"Ketika boneka ini masuk kedalam air yang mendidih ini maka kau akan kehilangan salah satu anakmu, apa kamu siap?" tanya Mbah Kamari lagi sebelum memasukkan boneka tersebut kedalam panci.
"Siap Mbah!" jawabku tanpa ragu Mbah Kamari langsung merapal mantra saat mendengar persetujuan ku. Tidak lama ia pun mencelupkan boneka itu kedalam panci berisi air mendidih. *Byuurrr!! "Aarrggh!" Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras seorang anak kecil. "Sakit bapak...bapak jangan ....tolong bapak...adek sakit!" Seketika netraku membelalak saat mendengar suara jeritan anak kecil yang begitu familiar ditelinga ku. "Bagas??" Seketika aku teringat dengan anak bungsuku Bagas. "Apa Bagas yang jadi tumbal?, tapi tidak mungkin karena aku ingin Bagus yang jadi tumbal, tapi bukankah aku belum mengatakannya kepada Mbah Kamari??" Aku pun segera menepis pikiran negatif itu. "Bapak tolong, adek sakit!" Kembali ku dengar suara teriakan anak kecil mirip suara Bagas. Semakin lama suara jeritan itu semakin keras, dan tak salah lagi itu bukan suara Bagus tapi Bagas. Meskipun mereka adalah anak kembar tapi aku hapal benar suara mereka satu persatu. Karena pikiran yang berkecamuk dan rasa penasaran yang tinggi aku pun berinisiatif untuk melihat siapa yang dijadikan tumbal pesugihan ini. Aku yakin aku bisa melihat wajah anak yang dijadikan tumbal dalam panci itu. Benar saja, saat aku melongok kedalam panci seketika aku melihat wajah Bagas yang sedang meringis kesakitan menahan sakit. Seketika darahku mendidih melihat putra kesayangan ku merintih kesakitan. Jiwa kebapakan ku langsung bergejolak. Buru-buru ku masukan tanganku ke dalam panci berisi air panas untuk mengambil boneka itu. Aku yakin Bagas kesakitan karena boneka itu. Aku tak menghiraukan rasa panas yang membuat tabganku melepeluh demi menyelamatkan Bagas. "Apa yang kamu lakukan!" hardik Mbah Kamari dengan nada tinggi Lelaki tua itu tampak melotot melihat kearah ku. "Itu suara anak terakhir saya Mbah. Kenapa dia yang jadi tumbal. Aku ingin menumbalkan anak pertama saya yang sakit-sakitan bukan anak kedua ku," jawabku gugup "Lah wong kamu gak bilang kok, ya mana aku tahu. Toh dari awal aku gak tahu anak mana yang ingin kamu tumbalin. Biasanya para demit milih anak yang paling disayang untuk jadi tumbal, jadi jangan salahkan aku," jawab Mbah Kamari "Sekarang kita harus menyelesaikan ritual ini, jadi cepat masukan kembali boneka itu!" seru Mbah Kamari "Tidak bisa mbah, aku tidak bisa melanjutkan ritual ini kecuali tumbalnya di ganti!" ucapku berusaha bernegosiasi "Tidak bisa le, apa yang sudah diucapkan dalam akad tidak bisa ditarik lagi kecuali kau ingin mendapatkan malapetaka dalam hidupmu!" ancam Mbah Kamari Tentu saja aku sangat marah mendengar ucapan Mbah Kamari. Aku pikir karena Mbah Kamari orang pintar maka tanpa bertanya pun ia pasti sudah tahu siapa yang akan aku tumbalkan. Toh saat mengucapkan keinginan ku untuk mengikuti ritual pesugihan ini aku sudah berkali-kali menyebut nama Bagus masa sih dia gak tahu. Aku yang sudah kesal dan gondok memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ku bawa boneka itu dan terus berlari meninggalkan tempat itu, meskipun Kukuh berkali-kali berusaha memanggilku. Aku terus berlari meninggalkan Kukuh di rumah Mbah Kamari. Aku yakin dia pasti akan menahan ku pergi dan berusaha meyakinkan aku untuk melanjutkan ritual tersebut. Jadi untuk apalagi mendengarkannya, percuma. Jarak antara kediaman Mbah Kamari lumayan jauh dari jalan raya hingga membuat nafasku tersengal-sengal saat tiba di jalan utama. Aku menunggu cukup lama di jalan raya, berharap ada kendaraan yang lewat. Akan tetapi meski sudah menunggu sampai satu jam lebih tak ada satupun kendaraan yang lewat. Mungkin karena hari sudah mulai malam, jadi wajar saja kalau jarang kendaraan yang melintas. Apalagi mengingat jalan raya ada di tengah-tengah hutan. Ku lihat sebuah lampu kendaraan mulai mengarah kepada ku. Sebuah Sepeda motor berhenti tepat di depanku membesarkan harapanku. "Syukurlah masih ada harapan untuk menyelamatkan Bagas," ucapku dalam hati aku buru-buru menghampiri sepeda motor itu. Sayangnya aku harus kecewa saat tahu pengemudi sepeda motor tersebut adalah Kukuh. "Kenapa kamu pergi?" tanyanya dengan nada penasaran "Aku tidak mau menumbalkan putra bungsuku. Dari awal kau pun tahu kalau aku melakukan Pesugihan ini untuk mengakhiri penderitaan Bagus. Itulah alasannya kenapa aku memilih menumbalkan dia. Andai saja dia tidak sakit-sakitan mungkin aku tidak perlu melakukan ritual laknat ini meskipun kami harus hidup kesusahan," Ku lihat Kukuh turun dari sepeda motornya dan menepuk pundak ku. "Ini ujian Guh, kamu harus kuat!" ucapnya mencoba menguatkan aku "Tapi aku tidak tega melihat dia selalu kesakitan setiap hari Kuh," "Kalau begitu lanjutkan ritualnya. Aku yakin semuanya akan membaik jika kau melanjutkan ritual ini," jawab Kukuh "Tapi aku tidak mau menumbalkan Bagas. Susah payah aku mendapatkannya, mana mungkin aku membunuh darah daging yang sudah aku idamkan dari sejak lama!" "Kalau begitu kenapa kau ingin menumbalkan Bagus?. Bukankah kau juga mendapatkannya dengan susah payah?" tanya Kukuh seolah mengintimidasi ku. "Karena dia sakit-sakitan Kukuh, harus berapa kali aku katakan padamu kalau aku melakukan semua ini demi kebaikannya!" "Dengan cara membunuhnya?, lalu kenapa tidak kau bunuh sendiri saja, kenapa harus menggunakan praktik pesugihan yang berisiko tinggi. Karena bukan hanya kamu yang akan celaka jika kau tidak melanjutkan ritual ini, tapi juga semua keluarga mu akan mati!" hardik Kukuh dengan berapi-api Selama ini aku belum pernah melihat Kukuh semarah ini padaku. Sebagi seorang sahabat yang berteman sejak kecil aku tahu benar bagaimana karakter Kukuh. Dia adalah pribadi yang lembut dan santun. Meskipun terkesan dingin namun ia selalu hangat padaku. "Kalau begitu bantu aku, bantu aku menyelamatkan keluarga ku!" seruku Kukuh menghela nafas berat. Aku bisa merasakan ia seperti memendam beban yang berat saat mendengar ucapan ku. "Kalau kau tidak bisa ya tidak apa-apa, aku akan menanggung semuanya. Toh ini adalah kesalahan ku, jadi kau tidak perlu ikut bertanggung jawab. Sekarang kamu cukup antar aku pulang itu saja," jawabku Kukuh pun mengangguk. Ia kemudian menyalakan sepeda motornya dan melesat meninggalkan desa T. Perjalanan pulang menuju tempat tinggal Kukuh lumayan jauh. Setidaknya kami harus berkendara selama 5 jam. Setibanya di kediaman Kukuh aku menolak menginap karena aku masih memikirkan keadaan Bagas. Aku takut ia kenapa-kenapa makanya aku putuskan untuk segera kembali ke kampung halaman ku. Pagi itu juga, Kukuh mengantar ku ke terminal Bus yang memang tak jauh dari kediamannya. "Kalau ada apa-apa hubungi aku," ucap Teguh menepuk pundak ku "Tentu. Ngomong-ngomong terimakasih banyak karena kamu sudah banyak membantuku walaupun aku harus mengecewakan mu. Aku juga minta maaf karena sudah banyak merepotkan mu," "Ya elah kaya sama siapa aja. Sebaiknya mulai saat ini banyak-banyak berdoa dan dekatkan dirimu pada Gusti Allah, hanya itu cara terbaik untuk menangkal hal-hal negatif yang mungkin akan muncul," tandasnya Aku segera naik melamjwddska Ng Hanya tiga jam perjalanan dari desa