permintaan ibunya.
"Gak bisa. Harus kamu yang temani Ibu!"
"Kenapa harus aku?"
"Rahasia. Pasti kamu akan senang bertemu teman Ibu nanti," jawab ibunya membuat Safia mengernyitkan dahi.
Ibu hanya memberi senyuman untuk menjawab kebingungan Safia, wanita paruh baya yang masih terlihat ayu itu berlalu meninggalkan anaknya.
***
Ibu memberi Safia dress selutut tanpa lengan berwarna putih untuk dipakai, kemudian memoles wajah Safia dengan sedikit make-up. Safia melihat pantulan dirinya di cermin, dengan gigi kelincinya gadis itu merasa mirip Pevita Pearce( he he he Safia kepedean).
Setelah mengepang ke samping rambut Safia, Ibu memberi dua jempol kepada anak gadisnya itu.
"Sebenarnya mo kemana sih, Bu?"
"Nanti juga akan tahu," jawab ibu lalu menggandeng putrinya untuk pergi.
Sebuah taksi online membawa anak dan ibu itu ke rumah megah bergaya klasik. Safia sedikit bingung, mana mungkin ibunya yang hanya seorang penjual roti bisa berteman dengan orang yang punya rumah semewah itu. Begitu memasuki halaman Safia merasa tidak asing dengan tempat itu, dia pernah merasa pernah kemari tapi tepatnya kapan dia tak ingat.
Setelah dibukakan pintu oleh seorang pelayan, kedua orang itu pun masuk. Safia kembali merasa tak asing dengan suasana dalam rumah. Tak lama seorang wanita paruh baya kisaran empat tahunan diatas ibu, muncul. Wanita itu begitu cantik dan elegant meskipun sudah tidak muda lagi.
"Hai ... Ratih. Apa kabar?" sapa wanita itu hangat, dia langsung memeluk ibu Safia.
"Baik Bu Jenni,"jawab Bu Ratih sumringah. Wanita yang bernama Jenni itu kemudian menatap Safia.
"Safia kah ini?" tanya Bu Jenni ke ibu, ibu tersenyum mengiyakan.
"Imutnya ... Apa kabar Sayang?" sapa wanita itu hangat dan lagi sambil memeluk Safia.
"Baik Tante," jawab Safia.
"Dulu masih kecil, sekarang udah gede aja. Manis lagi," puji Bu Jenni. Safia hanya tersenyum kecil menanggapi.
"Sebentar saya mo panggil anak saya dulu" Bu Jenni masuk ke dalam.
"Dia akan memanggil calon jodohmu," bisik Ibu ke Safia.
"Jodoh? Apa maksudnya sih, Bu? Fia bingung deh."
"Hust ... Gak usah keras-keras kita tunggu saja, pasti nanti kamu suka," suruh ibu semakin membuat Safia merasa bingung.
Tak berapa lama muncullah Bu Jenni dengan anak lelakinya, seorang pemuda yang beberapa hari ini telah mengisi hatinya lalu memporak- porandakannya.
"Jevin ...." Mata Safia terbelalak melihat anak dari Bu Jenni.
"Safia???" Jevin pun sama terkejutnya.
Bersambung.
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin