Share

LEO

“Dia…" gumam Tama. Laki-laki itu kembali menghadapkan wajahnya kepada sang sekretaris.

"Dia anak dari Daksa?" tanya Tama.

"Iya betul Tuan. Saya sudah menyelidikinya semalam setelah mereka memberikan foto ini. Gadis ini memang anak kandung dari Tuan Daksa. Namanya Zahra Aina Sabila. Usianya 20 tahun dan dia bekerja di salah satu kedai kecil di pinggir kota," jelas Rey.

"Zahra, ternyata benar dia," ucap Tama di dalam hatinya.

Tama mengambil foto tersebut dan menatapnya dengan lekat. Melihat apa yang dilakukan oleh sang atasan, Rey pun merasa penasaran. Dan akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya.

"Ada apa Tuan?" tanya Rey membuyarkan lamunan Tama.

"Oh tidak. Tidak ada apa-apa. Tolong jadwalkan pertemuanku ke rumah Daksa hari ini juga," titah Tama.

"Sebenarnya semalam, Nyonya Daksa meminta izin untuk mengundang anda sore nanti ke rumahnya."

"Hmm, baiklah. Kita akan datang kesana sore nanti."

"Anda akan menerima tawaran mereka, Tuan?" tanya Rey tidak mengerti.

"Iya," jawab Tama singkat. Dia menyimpan foto itu di atas meja dan kembali berkutat dengan berkas-berkas filenya dalam diam.

***

“Akhir-akhir ini aku lihat kamu sepertinya terlalu sering melamun, Ra. Apa masih memikirkan tentang rumah yang sudah dijadikan barang taruhan oleh Ayahmu itu?” tanya Leo.

Siang itu setelah jam makan siang berakhir, kondisi kedai tidak begitu ramai. Leo yang sejak pagi melihat sang rekan kerja berubah menjadi sosok yang pendiam, merasa penasaran. Walaupun sebenarnya laki-laki ini sudah tahu akar dari permasalahannya akan tetapi tetap saja, dia masih merasa khawatir dengan gadis itu. 

Zahra yang saat itu sedang mencuci piring dan gelas hanya bisa menoleh ke arah Leo lalu tersenyum. Sebuah senyum yang terlihat jelas sangat dipaksakan. 

“Ra, aku tahu kalau kamu sekarang sedang banyak pikiran. Aku tidak akan memaksa kamu untuk mau berbagi denganku atau tidak. Hanya saja, aku hanya ingin memberimu saran, percayalah jika semua ujian yang terjadi pada diri kita pasti akan ada jalan keluarnya. Jangan pernah berputus asa apalagi kehilangan semangat diri. Karena jika hal itu sampai terjadi maka sejelas apapun jalan keluar ada di depan matamu tapi kamu tidak akan pernah bisa melihatnya,” ucap Leo. Zahra mengelap tangannya yang baru saja selesai mencuci.

“Lalu bagaimana jika jalan keluar yang bisa kita lihat adalah jalan keluar yang tidak kita suka atau bahkan kita benci. Apa masih harus kita ambil jalan tersebut walaupun tidak dengan sepenuh hati atau mungkin bisa saja sampai menyakiti diri sendiri?” tanya Zahra. Dia duduk di kursi yang ada di dapur diikuti oleh Leo.

"Kita tidak akan pernah tahu apakah jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi kita ataukah jalan yang buruk. Tidak selamanya jalan yang menurut kita baik adalah jalan yang selalu mulus. Bisa jadi jalan yang awalnya berliku malah jalan itulah yang sebenarnya memiliki akhir yang manis bagi kita," ungkap Leo. Zahra menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak yakin akan hal itu, Kak," gumam gadis itu pelan.

"Bagaimana bisa dijual oleh orang tua sendiri untuk melunasi hutang mereka menjadi jalan yang terbaik?" Zahra membatin.

Leo menggenggam tangan gadis di depannya. Membuat lamunan Zahra membuyar. 

"Dengarkan aku. Apapun yang terjadi kamu jangan pernah takut. Masih ada aku yang akan selalu menjagamu dan tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri," ungkap Leo. 

Zahra menatap wajah laki-laki itu dalam diam. Wajah tampan yang selama ini selalu bisa membuatnya teduh. Wajah dimana senyum hangat selalu terukir di sana. Dia ingat ketika pertama kali dirinya diterima bekerja di kedai tersebut, Leo lah yang langsung menyapanya. Laki-laki ini juga menjelaskan semua yang harus Zahra kerjakan di kedai tersebut dengan sabar. Dan yang paling penting adalah, Leo lah yang selalu membantunya ketika Zahra sedang mengalami kesulitan.

Leo Pramastya, laki-laki tampan berusia 23 tahun. Tiga tahun lebih tua dari Zahra atau bisa juga dikatakan satu usia dengan Satria. Dia adalah senior di kedai tersebut akan tetapi Leo tidak pernah sombong. Dia selalu ramah kepada siapa saja bahkan kepada Zahra yang waktu itu adalah pegawai baru. 

Kepada Leo, Zahra tidak pernah merasa canggung. Kedekatan diantara mereka membuat Zahra merasa nyaman untuk selalu berbagi apapun kepada laki-laki itu. Susah, senang, sedih, bahagia, semua selalu gadis itu bagi kepadanya. Bagi Zahra, Leo sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Apalagi gadis itu memang merupakan anak tunggal. 

Lain halnya dengan Zahra, Leo ternyata memiliki perasaan yang lain. Sejak mereka bertemu untuk pertama kali, laki-laki itu sudah mulai merasa tertarik kepada Zahra. Senyumnya, bawelnya, cerianya Zahra telah mencuri tempat di hati Leo. Sayangnya, langkahnya kalah cepat dengan Satria. Belum juga dirinya menyatakan cinta kepada Zahra, gadis itu sudah berpacaran dengan Satria. 

Leo kecewa, dia terluka. Akan tetapi rasa sayangnya kepada Zahra membuat dirinya ikhlas untuk melepaskan wanita itu. Baginya kebahagiaan Zahra adalah yang utama. Jika gadis itu bahagia maka dia juga pasti akan ikut bahagia. Dan sampai saat ini, Zahra masih belum mengetahui perasaan Leo yang sebenarnya.

"Terima kasih Kak, karena Kakak selalu ada disampingku disaat aku sedang dalam masalah, disaat aku sedang butuh teman, dan disaat aku merasa sangat kesepian dan juga terpuruk," ucap Zahra lirih. Leo semakin erat menggenggam tangan gadis itu.

"Sampai kapanpun Zahra, sampai kapanpun. Aku memang akan selalu ada untukmu, disampingmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu walaupun kamu memintaku sekalipun. Aku berjanji," ucap Leo dalam hati.

***

Sore itu langit tampak sangat cerah. Jam pulang kerja sudah lewat dari satu jam yang lalu akan tetapi Zahra masih belum juga sampai di rumah. Gadis itu tidak bersemangat untuk pulang. Dia malah pergi ke taman, hanya untuk duduk-duduk saja. 

Zahra tahu jika di rumah, kedua orang tuanya pasti sedang menunggunya. Dan jangan lupakan juga pemilik bar itu. Dilihat dari jam yang melingkar di tangannya, Zahra yakin kalau laki-laki itu juga pasti sudah ada di rumahnya.

Gadis ini sedikit bergidik ngeri saat membayangkan bagaimana rupa dari sang pemilik bar itu. Wajah kakek tua, dengan banyak kerutan di wajahnya, juga senyum yang menjijikan. 

"Hiii dasar laki-laki hidung belang, mata keranjang. Sudah mau mati tapi masih saja mau menerima anak gadis orang untuk dijadikan alat bersenang-senang. Dasar tidak tahu malu" gumam Zahra lirih.

Setengah jam berlalu. Walaupun hati kecilnya masih menolak untuk pulang akan tetapi mau bagaimana lagi.

Hari sudah semakin gelap saja saat dia melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumahnya.

"Mobil siapa itu? Kenapa sepertinya aku pernah melihat mobil itu? Tapi dimana? Dan kapan?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cacak Endik
lanjutlah kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status