Menjadi jilbaber itu gampang-gampang susah, lho. Sudah memutuskan berjilbab itu bukan berarti kita sudah tinggal menjalani hari-hari selanjutnya tanpa ada masalah. Hmm, salah banget, guys! Justru masalah satu persatu datang seputar masalah jilbab ini.
Seperti yang dialami Atika. Saat memutuskan untuk memakai berjilbab dulu, dia tidak pernah berpikir lain-lain selain memakai jilbab berukuran standar, pakai baju muslimah yang lebar, pakai kaos kaki, pakai ciput supaya kalau jilbab terbang dipermainkan angin, rambut enggak kelihatan orang banyak. Yaa, hal-hal semacam itulah. Simpel. Sederhana.
Tapi ternyata semua itu belum cukup. Masih ada beberapa hal yang mesti dilakukannya. Contohnya saat memakai jilbab. Sekalipun ukurannya standar dan lebar tapi percuma kalau menerawang alias tipis.
“Atika, lehermu kelihatan, tuh.” Husna berbisik sambil merangkul leher Atika.
Atika yang sedang berjalan sendirian pagi itu sempat terkejut saat tiba-tiba saja Husna merangkul lehernya dan terus berjalan bersamanya beriringan hingga ke depan kelasnya. Tinggi tubuh Husna yang beberapa senti lebih pendek darinya membuat Atika sedikit membungkuk untuk bisa mengimbangi langkah Husna. Meski bingung dan belum paham dengan maksud perkataan temannya itu, dia tetap mengikuti dan menurut saja tanpa banyak protes.
“Kelihatan gimana, Na?” tanya Atika sambil mengusap-usap lehernya ketika akhirnya Husna melepaskan rangkulannya.
Kecil mungil tapi cukup sadis juga Husna itu, keluh Atika di dalam hati. Tenaganya besar juga. Otor dan tulangnya terasa sekali melingkar kuat di lehernya. Bikin sesak napas, duh! Husna menatapnya dan memiringkan kepalanya.
“Iya. Itu kelihatan bayangan dan warna kulit bagian lehermu. Jelas banget! Jadinya kamu kayak pake kerudung tapi enggak.” Husna malah seperti yang memberinya sebuah teka teki dan bukan jawaban.
“Pakai kerudung tapi enggak itu maksudnya gimana?” tanya Atika sambil merapikan jilbabnya yang agak berantakan.
“Pernah dengar ungkapan ‘berjilbab tapi telanjang’, enggak?” Eh, Husna malah ngasih pertanyaan lainnya dan bukan menjawab pertanyaannya.
“Hmm … sedikit,” jawab Atika ragu-ragu.
Pernah sih dengar ungkapan itu. Tapi di mana, ya? Kapan? Atika lupa.
“Jadi gini. Berjilbab tapi telanjang itu maksudnya memakai pakaian yang mungkin berukuran lebar tapi tipis. Menerawang. Jadi orang lain tetap bisa melihat dengan jelas bagian-bagian aurat atau bagian dalam tubuh kita yang seharsunya disembunyikan. Kalau begitu, fungsi jilbab buat apa?”
Atika memegangi kain jilbab yang menutupi kepalanya. Kalau dilihat-lihat, omongan Husna ada benarnya juga. Ia melapisi telapak tangannya dengan kain jilbabnya. Ternyata memang masih terlihat jelas bentuk jari jemarinya, warna kulit jarinya, kemudian besar dan kecilnya jemari. Berarti memang memakai jilbab ini tetap saja menampakkan bagian dalam tubuhnya. Astagfirullah! Berdosa, dong?
“Tapi aku sudah pakai ciput. Pakai baju juga di dalamnya pakai kaos. Aku harus bagaimana?” tanya Atika bingung.
“Solusinya. Kamu pakai jilbab yang lebih tebal. Atau, dobel memakai jilbab dengan warna yang sama. Kalau kamu mau, bisa bikin sendiri untuk daleman jilbab. Kebetulan kakakku jualan daleman jilbab. Kamu mau? Murah, kok.”
Atika mengernyitkan dahinya. Ini Husna maksudnya mau mengingatkan atau mau promosi jualan, ya? Kok, jadi pengen suuzon gini jadinya? Tapi masa iya sih omongannya bukan untuk tujuan menasihati? Soalnya kalau dilihat-lihat, Husna dan Firda memang selalu memerhatikan jilbab yang mereka pakai. Berukuran lebar dan tebal. Jadi tidak memakai dalaman pun, leher atau bagian tubuh mereka tidak terlihat dengan mudah oleh orang lain.
“Kalau kamu mau jilbab lebar yang tebal juga ada. Harganya juga lumayan. Tapi enggak perlu pakai dobelan daleman lagi. Cukup pakai ciput saja, udah. Beres.” Husna tersenyum.
“Oh.” Atika hanya bisa mengangguk.
