"Safia???" Jevin pun sama terkejutnya.
Pemuda berpostur tinggi sekitar 180 cm itu tampak mengerjap beberapa kali untuk memperjelas pandangan. Dan ketika objek yang dilihat semakin mendekat pemuda itu tidak bisa mengelak lagi kalau gadis yang akan dikenalkan oleh sang mama adalah sahabat akrab kekasihnya sendiri.
Bu Jenni sendiri tampak begitu senang melihat anaknya sudah saling kenal.
"Kamu masih ingat dia, Je?" Bu Jenni menunjuk ke Safia dengan semringah.
"Dia temannya Embun, Ma." Jawaban Jevin dibalas pelototan mata oleh Bu Jenni. Pasalnya wanita itu tidak suka anaknya menyebut nama gadis lain di depan teman lamanya.
"Ini Safia ... Anaknya almarhum Pak Dahlan sopir kita dulu." Bu Jenni mencoba mengingatkan anaknya. Jevin berusaha mengingat-ingat, tapi sepertinya dia masih lupa. Namun, dalam hati ia mengakui jika wajah Safia memang tidak asing di otaknya.
"Sudahlah ... sebaiknya kita makan siang dulu, mari!" ajak Bu Jenni kemudian. Safia dan ibunya mengangguk dengan senyuman menyetujui usul Bu Jenni.
Mereka berempat pun berjalan, menuju meja makan. Di mana di meja kayu jati cokelat itu sudah terhidang berbagai macam makanan. Ada sop buntut, ayam bakar, cah kangkung, perkedel, dan juga sambal.
"Ayuk duduk di sini, Fia!" Bu Jenni sengaja menyuruh Safia duduk bersebelahan dengan putranya. Wanita itu tidak sungkan menarik kursi di sebelah kanan Jevin untuk diduduki Safia.
"Eee ... makasih, Tante," ucap Safia ramah. Sedikit ragu gadis itu mendaratkan pantatnya di kursi itu. Sementara Jevin diam saja saat Safia menoleh ke arahnya.
Sepanjang acara makan, yang lebih banyak bicara adalah Bu Jenni. Dia menceritakan semua tentang masa kecil Jevin, kenangan almarhum Pak Dahlan saat masih menjadi sopir di rumahnya.
Sesekali Bu Ratih ikut menimpali. Wanita itu juga berupaya mengingatkan kembali kenangan indah masa kecil Safia di rumah itu. Serta bercerita tentang betapa dulu dekatnya Safia dan Jevin saat masih kecil.
Safia dan Jevin sama-sama terdiam saja dan hanya menyimak. Namun, dalam hati keduanya mulai mengakui kebenaran cerita itu walau masih samar.
Kemudian Bu Jenni kembali bercerita. Kali ini tentang meninggalnya almarhum sang suami, Gavin Prasetyo. Yang telah berpulang menghadap Tuhan setahun lalu akibat terkena serangan jantung.
"Sebelum meninggal suamiku berpesan agar aku segera menjodohkan Jevin dengan Safia, guna memenuhi janjinya pada almarhum suamimu, Tih," tutur Bu Jenni pada ibunya Safia.
Safia dan Jevin sama-sama tercengang mendengarnya. Apalagi Jevin. Pasalnya pemuda itu sudah berjanji pada Embun sang kekasih akan segera meminangnya.
"Janji apa sih, Ma? Kok aku gak tahu," potong Jevin bingung. Sungguh hatinya menolak jika dirinya harus dijodohkan dengan Safia.
"Tar biar Mama cerita semua," sahut Bu Jenni pada anak semata wayangnya itu.
"Kami turut berduka mendengarnya. Kenapa tidak mengabari kami saat Pak Gavin meninggal, Bu?" tanya ibu Safia.
"Saat itu kami sedang kacau, Tih. Jadi lupa memberi tahu kalian," ujar Bu Jenni dengan gurat kesedihan di wajah.
Ibu Safia manggut-manggut mendengar jawaban Bu Jenni. Memaklumi.
Kemudian mereka kembali berbincang lagi. Kali ini Bu Jenni menanyakan tentang kehidupan Bu Ratih. Bu Ratih pun menjawab seperlunya.
Begitu juga dengan Safia, saat mama Jevin bertanya tentang aktivitasnya, gadis itu jujur mengaku jika tengah bekerja di kantor yang sama dengan Embun pacar Jevin. Namun, sepertinya Bu Jenni tidak peduli saat baik Safia maupun Jevin menyinggung tentang Embun.