tempat tinggal Kukuh hingga ke tempat tinggal ku. Setibanya di rumah aku merasa lega saat melihat Bagas tampak bermain dengan teman-temannya. "Syukurlah kalau dia baik-baik saja?" ucapku lega Saat memasuki pintu rumah Ira menyambut ku dengan senyuman lebar. Tak seperti biasa hari ini ia tampak sumringah menyambut kedatanganku. Padahal biasanya ia selalu murung karena memikirkan kondisi Bagus. "Alhamdulillah akhirnya kamu pulang juga Mas, kamu pasti capek ya, sekarang ayo kita makan siang dulu. Kebetulan aku sudah masak makanan kesukaan kamu," tandasnya kemudian menarik lenganku. "Gas ayo makan dulu nanti main lagi kalau sudah makan ya!" serunya mengajak putra bungsu kami "Hore makan!" seru Bagas tampak kegirangan dan menghampiri kami. Alhamdulillah aku merasa lega saat melihat kondisi keluarga ku baik-baik saja. Namun aku merasa kaget saat melihat aneka menu makanan di meja makan. Ira dapat uang dari mana untuk membeli makanan itu??. "Tumben kamu masak banyak banget Ra, emang dapat duit dari mana?" tanyaku penasaran "Oh itu, Alhamdulillah Mas, semalem ada orang baik yang memberi ku uang banyak banget. Tak tanggung-tanggung ia memberikan uang satu koper kepada ku!" ucap Ira tampak sumringah Uang satu koper?? *Deg!Teguh menerawang menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali ia beristigfar untuk menghilangkan rasa takutnya. Malam itu Teguh tak bisa tidur hingga pagi hari. Setelah adzan subuh Teguh mulai merasa ngantuk. Ia pun kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. Tidak lama terdengar suara gaduh membuat Teguh terbangun. Ia buru-buru bangun dan keluar dari kamar kosannya. Ia melihat banyak orang berkerumun di depan pagar kosan. "Ada apa ini???" Ia segera keluar untuk menghampiri kerumunan tersebut. Teguh pun menanyakan apa yang terjadi kepada seorang warga. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pada seorang warga "Istri Pak RT, dia diguna-guna orang," Teguh begitu terkejut mendengarnya. "Lalu kenapa orang-orang itu berkumpul di sini?" tanya Teguh "Mereka ingin menangkap si pengirim guna-guna itu yang katanya tinggal di sini," jawab seorang warga "Oh begitu, lalu bagaimana dengan keadaan ibu RT?" "Kondisinya
Teguh menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kopi. Alih-alih mengisi perutnya yang mulai kelaparan, Teguh juga ingin mencari informasi tentang kos-kosan. Setelah berbincang dengan pemilik warung ia pun mendapatkan alamat sebuah kosan. Tanpa pikir panjang Teguh mendatangi kosan tersebut. Beruntung ada sebuah kamar kosong dan ia bisa langsung menempatinya malam itu juga. Gelap malam membuat Teguh merebahkan tubuhnya diatas matras kecil. Kali ini ia harus tidur disebuah kamar kecil, sumpek dan juga panas. Maklum saja kosan yang dihuninya hanya seharga lima ratus ribu perbulan . jadi wajar saja jika fasilitas yang ia dapatkan hanya sebuah matras. Bahkan kipas angin pun tidak ada. Teguh sengaja membuka jendela kamarnya agar udara bisa masuk. setidaknya angin bisa masuk dan ia tidak merasa kegerahan sepanjang malam. rasa lelah membuat rasa kantuknya segera datang. Tak lama Teguh pun terlelap. Hening malam membuat suasana kosan menjadi lebih tenang. Tidak seperti kos
