“Enggak, Pak.” Kali ini Habibi yang langsung menyela dan menjawab dengan tegas.
Ucapan Habibi diam-diam menusuk perasaan Atika. Ya, ternyata tak urung ketika mendengar hal tersebut tetap saja terasa menyakitkan. Meski mungkin Habibi mengatakannya karena untuk membuat suasana menjadi lebih tenang dan kondusif. Pun, pemuda itu mungkin saja berusaha juga menekan perasaannya dengan susah payah.
Atika memilih menunduk dan mengunci mulutnya rapat-rapat ketika kemudian Pak Ahmad memberikan wejangan panjang lebar untuk mereka berempat. Pembina rohis tersebut sudah bisa merasa lebih lega karena ternyata yang dituduhkan oleh siswa-siswi yang membuat petisi dan mosi tidak percaya ternyata tidak benar.
“Bapak berterima kasih dan bersyukur jika memang kalian tetap menjadi siswa-siswi kepercayaan yang amanah. Bapak berharap kita semua tetap berpikir dingin ketika ada masalah. Jangan sampai masalah yang datang menjadikan kita menjadi tercerai berai. Justru se
“Kita memang udah beda banget!” “Enggak, kok. Aku masih orang yang sama dengan kamu. Aku enggak akan berubah sekalipun memakai jilbab ini.” Atika, seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan baru duduk di kelas dua SMA, menatap wajah Sandra sahabatnya dengan tatapan kesungguhan. Entah apa yang terjadi sebenarnya hingga tiba-tiba saja hari ini sahabatnya itu mendadak mendatanginya dengan mengatakan hal yang membingungkan seperti itu. Ditambah dengan suara tinggi dan emosi yang meluap-luap. Padahal hari masih pagi. Jam belajar pun belum dimulai. Bukan sebuah hal yang asyik untuk memulai hari dengan perdebatan semacam ini. “Enggak! Kita memang udah beda sejak kamu memutuskan untuk pakai jilbab itu. Kita beda!” tandas Sandra lagi. &nb
Hmm, sepertinya mereka sedang tidak baik-baik saja. Meski mencoba ditutupi tapi sorot mata tidak dapat berbohong. Ririn berucap di dalam hatinya. Diam-diam tanpa sepengetahuan Atika, Ririn sering memerhatikannya dan juga Sandra akhir-akhir ini. Meski mereka berdua tak ada yang mengakuinya namun dengan melihat keduanya makin jarang berdua saja sudah menceritakan segalanya secara tidak langsung. Meski baru dugaan tapi Riris bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres yang sedang berlangsung. Contohnya, ya saat ini. Ririn memerhatikan selama mereka ngobrol, Atika tampak banyak melamun dan terlihat bingung. Terlihat sekali bahasa tubuh Atika yang gelisah ketika ia diberitahu kalau Sandra ada di perpustakaan bersama Jerry. Meski bukan sahabat mereka berdua, namun Ririn memiliki firasat yang cukup tajam tentang hal ini. Pun, setiap hari ia berinteraksi dengan Sandra selama d
Di dalam kelas Sandra. Sandra terlihat duduk di kursinya dengan bibir manyun. Ririn yang sedang ngobrol dengan teman di bangku depan melirik sekilas. Ia yakin kalau barusan Sandra pasti bertemu dengan Atika di depan kelas tadi. Dari dalam kelas ia sempat melihat hal itu sejenak tanpa sengaja. Meski sesaat, tapi Ririn melihat Sandra dan Atika hanya saling berpandangan sebentar lalu Sandra yang lebih dahulu memalingkan wajah dan masuk ke dalam kelas. Karena melihat wajah Sandra yang kusut dan ditekuk, Ririn memilih terus ngobrol dengan teman yang di depan bangkunya. Guru bidang studi selanjutnya juga belum kelihatan apakah akan segera datang atau tidak. Padahal bel tanda istirahat usai sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Suasana kelas berdengung layaknya suara sekelompok besar lebah sedang berkumpul. Ya, begitulah suasana kelas jika tak ada guru yang masuk tetapi
Tapi Jerry malah tertawa terbahak-bahak di luar. Membuat Sandra makin kesal dan berusaha berpikir apa yang bisa dilakukannya untuk membalas keisengan kakak sepupunya itu. Lalu pandangan matanya tertumbuk pada kunci motor milik Jerry di atas meja. Aha! Rasakan! Kunci ini akan kuambil dan kusembunyikan! Bisik Sandra dalam hati sambil cepat-cepat mengambil kunci itu dan memasukkannya ke saku celananya. Suara Jerry sudah tak terdengar lagi dari luar. Sandra buru-buru membersihkan remahan keripik yang mengotori lantai lalu bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam. Yes! Sebentar lagi si jones itu pasti bakalan menyadari kalau kunci motornya ketinggalan. Dia pasti masuk ke dalam rumah dan berusaha mencarinya! Hahaha! Sandra tersenyum jahat. Ia lalu mendekati ranjangnya dan merebahkan tubuhnya di atasnya. Silakan ambil kuncinya kalau bisa! Aku mau tidur siang dulu. Yaa, mungkin sekitar satu atau dua jam. Atau sampai sore. Tunggu aja sa
Menjadi jilbaber itu gampang-gampang susah, lho. Sudah memutuskan berjilbab itu bukan berarti kita sudah tinggal menjalani hari-hari selanjutnya tanpa ada masalah. Hmm, salah banget, guys! Justru masalah satu persatu datang seputar masalah jilbab ini. Seperti yang dialami Atika. Saat memutuskan untuk memakai berjilbab dulu, dia tidak pernah berpikir lain-lain selain memakai jilbab berukuran standar, pakai baju muslimah yang lebar, pakai kaos kaki, pakai ciput supaya kalau jilbab terbang dipermainkan angin, rambut enggak kelihatan orang banyak. Yaa, hal-hal semacam itulah. Simpel. Sederhana. Tapi ternyata semua itu belum cukup. Masih ada beberapa hal yang mesti dilakukannya. Contohnya saat memakai jilbab. Sekalipun ukurannya standar dan lebar tapi percuma kalau menerawang alias tipis.  
“Itu. Aku lupa pakai sun block tadi pagi. Jadi biar kulitku enggak kena sinar matahari langsung. Biar enggak hitam,” bisik Atika pelan. “Oh.” Vania mengernyitkan dahinya. Memangnya kulit yang sudah tertutup kerudung bakalan tetap bisa terbakar jika terkena sinar matahari? Batin Vania dalam hati. Memang cuaca di luar sedang panas-panasnya. Apa Atika benar-benar menghindari sinar matahari dengan bertingkah seperti itu? Vania meraih tasnya dan bangkit dari kursinya dengan tetap memandangi teman sebangkunya itu. “Aku sehat-sehat aja, kok.” Atika tersenyum, berusaha meyakinkan karena melihat kekhawatiran di wajah Vania yang terlihat sangat jelas. “Yuk, pulang?”&
ALIEN DI RUMAH SENDIRI“Ya ampun, Bu. Anaknya habis darimana pakai baju ninja kayak begitu?”Langkah Atika sempat terhenti sejenak. Berhenti sesaat untuk menarik napas cepat lalu memilih untuk menguatkan hati dan tidak memedulikan komentar Budhe Dwi, tetangga sebelah rumah yang sedang ngobrol dengan ibunya di depan pagar halaman.Ia baru saja pulang dari sekolah setelah membantu teman-temannya mempersiapkan acara mentoring keputrian untuk siswi kelas satu, hari Jumat depan. Jadi di hari Ahad yang seharusnya libur dan diam di rumah, harus dipergunakannya untuk mempersiapkan materi dan segala sesuatunya agar nantinya acara mentoring keputrian bisa berjalan dengan lancar.Dengan tubuh lelah dan habis kepanasan, sebenarnya potensial sekali untuk membuat emosinya mendadak naik jika mendengar hal-hal sensitif seperti omongan Budhe Dwi barusan. Tetapi Atika memilih beristigfar di dalam hati lalu bergega
MY NEW HOME Firda tertawa kecil. “Banyak cerita seru begitu aku dulu memutuskan untuk pakai jilbab. Kamu dan orang lain juga pasti pernah merasakannya.” Atika mengangguk-angguk. “Memang iya, sih. Baru punya niat aja udah banyak tantangan dan tentangan. Padahal kan kita cuma ingin jadi manusia yang benar. Yang menjalankan perintah-Nya. Simpel padahal.” “Itu kata kita. Yang sudah Allah beri hidayah, insyaAllah. Buat yang belum dapat hidayah, mau dinasihati sampai jungkir balik pun, ya susah. Hatinya takkan terketuk.” Atika mengiyakan di dalam hatinya. Dulu dia juga belum tertarik untuk memakai jilbab. Karena memang baru sedikit yang pakai jilbab. Atau ada yang pakai jilbab tetapi hanya saat bersekolah saja, karena disuruh orang tuanya. Jadi ketika sedang tidak bersekolah, ya tetap tanpa jilbab. Atau ada juga yang memakai jilbab tetapi tanpa ciput sehingga rambut dan dahinya terlihat semua. Percuma saja. A