Share

6. DILEMA SERAGAM

“Itu. Aku lupa pakai sun block tadi pagi. Jadi biar kulitku enggak kena sinar matahari langsung. Biar enggak hitam,” bisik Atika pelan.

            “Oh.” Vania mengernyitkan dahinya.

            Memangnya kulit yang sudah tertutup kerudung bakalan tetap bisa terbakar jika terkena sinar matahari? Batin Vania dalam hati. Memang cuaca di luar sedang panas-panasnya. Apa Atika benar-benar menghindari sinar matahari dengan bertingkah seperti itu? Vania meraih tasnya dan bangkit dari kursinya dengan tetap memandangi teman sebangkunya itu.

            “Aku sehat-sehat aja, kok.” Atika tersenyum, berusaha meyakinkan karena melihat kekhawatiran di wajah Vania yang terlihat sangat jelas. “Yuk, pulang?”

            “Oh. Oke.” Vania mengangguk.

            Tanpa membuang-buang waktu, Atika segera ikut bangkit dari duduknya dan menyambar tas ranselnya. Kalau dia tak bertindak gesit, bisa-bisa Vania terus menanyainya. Teman sebangkunya itu termasuk orang dengan kadar perhatian yang berlevel tinggi. Vania terbiasa –atau lebih tepatnya dilatih—untuk memiliki kepekaan yang cukup tinggi karena tergabung ke dalam tim UKS sekolah.

            “Di luar cuaca cukup panas, lho. Kamu yakin enggak akan dehidrasi kalau memakai jaket seperti itu?” Vania nampaknya belum puas untuk memastikan kalau teman sebangkunya itu baik-baik saja.

            Atika yang hampir saja keluar dari ruang kelas menahan langkahnya karena temannya itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Jika dia tidak cepat-cepat menyadarinya, bisa-bisa mereka berdua aan saling bertubrukan.

            “Hmm, iya sih. Tapi aku masih bisa tahan, kok. Aku juga selalu bawa bekal air minum.” Atika berusaha tersenyum sambil memperlihatkan botol minuman kesayangannya yang berwarna biru dan selalu dibawanya setiap hari.

            “Kamu naik angkot, kan ya?” tanya Vania lagi.

            “Iya!” Atika mengangguk cepat.

            “Oke.” Vania mengangguk lalu membalikkan tubuhnya Kembali ke arah luar kelas.

            Atika tersenyum dan menghela napas lega. Ia masih terkejut oleh pergerakkan Vania yang mendadak barusan. Saat ia menolehkan kepalanya ke arah kanan Ketika sudah berada di luar ruang kelas dan akan berbelok ke arah kiri, tanpa sengaja pandangannya bertubrukan dengan kedua mata Sandra. Ia segera mengangkat tangan kanannya untuk memberikan lambaian pada Sandra.

            “Oh …. Hai, San-“ Ucapannya terhenti karena pada detik itu seseorang menghampiri Sandra dan menarik tangannya kea rah yang berlawanan.

            Jerry muncul entah darimana dan langsung menghampiri serta membawa sahabatnya itu pergi. Mereka terlihat buru-buru. Sepertinya mereka berdua menuju ke tempat parkiran motor. Mungkinkah ada urusan penting sehingga mereka seperti itu? Sandra tak sempat mendengar ucapannya barusan karena gadis itu spontan memalingkan wajahnya mengikuti ke arah mana kakak sepupunya itu membawanya berlalu.

            Atika mengurungkan niatnya untuk memanggil Sandra kembali. Ia hanya terpaku memandangi punggung sahabatnya itu hingga menghilang ditelan lalu lalang dan hilir mudik siswa siswi SMA Putra Bangsa yang baru keluar dari ruang kelasnya masing-masing.

Untuk beberapa saat dia masih terpaku di tempatnya berdiri. Sedangkan Vania tampaknya sudah berjalan cukup jauh tanpa menyadari kalau Atika tak mengikutinya.

Ririn yang baru keluar dari ruang kelasnya, melihat Atika dengan kondisi melamun sendirian. Gadis itu mendekat dan berusaha menyapanya.

“Hai!” Ditepuknya pundak Atika pelan.

“Oh. Ya?” Atika tergagap.

“Sandra buru-buru karena diajak Jerry ke rumah sakit.” Tanpa diminta, Ririn langsung memberikan sebuah informasi.

“Rumah sakit? Siapa yang sakit?” tanya Atika sedikit terkejut.

“Mamanya tiba-tiba masuk unit gawat darurat. Katanya sih perdarahan hebat.”

“Perdarahan hebat?” Atika terus membeo.

“Iya. Mamanya sedang hamil enam bulan. Mungkin keguguran.”

“Keguguran?”

“Aih. Kamu tuh, ya?” Ririn mengibaskan tangannya dengan mimik wajah agak sebal mendengar ucapan yang keluar dari mulut Atika hanya berupa perulangan terus sedari tadi.

            Atika meringis. Ia memang merasa kalau pikirannya akhir-akhir ini makin bercabang-cabang seperti dahan pohon. Masalah persahabatannya dengan Sandra yang entah bagaiaman statusnya saat ini. Lalu koreksian masalah jilbab dari teman-teman rohisnya. Ingin rasanya ia bereskan semua sesegera mungkin.

            “Kamu mau pulang atau bengong terus di situ?” tanya Ririn.

            Ririn melongok ke dalam ruang kelas Atika yang sudah terlihat kosong, sementara Atika masih berdiri mematung seperti patung. Sepertinya informasi yang barusan disampaikannya cukup membuat gadis itu kaget.

            “Aku ….” Atika menunjuk ke arah berlawanan dengan gerbang sekolah. “Kayaknya akum au ke kantin dulu.”

            Jempol kiri Atika menunjuk ke arah utara membuat Ririn mengernyitkan keningnya. “Bukannya kantin ke sebelah timur, ya? Yang kamu tunjuk itu ke arah masjid.”

            “Oh. Iya. Maksudku aku mau ke masjid. Assalamualaikum!” Atika mengangguk cepat dan memutar tubuhnya lalu berjalan secepat-cepatnya ke arah masjid.

            “Makin aneh aja dia,” gumam Ririn sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan aneh Atika. “Waalaikum salam.”

            Tuh kan? Dia jadi ikut-ikutan aneh? Jawab salamnya belakangan, ngomentari orangnya duluan. Duh, Ririn menepuk jidatnya sendiri.

            Sementara di masjid, setelah melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam, Atika berdiam diri di pojok ruangan tempat akhwat salat. Dia menyandarkan punggungnya ke tembok dan membiarkan kedua kakinya berselonjor di atas karpet. Rasanya punggung jadi nyess, sekalipun dia sedang memakai jaket.

            “Eh, dia udah datang!” sapa Husna diikuti Firda dan beberapa jilbaber lainnya.

            Atika menoleh ke samping. Teman-temannya itu langsung menghampiri Atika dan mengajaknya bersalaman dan tak lupa cipika cipiki biar makin akrab. So sweet, kan.

            “Dari jam berapa datang?” tanya Firda sambil duduk di sebelah Atika.

            “Baru aja.” Atika membuka jaketnya.

            Cuaca benar-benar panas dan dia memilih menyerah dengan membukanya. Lagipula di dalam masjid ini tempat salat antara pria dan wanita sudah dibatasi hijab yang cukup tebal dan tinggi. Jadi Atika bisa sedikit membiarkan tubuhnya tanpa tertutupi jaket.

            “Pasti gerah, kan?” tanya Firda lagi yang melihat wajah Atika kemerahan dan berkeringat.

            “He em.” Atika hanya mengangguk dan berdehem pelan.

            “Semangat banget teman kita ini,” komentar Husna mengulum senyum.

            Atika hanya tersenyum tipis membalas obrolan teman-temannya. Ia memerhatikan satu persatu jilbab mereka. Semuanya berjilbab dengan kain yang tebal dan lebar. Tertutup dengan rapi dan rapat semuanya. Sejuk dan adem memang. Ah, apakah dia juga dipandang sejuk dan membuat adem orang lain dengan jilbabnya yang sekarang? Atau jangan-jangan orang-orang justru tidak menyukai jilbabnya yang belum memenuhi syarat syar’i?

            “Hei, kalian tahu tidak? Kak Salsabila saat upacara tadi pagi ditegur oleh kepala sekolah!”

            Informasi yang barusan diucapkan Firda di tengah-tengah dengungan obrolan para jilbaber itu refleks seperti membangunkan Atika dari lamunannya. Ia tersentak mendengarnya. Kak Salsabila? Sang ketua rohis bidang keputrian? Ada kasus apa memangnya?

            Dengungan obrolan yang semula memenuhi ruangan masjid berhenti dan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Firda, si pembawa berita.

            “Kenapa sih selalu mempermasalahakan hal itu? Kan udah jelas bolehlah kita pakai  kemeja seragam putih itu dikeluarkan? Kalau dimasukkan ke dalam, nanti pinggul kita terlihat  jelas, dong? Kan sebagai muslimah kita harus menjaga supaya jangan sampai lekuk tubuh kita tidak terlihat jelas!” kecam Husna pedas.

            “Katanya enggak boleh, aunty. Harus pakai baju muslimah khusus.” Firda mengeluh.

            Kalau dari yang didengarnya, pak kepsek menyuruh Salsabila untuk memakai seragam putih yang panjangnya hingga lima senti di atas lutut. Kalau memakai kemeja biasa, ya harus dimasukkan ke dalam rok, karena kalau dikeluarkan jadi aneh kelihatannya.

            “Ya, kan beli baju khusus muslimah itu perlu uang. Enggak semua jibaber punya uang untuk beli seragam baru lagi. Lagian cuma dikeluarin doang apa sih salahnya?” Kali ini yang bersuara adalah Putri.

            “Entahlah. Yang bikin aku kesal, Pak Ihsan, guru bidang studi agama Islam malah mendukung ucapan pak kepsek. Gimana, sih, bapak?” Firda menepuk jidatnya sendiri karena orang lain enggak ada yang mau ditepuk jidatnya.

            “Sudah kuduga. Pak Ihsan pasti sebelas duabelas sama pak kepsek, my niece.” Husna menirukan gaya guru yang tengah mengajar sambil menunjuk-nunjuk Firda.

            “Mereka pasti satu frekuensi. Entah FM atau AM,” gerutu Aisyah, teman sekelasnya Husna, dengan geram.

            “Malah pak Syamil yang belain Kak Salsa, lho!” Mutmainah, seorang jilbaber yang baru datang langung nimbrung.

            “Wah? Cius?” tanya Putri sambil melotot.

            “Pak Syamil?” ulang Atika yang enggak tahan ingin ikutan nimbrung tapi bingung mau komentar tentang apa.

            “Iya. Itu guru bidang studi kimia di kelas tiga.” Firda sedikit memberikan bocoran.

            “Lho? Gimana ceritanya kok malah guru kimia yang lebih paham? Apa enggak sebaiknya mereka tukar posisi?” Husna mengusap-usap dagunya.

            Atika ikut menyimak. Jadi guru agama sendiri tidak mendukung para jilbaber dan memilih satu suara dengan pak kepsek? Waduh!

            “Aku sih ‘yes!’ Yang lain?” Firda manggut-manggut.

            “Yes juga, dong!” seru yang lainnya kompak.

            Wajar, sih. Kalau guru bidang studi Islam saja dirasa tidak mengerti soal jilbab syar’i, itu bahaya! Seharusnya guru agama yang lebih mengerti dan bisa mendukung siswi yang ingin menjalankan syariat agama secara kaffah atau totalitas.

            “Kompak banget! Kalian cocok jadi grup paduan suara. Hehehe.”

            Spontan semua menoleh ke arah sumber suara yang baru saja terdengar. Kedua mata mereka masing-masing membelalak begitu tahu siapa yang datang.

            “Kak Salsa!” Husna setengah berteriak.

            “Iya.” Salsabila tersenyum dan duduk bergabung dengan semuanya.

            “Jadinya gimana, Kak?” todong Firda tak sabar.

            “Apanya?” tanya Tsabita, temannya Salsabila.

            Salsabila dan beberapa muslimah kelas tiga lainnya baru saja masuk ke dalam masjid, jadi tidak terlalu menyimak apa yang sedang menjadi bahan diskusi. Makanya mereka bingung sewaktu mendengar Firda langsung bertanya pada Salsa.

            “Kasus yang tadi pagi itu, lho, Kak.” Firda menyebutkan secara singkat info yang dilihatnya tadi pagi setelah selesai upacara bendera rutin.

            “Ooh.” Tsabita mengangguk-angguk.

            “Iya, gimana hasil akhirnya, Kak?” tanya yang lainnya tak sabar.

            “Gimana, ya? Kasih tau apa jangan?” Salsabila malah bermain mata dengan Tsabita, entah apa karena kelilipan?

            “Beres, kayaknya.” Tsabita mengulum senyum.

            “Beneran? Serius?” tanya Husna tak sabar.

            Salsabila dan Tsabita hanya saling berpandangan dan tersenyum. Membuat semua jilbaber yang hadir jadi makin penasaran. Kalau benar selesai kan berarti hal baik bagi para jilbaber. Mulai sekarang mereka bisa memakai pakaian seragam yang tidak menampilkan bentuk tubuh mereka. Lebih aman dan syar’i.

            “InsyaAllah.” Salsabila tersenyum lebar.

            “Alhamdulillah ….” Semua yang mendengar kompak mengucap syukur sambil mengusap wajah mereka dengan telapak tangannya masing-masing.

            “Bener-bener ya kalian kompak banget!” Tawa Salsabila pecah berderai-derai.