Setelah puas berbincang, Bu Ratih dan Safia pun meminta ijin pulang.
"Jevin, tolong antar mereka pulang, ya!" suruh Bu Jenni pada putranya.
"Eee ... a-aku ...." Jevin menggantungkan ucapan. Pemuda itu mengusap tengkuknya pelan. Tengah berusaha mencari alasan yang tepat guna menolak perintah sang bunda.
"Kami bisa pulang sendiri kok, Tante," ujar Safia melihat ekspresi wajah yang ditujukan Jevin. Kentara sekali kalau pacar Embun itu malas mengantar ia pulang.
"Iya, kami juga sudah pesan taksi kok." Bu Ratih menimpali omongan sang putri.
"Oh kalau begitu ya sudah. Kalian hati-hati ya," ucap Bu Jenni.
Safia dan ibunya mengangguk bersamaan. Setelah adegan berpelukan dan bercipika-cipika usai, ibu dan anak itu melangkah pergi.
"Ma ... Perjodohan apa sih? Siapa sebenarnya mereka? Tolong jelaskan ini semua," ujar Jevin begitu Safia dan ibunya pergi.
"Jevin ... coba ingat kejadian lima belas tahun yang lalu, saat usiamu baru tiga belas tahun. Saat Pak Dahlan sopir kita beserta anak dan istrinya masih tinggal di sini," pinta Bu Jenni.
Kembali wanita itu bercerita siapa itu Pak Dahlan beserta keluarganya. Jevin mencoba mengingat, pikirannya kembali ke lima belas tahun yang lalu.
***
Flas back 15 tahun yang laluSaat itu Jevin yang baru menginjak bangku SMP kelas tujuh, sedang asyik bermain dengan seorang gadis kecil beserta adik kembar yang masih balita. Gadis kecil yang usianya terpaut tiga tahun lebih muda darinya, adalah anak dari sopir dan pembantunya yang tinggal di situ.
Ketika anak- anak itu tengah asyik bermain, sekawanan perampok datang sambil menembak pistol ke udara. Sontak bocah- bocah itu menjerit takut. Namun, Jevin kecil dengan keberaniannya melempar salah satu perampok itu dengan sebuah vas, dan tepat mengenai ketua perampok itu hingga mengeluarkan darah dari pelipisnya.
Sang ketua perampok itu langsung menodongkan senjatanya ke arah Jevin, melihat Jevin hendak ditembak perampok, Safia kecil mendorong tubuh Jevin. Hingga tembakan itu mengenai kepala gadis kecil itu.
DORRR ...
Mendengar suara tembakan, Ibu Ratih yang sedang berada di dapur belakang, segera berlari ke arah suara. Betapa terkejutnya dia mendapati anaknya sudah berlumuran darah.
"Fiaaaaa ...," jerit Bu Ratih histeris. Para perampok itu segera beraksi, ada yang menggasak harta, ada pula yang menyekap Ratih, Jevin, dan kedua balita kembar itu.
Tak berapa lama datanglah Pak Gavin beserta istrinya dari kantor, dengan disopiri Dahlan. Melihat rumah yang kacau segera mereka berlari masuk ke dalam rumah. Gavin dan Dahlan mencoba menolong Ratih dan Jevin dari sekapan sang perampok. Mereka terlibat baku hantam.
Gavin yang memang mempunyai keahlian bela diri, mampu menolong anak dan istri sopirnya.
Ketika sedang berusaha menolong melepaskan sekapan Jevin, sang ketua perampok yang membawa pistol itu menodongkan senjatanya ke arah Gavin. Dahlan yang menyadarinya segera mendorong tubuh Gavin menjauh.
DORRR
Tubuh Dahlan ambruk ke lantai, sekawanan perampok itu bergegas melarikan diri.
"Mas Dahlaaaan ...," jerit Ratih histeris. Gavin berlari menolong Dahlan.
"Tolong jaga anak dan istri saya, Pak!" pinta Dahlan sambil meringis kesakitan, tangannya memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah akibat tembakan tadi.
"Kamu harus kuat! Aku akan membawamu ke rumah sakit segera." Gavin mencoba membopong Dahlan, tapi Dahlan menolak dengan gelengan kepalanya.
" Tolong ... Selamatkan a a anak sa saya," pinta Dahlan dengan nafas yang tersengal sambil menunjuk Safia kecil yang tergeletak.
"Maass ... Jangan tinggalkan saya!" Ratih memeluk suaminya.
"Bapak tolong janji untuk menjaga mereka se se mu a," mohon Dahlan kepada majikannya, nafasnya semakin tersengal.