Baiklah. Lebih baik berpikir positif. Mungkin Husna memang ingin memberinya nasihat.
“Kamu lihat, tuh.” Husna menunjuk ke sebuah arah dengan dagunya.
Atika mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Husna. Tampak dua orang siswi berjilbab yang melintas di dekat mereka. Keduanya sepertinya kakak kelas mereka. Atika sendiri tidak mengenalinya.
“Siapa mereka?” tanya Atika pelan setelah kedua siswi itu cukup jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.
“Enggak penting sih tentang siapa mereka. Aku juga enggak kenal.” Husna menjawab ringan.
“Eh?” Atika kembali bingung.
Husna senang sekali sih ngasih teka-teki? Dari tadi pertanyaan-pertanyaannya tidak ada satu pun yang langsung dijawab, malah ditanya balik. Jangan-jangan Husna punya cita-cita jadi detektif atau seorang investigator? Atika jadi pusing.
“Yang penting itu adalah tentang jilbab mereka … ehem! Maaf. Lebih tepatnya kerudung yang mereka pakai itu masih belum menunjukkan kalau yang dikatakan jilbab adalah seperti yang dikenakan saat ini.”
“Lha? Memang kerudung sama jilbab beda?” tanya Atika.
“Ada yang mengartikan khimar itu kerudung, ada yang mengartikan dengan jilbab. Yang mengartikan kerudung itu karena terkait dengan kebiasaan wanita Arab zaman jahiliyah dulu. Kerudung yang ujungnya cuma disampirkan ke pundak. Dipakai untuk menutupi sebagian kepala dan rambut. Tidak menutupi dengan sempurna. Bahkan cenderung bahan-bahannya pun dari bahan yang transparan.”
Atika menyimak dengan saksama. Iya, juga, sih. Ia ingat pada neneknya yang selalu mengatakan harus pakai kerudung kalau ingin bepergian atau sekadar ke pasar untuk belanja. Jenis kerudung yang selalu dipakai ya yang bahan kainnya transparan, hanya menutupi sebagian kepala dan rambut. Tidak pernah sekali pun neneknya menyebutkan kalau itu jilbab. Selalu mengatakan kerudung.
“Sementara yang mengartikan bahwa khimar itu jilbab karena jilbab itu adalah yang sesuai dengan tuntunan syar’i. Lebar, sehingga menutupi seluruh kepala dan rambut. Menjuntai menutupi dada dan tubuh kita. Bahkan ada yang mengatakan kalau jilbab itu bukan sekadar kain lebar untuk menutupi kepala dan dada saja tapi seluruh badan kita.” Husna masih setia memberikan uraian-uraian panjang seputar jilbab.
“Oh. Jadi kedua kakak kelas yang lewat barusan itu belum memenuhi syarat untuk dibilang sebagai jilbab, ya?” tanya Atika manggut-manggut.
Soalnya yang dia lihat, kedua siswi itu memakai kerudung yang transparan, berukuran kecil sehingga hanya menutupi setengah saja bagian dari dada mereka. Kalau ada angin yang menerbangkan kerudung mereka, bisa kelihatan dengan mudah bagian leher dan dadanya. Apalagi tadi kalau tidak salah, keduanya tidak memakai ciput. Hal ini terlihat dari garis tepi rambut di atas wajah yang terlihat jelas. Jadi dengan mudah orang lain bisa menebak jenis rambutnya. Lurus atau keriting. Warnanya hitam, coklat, atau apa. Lantas apa gunanya memakai penutup kepala kalau begitu? Auratnya tetap terlihat dengan mudah.
“Pintar!” Husna mengacungkan jempolnya dan tertawa lebar memperlihatkan dua gigi gingsulnya di bagian geraham atas kanan dan kiri.
“Oh, begitu.” Atika mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia baru paham sekarang kenapa Husna memprotes jil … eh, kerudungnya saat ini. Karena memang belum memenuhi syarat jilbab yang baik.
“Nanti baca terjemahan Al-Qur’an Surat An-Nur, ya? Yang ayat 31,” pesan Husna sebelum membalikkan tubuhnya dan kembali ke kelasnya.
“Iya.” Atika mengangguk dan kembali menatapi kerudung yang dipakainya dengan perasaan sedih.
Ah, ternyata pengetahuan ataupun wawasan tentang jilbab belum dipahaminya dengan baik. Dulu dipikirnya cukup dengan pakai kerudung maka sudah selesai hijrahnya dikatakan lengkap. Faktanya masih jauh dari tuntunan syar’i. Ya, Allah. Ampuni aku, bisik Atika dalam hati seraya cepat-cepat memasuki kelasnya. Ingin rasanya pelajaran hari ini segera usai agar dia bisa segera pulang dan mengganti kerudungnya dengan jilbab yang lebih tepat dan syar’i.
Pelajaran hari ini terasa seperti berjalan sangat lambat. Seharian Atika memilih banyak berdiam diri di kelas. Kerudung yang dipakainya sengaja sedikit ditekan-tekan ke lehernya agar warna kulit leher dan ukuran lehernya tidak terlalu terlihat. Ketika tiba saatnya pulang, diambilnya jaket yang biasa dikenakannya dari dalam tas. Lalu dikenakannya. Hoodie jaket tersebut ia tutupkan ke kepalanya.
“Kamu sakit?” tanya Vania, teman sebangkunya yang heran melihat kelakuannya.
To be continued
“Enggak, Pak.” Kali ini Habibi yang langsung menyela dan menjawab dengan tegas.Ucapan Habibi diam-diam menusuk perasaan Atika. Ya, ternyata tak urung ketika mendengar hal tersebut tetap saja terasa menyakitkan. Meski mungkin Habibi mengatakannya karena untuk membuat suasana menjadi lebih tenang dan kondusif. Pun, pemuda itu mungkin saja berusaha juga menekan perasaannya dengan susah payah.Atika memilih menunduk dan mengunci mulutnya rapat-rapat ketika kemudian Pak Ahmad memberikan wejangan panjang lebar untuk mereka berempat. Pembina rohis tersebut sudah bisa merasa lebih lega karena ternyata yang dituduhkan oleh siswa-siswi yang membuat petisi dan mosi tidak percaya ternyata tidak benar.“Bapak berterima kasih dan bersyukur jika memang kalian tetap menjadi siswa-siswi kepercayaan yang amanah. Bapak berharap kita semua tetap berpikir dingin ketika ada masalah. Jangan sampai masalah yang datang menjadikan kita menjadi tercerai berai. Justru se
Husna terdiam sesaat sebelum berkata-kata. Gadis itu tetap terlihat anggun dan sangat menjaga sikapnya bahkan di tengah situasi genting seperti saat ini.“Kalian semua tahu aku seperti apa, kan? Kira-kira menurut kalian bagaimana?” Husna balik bertanya tak hanya pada Atika tetapi juga pada semua yang ada di ruangan tersebut.“Kalau aku sebenarnya enggak percaya, Aunty. Tapi ….” Firda tak melanjutkan kata-katanya.“Tapi?” Husna mengerlingkan kedua matanya.Firda menatap lurus pada adik ibunya tersebut. “Aunty sering ngilang, sih. Kan jadi bikin bingung!”“Kalau aku sih positif lebih percaya sama kamu, Na!” ucap Putri diikuti anggukan kepala Aisyah.“Kamu, Tik?” Husna menatap Atika.“Aku ingin enggak percaya.” Atika hanya sanggup mengatakan hal tersebut.Husna tersenyum. Lalu memandang semua teman-temannya dengan pandangan hangat.
“Mending bubar aja, deh! Udah enggak layak jadi panutan! Rusak!”Atika menelan ludahnya demi mendengar umpatan-umpatan yang diungkapkan oleh Tuti cs. Dengan senyum mencemooh, kelompok tersebut berlalu dari hadapan Atika. Rasanya ingin menghilang saja seketika dari bumi saat ini juga. Kelompok Tuti masih saja terus melihat-lihat kesalahan dan kekurangan Husna dan kawan-kawan. Apalagi dengan kondisi saat ini.Atika menghela napas. Masygul. Jika benar Husna seperti itu maka kondisi sudah benar-benar gawat. Bagaimana jadinya keputrian nantinya? Kalau Tuti cs saja sudah tahu, pasti seisi sekolah juga sudah tahu.“Mi? Kenapa ngelamun di sini?”Atika menengadah. Ada Habibi berdiri di hadapannya dengan senyum khasnya.“Bi ….”“Iya, Mi?” Habibi masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.“Kamu udah denger soal Husna?” Atika kali ini tak lagi memikirkna untuk menjaga pandangan
“Itu ….”Atika takmelanjutkan perkataannya dan melirik ragu-ragu pada Sandra.Di seberangnya, terlihat Sandra menatapnya sengit. Tak ingin menimbulkan lebih banyak kesalah pahaman, Atika segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.“Ini, Bi.”“Oh, alhamdulillah. Terima kasih, Umi.” Habibi menyambut bungkusan itu dengan sukacita.Sandra nyaris memelototkan kedua matanya kalau saja ketua grupnya tidak segera memanggil anggota-anggotanya. Dengan terpaksa Sandra segera berbaris mengikuti arahan ketua grupnya dan melupakan sejenak untuk melihat keakraban Habibi dan Atika.Sepanjang perjalanan menuju ke puncak, Sandra bolak-balik berusaha memantau grup Atika hingga dia lupa untuk melihat kakak sepupunya. Ia tidak konsentrasi pada rute yang ditempuhnya, padahal di beberapa lokasi, jalan setapak yang mereka lewati cukup licin dengan adanya jurang di kanan dan kiri.Berulang kali Sandra menoleh ke
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa