Sebuah mobil berwarna hitam melaju membelah jalanan malam itu. Sebuah mobil dimana ada dua orang pria beda usia di dalamnya. Siapa lagi jika bukan Tama sang CEO dan juga Rey sang asisten yang kini sedang serius duduk di belakang kemudi. Sejak keluar dari rumah Daksa, Rey melihat jika atasannya tampak lebih diam dari biasanya. Sepertinya laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu. Hanya saja Rey tak ingin bertanya ataupun mencari tahu.“Rey,” panggil Tama membuyarkan lamunan laki-laki itu.“Iya Tuan,” ucap sang asisten.“Sejauh mana kamu mencari tahu tentang Zahra?” tanya Tama. Rey menatap wajah sang atasan dari balik kaca spion.“Untuk sementara saya hanya mencari tahu sebatas status dia saja, Tuan. Saya pikir langkah awal yang harus saya ambil hanya sebatas apa benar jika nona Zahra adalah anak kandung dari Tuan Daksa. Dan ternyata hal itu memang benar. Hanya saja…” Rey terdiam sejenak karena Tama tiba-tiba saja memotong ucapannya.“Hanya saja kenapa?” tanya Tama cukup antusias.“Hanya
“Zahra tunggu!” ucap wanita paruh baya pemilik kedai bernama Mirna. Gadis itu menoleh lalu tersenyum.“Iya Bu?” tanya Zahra setelah posisi mereka berdekatan. Leo yang melihat hal itu sebenarnya sedikit penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh sang atasan. Akan tetapi tatapan tajam dari Ibu Mirna membuat Leo mengerti dan mengangguk lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam dapur untuk melakukan pekerjaannya disana. Walaupun sesekali dia tetap saja mengintip interaksi dua wanita berbeda jabatan itu."Kedai kita kedatangan tamu kehormatan. Dia baru saja datang beberapa menit yang lalu. Dan dia ingin kamu yang melayaninya secara khusus," ucap Ibu Mirna. Zahra mengerutkan keningnya bingung."Aku? Tapi kenapa Bu? Memangnya siapa dia?" tanya Zahra tidak mengerti. Menurutnya dia adalah pegawai paling junior di kedai tersebut. Masih banyak para pelayan lain yang lebih berpengalaman akan tetapi kenapa tamu itu menginginkan dia."Kamu datangi saja langsung. Tidak ada waktu lagi untuk menj
Zahra terus menyibukkan dirinya dengan fokus menyiapkan cappucino pesanan dari Tama. Dia tampak sangat hati-hati dalam meracik semua bahannya. Gadis itu tidak mau jika sampai satu gelas cappucino saja bisa membuat hidupnya berada dalam bahaya. Sekelebat bayangan senyum menyeringai dari Tama terus mengganggu konsentrasi gadis itu. Berulang kali dia menggelengkan kepalanya untuk mengusir gambaran tersebut. Leo yang sejak dari tadi memperhatikan gadis di depannya yang bertingkah sangat aneh, mengerutkan keningnya bingung.“Ra, apa yang terjadi? Katakanlah sesuatu agar aku bisa membantumu!” ucap Leo. Akan tetapi lagi dan lagi Zahra tidak memperdulikannya. Dirinya seolah tuli dan juga bisu.“Sudah selesai,” gumam Zahra pada akhirnya. Melihat hal itu, Leo semakin bingung. Hanya untuk membuat satu gelas cappucino saja kenapa gadis di depannya itu sampai berkeringat dingin seperti telah selesai berperang?"Ra…." Leo yang hendak berbicara lagi, langsung dipotong oleh Zahra."Sebentar ya Kak.