"Ayaaahhh ...." Teriak bocah kembar anaknya itu mendekat.
"Iya saya janji, Lan. Akan menjaga mereka semua. Bahkan menikahkan Jevin dengan Fia kelak, supaya dia menjadi anak menantu saya." Gavin berjanji, Dahlan tersenyum dalam kesakitannya. Lalu mencium kedua anak kembarnya itu.
"Ja jaga me mereka ...," pintanya pada Ratih, Ratih menganguk-angguk dalam isaknya.
"Asshadu ala illaha illalah ... W* asshadu anna Muhammad rosululah ...." Dahlan menghembuskan nafas terakhirnya.
"Tidaaaakkk ... Mas bangun! Bangun Mas." Ratih meraung -raung sedih.
"Sabar, Ratih!" Jenni mengelus punggung pembantunya itu. Nafas Ratih tersengal-sengal, dia terjatuh pingsan.
Safia yang malang, gadis kecil itu tidak bisa melihat pemakaman ayah tercintanya. Dia sendiri tengah menghadapi maut, sudah seminggu lebih gadis itu koma. Jevin kecil begitu sedih melihat keadaan Safia, di sekujur tubuh gadis itu penuh dengan alat. Remaja itu hanya mampu menangis dan berdoa untuk kesembuhan Safia.
Ketika Safia terbangun dari komanya, seluruh keluarga berucap syukur bahagia, tak terkecuali Jevin. Namun, keadaan Safia begitu kacau. Gadis itu akan berteriak histeris jika mengingat kejadian yang menimpanya, dia trauma berat.
Terpaksa keluarga Gavin memindahkan gadis itu ke tempat lain, untuk menghilangkan traumanya. Gavin membelikan sebuah ruko untuk tempat tinggal mereka sekalian untuk tempat usaha.
***
Belain rambut sang Mama, membuat Jevin kembali sadar dari lamunannya. Akhirnya Jevin mengingat tragedi itu kembali.
"Dulu kamu begitu menyayangi Safia. Kamu nangis terus ketika mereka semua pindah dari sini," tutur Bu Jenni lembut.
Jevin menunduk. Hati kecilnya mengakui itu. Namun, beberapa detik kemudian muncul bayangan Embun di matanya.
"Tapi, Ma ... Sekarang yang aku cintai itu Embun. Hanya dia, Ma!" sergah Jevin tegas.
Bu Jenni menghela nafas panjang mendengar ucapan anaknya.
"Ingat, Nak! Kepala ini yang akan tertembus peluru kalo tak dihalangi gadis itu," ujar Bu Jenni sambil memegang kepala anaknya. Ibu dan anak itu saling menatap. "Dan kalo tidak karna Pak Dahlan yang menolong Papamu, kamu sudah jadi anak yatim sejak kecil," lanjut Bu Jenni mengingatkan.
Jevin hanya mampu menggelengkan kepalanya mendengar penuturan ibunya. Sungguh hatinya mulai dilanda galau.
"Biarkan Mama memenuhi janji Papamu, Nak. Supaya beliau tenang di alam sana," pinta Bu Jenni memelas.
Dia membingkai muka sang anak dan menatap matanya lamat-lamat. Jevin melepas pegangan tangan ibunya.
"Mama mohon, Jevin. Please!" pinta Bu Jenni mengiba. Kevin tak menjawab. Pemuda itu hanya menghela napasnya pelan.
"Mama tidak pernah meminta apapun darimu, jadi tolong kabulkan permintaan Mama! Tolong nikaihlah Safia, tunaikan janji mendiang Papamu!" Bu Jenni menangkupkan kedua tangan di dadanya.
Jevin masih terdiam. Bingung harus bicara apa. Di satu sisi dia sangat mencintai Embun. Namun, di satu pihak dia tidak ingin membuat ibunya sedih jika menolak menikahi Safia.
"Arghh!" Jevin menggugat rambutnya frustrasi.
"Mama tahu kamu anak baik dan penurut." Bu Jenni berkata seraya memegang kedua pundak putranya, lalu mengusap rambutnya lembut. "Mama yakin kamu tidak akan pernah mau mengecewakan hati orang yang telah melahirkanmu ini," harap Bu Jenni lagi-lagi penuh permohonan. Membuat hati Jevin tak tega melihatnya. Lalu usai mengusap rambut putranya, wanita itu pun beranjak pergi.
"Tapi aku hanya cinta Embun, Ma ...," ucap Jevin lirih dan sedih begitu sang bunda berlalu.
Bersambung.
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin