"Mas berhenti sebentar,” ucap Dinda seraya menepuk bahu Gito.“Kenapa, Sayang?” Gito segera menghentikan motor lalu menoleh ke arah istrinya. Sedangkan Dinda sudah tak mampu menjawab pertanyaan sang suami, begitu turun dari motor langsung berlari ke arah saluran air di pinggir jalan.Wanita bertubuh sintal ini langsung jongkok di pinggir saluran air dan menunduk untuk memuntahkan semua isi dalam perut. Meski sudah tak ada yang bisa dikeluarkan kembali, mulutnya masih ingin muntah.Dinda meremas perutnya yang berasa melilit dan perih. Dari kedua kelopak matanya keluar buliran bening. Tampak jelas yang dirasakan kini, membuat Dinda tersiksa.“Sayang, kita langsung ke dokter aja, ya?” tanya Gito lembut sambil mengurut tengkuk istrinya.“Ikan untuk Ibu?”Dinda menoleh lalu bangkit dibantu suaminya. Ia sesekali mengusap bibir dan sekitar pipi dengan tisu.“Setelah berobat ke rumah Ibu. Sekarang beli rujak langsung periksa,” ucap Gito sambil merangkul istrinya untuk kembali ke motor.Setela
“Ibu udah aku kasih tau. Ia tampak bahagia dan nanti kita ke sana sekalian antar ikan,” ucap Gito masih dengan senyum lebar menghias kedua pipi.Dinda semakin bimbang mendengar perkataan suaminya. Wanita ini tak melihat kebohongan dari nada bicara dan sorot mata kebahagiaan sang suami. Gito benar-benar tulus merasa bahagia dengan kehamilan Dinda.“Mas, kita duduk sebentar, ya. Aku mau habisin rujak,” ucap Dinda menarik tangan sang suami saat mereka melewati bangku taman sebelum tempat parkir.Gito tersenyum ke arah istrinya lalu berkata, "Iya, Sayang. Mas harus siap-siap melayani orang ngidam setiap saat.”Diana berpura-pura cemberut menanggapi perkataan sang suami. Ia menarik tangan Gito untuk duduk di salah satu bangku.“Kamu duduk dulu, Mas mau ambil rujaknya.”Dinda segera mengangguk dan Gito berlalu menghampiri motor. Bangku taman berada di bawah pohon mangga yang rindang dan lebat buahnya. Tanpa sengaja, saat Dinda mendongak tampaklah olehnya sebuah mangga paling besar di antara
“Sayang, ayo turun!” pinta Gito membuyarkan lamunan sang istri.Tentu saja, permintaan Gito yang lirik seketika membuat Dinda gelagapan karena dirinya sedang tak fokus.“Oh, ya, Mas. Udah sampe?”“Dari tadi. Jangan sering melamun, Sayang.”Dinda segera turun dari motor, sedangkan Gito meluruskan standar. Setelah motor telah terparkir dengan bagus, mereka melangkah memasuki pertokoan.“Jamila, kamu sudah punya banyak perhiasan dari aku. Tak perlu dari Gito,”ujar Mustafa di telinga Dinda.Sosok Timur Tengah ini tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya. Namun, Dinda pura-pura tak mendengarkannya. Justru wanita ini bergelendot manja di lengan suaminya. Mustafa semakin terbakar amarah melihat kelakuan Dinda. Sosok Timur Tengah ini seketika meniup tubuh Gito hingga jatuh terjerembab, hingga Dinda hampir saja ikut terjatuh. “Apaan yang barusan?” tanya Gito keheranan sambil bangkit lalu mengelus perut sang istri.“Alhamdulillah, kamu gak ikutan jatuh. Kasian Dedek.”Dinda tampak jengkel denga
"Sebelum makan baca Al Fatihah dulu,” ucap Gito menatap ke Dinda yang hendak mencicipi kolak. Ia pun ikut mengambil mangkuk kolaknya sambil bibir mengucap doa.“Wa ammal qoosituuna fa kaanuu li jahannama hatabaa.”(QS. Al-Jinn: 15)“Dan ada pun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka jahanam.”(QS. Al-Jinn: 15)Dinda segera menyuapkan sendok ke mulut, hanya satu suapan dan tiba-tiba mangkuk yang dipegang wanita muda ini terlempar ke arah dinding dan pecah berkeping-keping. Isi di dalamnya berhamburan mengotori dinding dan lantai.“Audzubillahiminasyaitonirrojim!" Gito dan Dinda mengucapkannya bersama-sama.Tak ada gerakan yang mencurigakan lagi dan keduanya merasa lega. Bu Teti yang mendengar suara berisik mangkuk pecah segera keluar kamar. Kedua mata wanita separo baya ini menatap heran ke dinding dan pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.“Astaghfirullah, Nduk!” teriak Bu Teti segera berlari dan memeluk sang menantu.“Udah gak ada apa-apa, Bu. D
“Aku tak ingin siapa pun selain wanita ini. Dalam rahimnya ada calon anakku.”“Astaghfirullah hal azhim. Dia tak mungkin mengandung anak bangsa jin. Kalian berbeda zat.”Pak Kiai terlihat mulai jengkel dengan kegigihan Mustafa yang membabi buta ini.“Aku akan buktikan bahwa anakku bisa tumbuh di rahimnya.”Setelah berucap, Mustafa menghilang bersama tubuh Dinda.“Astaghfirullah hal adzim!”teriak mereka spontan karena tak menyangka jin tersebut akan senekat barusan.“Dindaaa ...!” Tubuh Bu Teti limbung dan segera ditahan oleh sang anak.Gito segera menggotong tubuh ibunya masuk kamar lalu membaringkan di tempat tidur. Pria ini mengambil botol kayu putih di atas meja dan mengoleskan sedikit di hidung sang ibu dengan ujung jari.Saat dilihat mata Bu Teti mulai berkedip-kedip, Gito mengambil jemari wanita yang disayanginya ini lalu menciumnya lembut. Sementara itu, Pak Kiai berdiri tak jauh dari mereka sambil berzikir dengan tasbih di tangan.“Bu, sabar, ya. Kita mohon pertolongan Allah.
“Diteruskan Mbak Dinda. Biar janin itu bisa keluar dari tubuhmu. Insyaallah setelah itu, tubuh Mbak akan kasat mata kembali.”“Iya, Pak Kiai. Bismillah ...." Suara Dinda terdengar mulai lancar tak kesakitan lagi.“Hai, Lelaki Tua! Buka lingkaran laknat ini! Jangan kau ambil calon istriku!”Mustafa yang murka berteriak dari halaman berkeliling mengitari rumah. Sosok Timur Tengah ini tak mampu masuk kembali karena telah dipagari oleh doa-doa oleh Pak Kiai. Pria bersorban putih ini hanya tersenyum mendengar teriakan Mustafa. Ia sedang serius mengarahkan Dinda yang mulai mendekati kebebasan diri dari janin benih Mustafa.“Saya udah gak kuat, Pak Kiai! Mas Gito ...! Ibuuu ...!”Suara Dinda mulai melemah, sedang Gito dan Bu Teti hanya mampu mendengar tanpa bisa melihat keadaan wanita yang mulai berlumuran darah di bagian bawah tubuhnya. Pak Kiai membantu memberi kekuatan kepada Dinda lewat doa.“Sayaang, yang kuat, ya. Kamu pasti bisa. Mas bantu doa,” ucap Gito sambil meraba sajadah yang di
Kresek yang sudah terkoyak karena desakan dari dalam dan juga efek terbakar semakin memperjelas perwujudan ular besar yang ada di dalamnya. Ekor hewan tersebut menyembul mencari tempat untuk menjalar.Namun kalah cepat dengan gerakan Pak Kiai yang mengambil galah dan memukulkannya ke ekor tersebut. Tentu saja dengan bantuan lafaz doa. Terbukti ekor tersebut gosong dan terpotong.“Qul a’uuzu birabbil-falaq. Min syarri maa khalaq. Wa min syarri gsiqin izaa waqab ....”“Pak Kiai, saya masuk melihat istri dulu.”“Silakan, Mas! Ini juga sudah hancur,” balas pria bersorban putih ini sambil merapikan sisa yang belum belum terbakar dengan galah.Gito lekas melangkah masuk menuju musala. Sementara di dalam, Dinda yang masih sedikit menahan nyeri berusaha meremas perut dengan melafalkan doa dibantu Bu Teti.Saat Gito masuk, bersamaan dengan sobeknya baju bagian perut Dinda. Secara mengejutkan, robekan itu menguak kulit di bawahnya. Dari dalam menyembul sebuah bulatan berbulu kasar hitam legam b
“Assalammu'alaikum, Bu. Tolong bukain pintu. Kuncinya tertinggal.”Dari teras terdengar suara Gito sambil mengetuk pintu. Dinda yang merasa itu bukan suara sang suami, spontan menggeleng untuk mencegah sang mertua membuka pintu.“Ibu tau, Nduk. Itu pasti jin itu. Kita baca doa agar Allah lindungi kita.”“Bu, bukain pintunya. Buru-buru ini, disuruh Pak Kiai.”Bu Teti tetap bergeming dengan mulut sibuk melafazkan doa. Dinda memandang ibu mertuanya dengan hati remuk redam. Kenikmatan sesat yang didapat telah menjerumuskan ia dan keluarganya dalam situasi pelik ini. Air mata kembali mengalir dari kedua sudut mata wanita muda yang terbaring kaku ini.“Sayang, tolong kasih tau ibu. Mas disuruh Pak Kiai untuk temuin kamu. Penting!”Dinda tersenyum tipis, ia bisa membedakan intonasi nada bicara Gito dengan Mustafa. Situasi dengan tubuh layaknya terpasung seperti ini membuat jengkel hatinya. Mau berkomunikasi pun tak bisa.Mustafa, aku tau ini kamu. Pergilah! Jangan ganggu aku lagi, ucap Dinda