"Hmm, baiklah kalau begitu. Ada yang ingin kami tanyakan tentang Tuan Satria,” tanya inspektur polisi itu.Mendengar nama Satria, keringat dingin mulai muncul di tubuh Zahra. Apalagi di depannya kini ada sosok Tama yang menjadi dalang dari kematian Satria. Gadis itu mengalihkan pandangannya menatap laki-laki yang masih tenang menyeruput segelas cappucino itu. Dia tampak sama sekali tidak terganggu dengan apa yang diucapkan oleh polisi baru saja.“Sepertinya orang ini memang psikopat,” batin Zahra.“I.. iya.. ada apa ya Pak?” tanya Zahra dengan sedikit gugup. Dia kembali menatap para polisi itu lagi.“Begini nona Zahra, kami mendapat laporan dari kedua orang tua Tuan Satria bahwa Tuan Satria belum juga kembali ke rumah sampai sekarang. Mereka kehilangan jejak sama sekali. Dan dari informasi yang kami dapat jika Tuan Satria terlihat terakhir kali adalah bersama dengan anda. Apakah itu benar?” tanya inspektur polisi. Zahra terdiam sejenak. Pandangannya bolak-balik antara Tama dan juga
"Apa kamu yakin bisa pulang sendiri? Jika kamu mau aku bisa mengantarkanmu sampai depan rumah," ajak Leo. Laki-laki itu sangat khawatir karena dia melihat sejak kedatangan polisi dan juga CEO perusahaan Kalingga's Group tadi, Zahra menjadi lebih pendiam dari biasanya."Tidak usah Kak. Aku bisa pulang sendiri kok. Ini kan masih sore, masih terang," jawab Zahra sambil tersenyum."Apa kamu baik-baik saja, Ra? Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Sejak dari pagi tadi, tingkahmu berubah. Sangat berbeda dari biasanya," tanya Leo lagi. Lagi-lagi Zahra tersenyum menanggapi rasa cemas sang teman."Aku beneran gak apa-apa Kak. Serius. Ya sudah, aku pulang dulu ya," pamit Zahra pada akhirnya. Leo hanya bisa melihat gadis itu yang berjalan semakin menjauh."Ayolah Leo, mau sampai kapan kamu akan jadi pengecut seperti ini? Cepat katakan cintamu pada Zahra! Tapi bagaimana dengan Satria? Ah, beberapa hari ini laki-laki itu tidak pernah datang kemari kan? Jadi apa salahnya jika aku tikung dia dari bela
Seperti yang sudah direncanakan tadi malam, hari ini sepulang kerja Zahra pergi bersama dengan Leo. Sejujurnya berjalan sore hari berdua dengan seorang laki-laki membuat dirinya sedikit paranoid. Bayangan kejadian dulu bersama dengan Satria adalah sebuah memori yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Itu sebabnya, kali ini dia menggunakan pakaian yang lebih tebal dari biasanya. Zahra sengaja menggunakan dua buah jaket untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Bukan dirinya tidak percaya kepada Leo akan tetapi dia hanya takut kejadian buruk sebelumnya akan terulang. Bukankah sebelumnya dia juga sangat percaya kepada Satria?“Sudah siap?” tanya Leo kepada Zahra yang baru saja keluar dari kamar mandi kedai untuk berganti pakaian.Gadis itu mengangguk. Melihat pakaian yang dikenakan oleh Zahra, membuat Leo sedikit mengernyitkan dahinya.“Apa kamu sakit?” tanya Leo kemudian.“Tidak,” jawab Zahra singkat sambil menggelengkan kepalanya.“Lalu kenapa menggunakan jaket berlapis seperti itu? Sore in
“Zahra, aku ingin bicara suatu hal yang penting,” ucap Leo. Gadis itu masih menatap laki-laki di depannya dalam diam.“Zahra, aku tidak tahu apa ini adalah waktu yang tepat atau tidak, tapi sejujurnya jika aku tidak melakukannya hari ini, aku takut jika aku tidak akan mendapatkan waktu lagi.""Ada apa Kak? Kenapa jadi serius seperti ini sih?" ucap Zahra yang mulai tidak sabar dengan kata-kata pembuka Leo.Laki-laki itu memejamkan matanya lalu menarik nafas dalam. Kedua tangannya masih menggenggam kedua tangan Zahra."Zahra, aku mencintai kamu. Maukah kamu menjadi kekasihku?" ucap Leo pada akhirnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang seolah dirinya sedang melakukan perang saja.Zahra terdiam. Dia tidak menyangka sedikitpun jika Leo akan menyatakan cinta kepadanya. Sejujurnya bagi Zahra sendiri, Leo itu sudah seperti kakak kandung sendiri. Dan sekarang ketika laki-laki itu menyatakan cintanya, sungguh membuat gadis ini bingung."Aku tahu kalau kamu baru saja putus dari Satria. Ak
Akhirnya setelah berpikir panjang, Zahra pun memutuskan untuk ikut dengan Rey pergi menuju mansion Tama. Dia tidak mau jika sampai mereka kehilangan rumah peninggalan sang Ibu dan dia juga tidak mau jika kedua laki-laki itu menyeret dirinya seperti mereka menyeret koper roda miliknya tadi.Zahra kini sedang duduk di kursi tengah diapit oleh kedua orang laki-laki. Sedangkan Rey duduk di depan bersama seorang sopir yang mengendarai mobil tersebut. Sepanjang perjalanan, pikiran Zahra sangat kacau. Rasa takut, bingung, gelisah, semua menjadi satu. Dia bahkan berusaha keras untuk merangkai kata-kata yang sepertinya baik untuk dia tanyakan kepada Tama saat mereka bertemu nanti. Dia sangat berharap jika Tama akan menyuruhnya kembali pulang ke rumah.Setelah melewati beberapa jam perjalanan, mobil itu pun telah sampai ke sebuah mansion yang sangat luas. Zahra bahkan sampai melongo saat melihat ukuran tempat tinggal tersebut."Bagaimana bisa orang memiliki rumah sebesar ini? Ini bahkan lebih b