            “Harus, Kak!” Husna mengepalkan tangan kanannya.

            Yang lainnya ikut nyengir. Suasana kembali mencair. Isu tentang masalah seragam sekolah mereda untuk sementara.

            “Yuk, kita mulai rapatnya. Jam tiga sore sudah harus beres. Kita diberi waktunya hanya dua jam saja.” Salsabila melirik ke arah jam dinding masjid.

            Siang ini mereka berkumpul untuk mengadakan rapat keputrian dengan Salsabila sebagai ketua divisi keputrian dari rohis Islam di kampus. Karena Salsa dan pengurus lama lainnya  sudah duduk di kelas tiga dan sebentar lagi bersiap-siap untuk menghadapi ujian sekolah, maka mereka harus segera melakukan regenerasi. Regenerasi ini akan diambil Sebagian besar dari siswi kelas dua dan beberapa siswi kelas satu yang terbilang aktif dan rutin mengikuti acara kajian khusus keputrian setiap Jumat di sekolah.

            Meski yang aktif dan rutin mengikuti kajian keputrian hanya sedikit, namun tidak menyurutkan langkah para Muslimah jilbaber ini agar terus menyalakan semangat untuk meramaikan kegiatan keislaman di kampus.

            Di tengah-tengah diskusi rapat, Salsabila sempat memberikan informasi kalau di kalangan Muslimah yang sudah berjilbab, terbagi dua kelompok mengenai masalah seragam yang tadi pagi diperdebatkan.

            “Ada sebagian yang berpendapat kalau untuk masalah memakai seragam putih tetap dimasukkan ke dalam rok. Jilbabnya saja yang dibuat leih lebar dan Panjang hingga menutupi panggul. Sebagian lagi memilih tetap akan mengeluarkan kemeja seragam putih supaya tidak menampilkan bentuk lekuk tubuh, meski jilbab berukuran lebar dan panjang.”

            Semua tercenung mendengarkannya. Apalagi Atika yang sempat cukup kaget mendengar hal ini. Kira-kira dia akan memilih ke pendapat yang mana? Atau dirinya akan mencari solusi tersendiri untuk menjaga penampilannya tetap syar’i?

            “Kita harus ingat, ya? Patokan utama pakaian muslimah dikatakan syar’I, sesuai dengan ketentuan agama itu adalah yang bisa dipakai salat. Sedangkan rok seragam SMA seperti yang kita tahu kan bentuknya dibuat ngepas dengan ukuran tubuh kita. Paling hanya dilebihkan sedikit. Jadi memang belum memenuhi syarat syariat. Kecuali rok berbentuk rampel.” Salsabila meneruskan penjelasannya.

            “Tapi apa sekolah memperbolehkan kita memakai rok rampel, Kak?” tanya seorang jilbaber.

            “Nah, ini juga yang cukup menjadi permasalahan kita juga. Tapi selama kita masih bisa memakai mukena, memakai rok rampel belum terlalu mendesak. Jadi sebaiknya sih tetap kita harus membawa mukena masing-masing sekalipun di masjid sudah disediakan mukena.”

            Atika mengangguk-angguk. Ia sendiri lebih setuju bila membawa mukena masing-masing setiap hari sekalipun barang bawaan di tas berarti akan semakin berat.

            “Untuk pemilihan pengurus keputrian yang baru, kita bicarakan dua pekan lagi. Susunan calon pengurus baru yang sudah kita buat barusan, akan saya ajukan dulu ke ketua rohis, Salman dan pak Ihsan. Mungkin akan segera disahkan saat kepengurusan rohis yang baru sudah dibuat. Husna, siap kan menjadi ketua keputrian selanjutnya?” tanya Salsabila sambil menatap Husna lekat.

            Yang dituju tampak terdiam sesaat. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya cepat. Wajahnya yang selalu serius, bertambah serius berlipat-lipat kali.

            “InsyaAllah, Kak.” Husna mengangguk mantap.

            “Tenang aja, Aunty. Niece siap mendukungmu selalu!” Firda merangkul Pundak bibinya itu dengan semangat.

            “Aw! Romantisnya kalian!” pekik Salsabila dengan ekspresi membelalakkan kedua mata dengan mulut terbuka lebar dan kedua telapak tangan menyangga kedua pipinya.

            Semua yang hadir serentak terkekeh melihat ekspresi lucu sang ketua keputrian. Tak lama lagi usia jabatannya akan segera berakhir. Hmm, ada rasa sedih menyelinap di hati semua yang hadir melihat Salsabila. Sang ketua yang terkenal selalu tegas tetapi sangat penuh kasih sayang itu akan segera pensiun.

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status