Teguh masih termangu menatap kepergian lelaki itu. Tatapan penuh tanda tanya mengapa lelaki itu berkata seperti itu padanya. Hampir mirip dengan ucapan Kukuh. Teguh kemudian beranjak dari duduknya. Ia kemudian berjalan meninggalkan surau itu. Langkahnya terasa berat saat ia melewati sebuah pohon besar yang ada di halaman surau. Ia menoleh kearah pohon itu, semilir angin seolah membuai wajahnya membuatnya terkesiap. "Ada yang bilang jangan suka bengong kalau di tempat wingit le," ucap Seorang wanita paruh baya menegurnya "Oh ...." jawab Teguh seketika gagap Wanita itu tersenyum kemudian pergi. "Apa surau itu juga tempat wingit?" tanya Teguh kemudian menyusul wanita itu "Bagi orang-orang awam memang begitu, tapi kalau untuk orang-orang seperti mu ya tidak juga. Toh mereka juga tidak menganggu kecuali kamu menganggunya lebih dulu," jawab wanita itu Ia kemudian masuk ke sebuah warung kopi dan Kukuhpun mengikutinya. "Kamu darimana?" tanya wanita itu "Dari kampung sebelah," jawa
Pagi itu Teguh memilih untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Tekadnya sudah bulat untuk merantau. Ia ingin melupakan semua kenangan buruk tentang keluarganya dengan merantau. Ia sengaja ingin mengabdikan hidupnya untuk membantu masyarakat untuk menebus dosa-dosanya. Ia pun bergegas menuju ke terminal Bus. Kali ini tujuannya adalah Jakarta. Ia ingin mengadu nasib di kota metropolitan tersebut. Perjalanan menuju Jakarta lumayan jauh membuatnya tertidur sepanjang perjalanan. Tepat saat adzan magrib berkumandang ia pun tiba di stasiun bus Pulau Gadung. Teguh memilih untuk melakukan sholat magrib. Sebuah surau kecil terlihat penuh dengan orang-orang yang hendak melakukan sholat. Teguh sempat menunggu sampai orang-orang selesai melakukan sholat berjamaah. Senyumannya mengembang saat melihat masih banyak orang-orang yang bersemangat melaksanakan sholat berjamaah. "Allahu Akbar," Teguh melipat kedua tangannya dan mulai khusuk membaca takbiratul ihram. "Aamiin," Tiba-tiba ter
"Bangun Le, kamu harus melawan rasa sakit itu, kamu tidak boleh mati. Kamu harus berjuang jika kau ingin menebus semua dosaku sama di masa lalu," Seketika aku terbangun setelah mendengar ucapan pria itu. Sesosok makhluk menjijikkan berusaha menjilati tubuhku. Namun ia seketika terbakar saat menyentuh selendang itu. Pak Dhe Slamet tampak terkejut saat melihat kejadian itu. Ia juga tak percaya saat melihat ku terbangun. "Bagaimana kamu bisa lolos darinya??" ucapnya tak percaya "Lepaskan aku Pak Dhe," ucapku "Kau terlalu banyak ikut campur Teguh, andai saja kau tidak ikut campur aku pasti akan menurunkan semua kekuatan ku kepadamu. Sayang sekali, padahal kita memiliki banyak kesamaan dan aku yakin hanya kamu yang bisa menuruni semua kekuatan ku," jawab Pak Dhe Kali ini ia kembali mengikatku di sebuah kursi. Ia tahu aku akan lari jika dia tak mengikatku. Setelah mengikatku di kursi Pak Dhe kemudian menggorok seekor ayam cemani dan menadahi darahnya pada sebuah gelas bambu. I
Ku dengar suara Pak Dhe membaca mantera. Mantera itu sama persis dengan mantera yang dibaca oleh Mbah Kamari. Mantera itu juga yang dibaca istriku saat ia kesurupan. "Jadi benar Pak Dhe pelakunya!" Angin kencang berhembus membuat ku terjungkal dari tempat persembunyian ku. Tubuhku terguling-guling terbawa angin. Aku berusaha bangun untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun sial ku rasakan kepalaku terasa pusing saat sebuah benda tumpul menghantam kepala ku. Tiba-tiba semua berubah gelap. Tak lama terdengar suara teriakan membuat ku reflek membuka mata. Saat aku hendak bangun, aku merasa kepalaku sangat pusing hingga nyaris jatuh. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha keluar dari pondok ini. Berbahaya jika aku tetap di sini. Aku harus pergi secepatnya sebelum Pak Dhe kembali. Aku harus hidup, aku harus menyelamatkan semua warga. Betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Dhe Slamet tiba-tiba berdiri di depan ku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian