“Alhamdulillah!” seru kedua wanita.Ibu utusan dari ponpes segera meluruskan standar lalu mengajak Dinda turun dari motor. Mereka mendekat ke arah pria pembaca takbir.“Assalammu'alaikum, Ustaz!”“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh! Alhamdulilah kalian selamat,” ucap pria yang tak lain Ustaz Hamdan.“Kurang ajar!” teriak Mustafa emosi melihat kedua wanita telah turun dari motor dan berdiri dekat Ustaz Hamdan.“Kamu tak sepadan dengan mereka. Memalukan!” ucap sang ustaz yang semakin membuat Mustafa gusar.“Aku yang dimau oleh dia. Sekarang Gito telah tak ada, aku bisa membawanya pergi,” balas Mustafa dengan raut wajah memerah.Kedua wanita ini semakin gemetar melihat dua sosok berwajah sama. Namun, Dinda bisa membedakan keduanya dari aroma yang tercium maupun maupun tasbih yang dibawa oleh salah satunya.“Mbak, saya kok jadi bingung. Mukanya sama, tapi yang sebelah kita benar Ustaz Hamdan, kan?”“Iya, Bu.”Ustaz Hamdan yang mendengar pembicaraan keduanya tersenyum geli.“Yan
“Tobatlah pada Allah! Biar tubuhmu tak hancur lebur dimakan api,” ucap Ustaz Hamdan dengan suara tegas.Pria berhidung mancung ini benar-benar tak memberi kesempatan Mustafa untuk lolos. Tubuh tinggi besar ini telah hangus terbakar dari ujung kaki sampai ujung kepala dan menghasilkan aroma sangit. Mulut lebar sang jin mengeluarkan asap bercampur bunga api yang membuatnya tak bisa bicara secara jelas.“Us-taz ... m-mo-hon am-puuun!”“Aku tak akan lepaskan kamu. Selama tak bisa tobat dan mohon ampun pada Allah.”Tanpa disangka-sangka oleh Ustaz Hamdan, Mustafa mengirimkan pesan ke Dinda lewat semilir angin bararoma kasturi.“Jamila, kamu permaisuriku seumur hidupmu. Jika aku mati, tolong jaga anak kita baik-baik. Semua kebutuhan kalian akan dilayani keluargaku.”Dinda yang mendengar pesan Mustafa semakin berdebar jantungnya. Tubuh wanita muda ini semakin menggigil. Ibu pengurus yang membonceng merasakan getaran badan Dinda yang menggigil.“Mbak, sabar, ya! Bentar lagi kita sampe.”Dind
“Saya mau antar obat Mbak Dinda yang ketinggalan,” ucap pria muda tersebut sambil mengulurkan kresek kepada Ibu pengurus.“Terima kasih, Ustaz.”“Semoga lekas sehat, Mbak. Saya pamit dulu ...,”“Tunggu, Ustaz!” teriak Dinda saat Ustaz Hamdan mau beranjak pergi.“Ya?”“Mustafa tadi ke mana?”“Nanti kalo Mbak Dinda udah baikan, akan saya ceritain.”Wanita muda ini pun mengangguk dan memandang punggung sang ustaz sampai menghilang ke arah depan. Bu pengurus meletakkan kresek berisi obat di atas nampan.“Mau minum obat sekarang, Mbak?”“Saya mau minum pake air putih, Bu. Bisa minta tolong, nampan ditaruh di atas meja aja?”“Bisa, Mbak. Bentar, ya.”Bu pengurus segera mengangkat nampan lalu memindahkan keatas meja.“Saya ambilkan air putih dulu ke dapur.”“Terima kasih sebelumnya.”Wanita setengah umur ini melangkah ke dapur dan mengambi lair putih dengan sebuah gelas. Matanya nanar mencari keberadaan wanita mudayang membawakan nampan berisi minuman dan kudapan, tapi tak ada. Kini, ia melan
Ustaz Hamdan yang melihat tersenyum senang. Hadiah pemberiannya, berguna juga di saat seperti ini. Wanita setengahbaya yang berada di antara mereka ikut tersenyum bahagia melihat keduanya.Namun, tiba-tiba kebahagiaan mereka dirusak oleh embusan angin kencang beraroma kasturi bercampur bau bangkai memporak-porandakan isi dalam kamar. Dinda menjerit dan seketika wanita separuh baya tersebut segera mendekapnya erat.“Waqur rabbi a'ụżu bika min hamazātisy-syayāṭīn.” [SuratAl-Mu'minun: 97-98].Ustaz Hamdan melanjutkan doanya dengan berzikir. Ia sangat geram dengan ulah jin satu ini. Meski telah dihancurkan wujudnya, tapi masih mampu bertahan.Padahal kekuatannya pun sudah tak bisa dipergunakan lagi. Namun, dengan adanya angin yang berembus barusan, bisa jadi iatak akan datang lagi untuk waktu yang lama.“Nekat kamu. Tersisa kekuatan harusnya buat beribadah pada Allah, dibuang percuma. Kembali ke alammu!” seru sang ustaz sembari meniup kembali pada satu titik, yaitu tepat di dekat pintu.U
"Bener kata Mbah Dinda. Baju dan aksesoris yangdipake berlebihan. Cantik mirip artis, tapi salah tempat. Saya gak kenal. Tetangga dan sodara Mbak Dinda mungkin.”“Gak ada yang kayak gitu, Bu.”“Menurut saya, tak pantas berpakaian ala artis Bollywood di tempat orang berduka. Terlalu menor.”“Boleh gak, saya telepon Ustaz?”Wanita setengah baya tersebut tersenyum lalu dengan kedua telapak tangan terbuka memberi isyarat kepada Dinda.“Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap salam seseorang di depan pintu ruang tamu.“Pucuk dicinta ulam pun tiba,” sahut wanita setengah baya tersebut sembari tersenyum kepada Dinda.“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas salam kedua wanita ini bersamaan.“Silakan masuk, Ustaz,” ucap wanita setengah baya ini membuka tirai ruang tengah.Selama tembok kamar masih basah, ruang tengah dialihfungsikan sebagai tempat menyimpan makanan. Sedangkan, ruang makan dibuat tempat tidur Dinda. Ada kamar satu lagi, akan tetapi Dinda tak ingin me
Tampak sang ustaz agak kewalahan mengatasi sesuatu tersebut. Namun, beberapa saat kemudian kedua tangan pria muda tersebut memegang dengan cara menangkupkan kedua telapak tangan layaknya menangkap seekor burung.Ustaz berlari ke arah dapur diiringi tatapan keheranan semua yang melihatnya.“Keluar dari tubuh ibu itu! Atau kau ingin liat kematian yang lebih mengerikan?”Sang ustaz berteriak lantang ke arah ibu yang kesurupan. Mata wanita yang sedang mengejang ini mengarah pria muda ini dan ia tertawa terbahak-bahak.“Tukang bual! Kau hanya pandai menakut-nakuti bangsa kami,” ucap wanita kesurupan tersebut.“Jadi ingin bukti? Baik!” teriak Ustaz Hamdan yang semakin tak sabaran.Pria muda ini membawa ‘sesuatu' yang tertangkup menuju meja lalu jongkok di bawahnya untuk memasukkannya ke dalam sebuah botol di krat minuman.Kemudian, Ustaz Hamdan menutupnya dengan tutup botol dan menyegel dengan doa.Tempat minuman beling ini lalu dibawa ke tunggu dalamdapur yang kayu-kayunya sedang membara.
“Mustafa! Sudah waktunya tobat,”ucap pria setengah baya ini dengan suara berwibawa.“Ampun, Pak Tua. Aku tak akan ganggu kalian. Tolong lepaskan kami! Kasian sodaraku ini. Kami harus segera balik ke dunia kami.”Ustaz Hamdan memberi isyarat dengan kedua tangan terbuka ke arah abahnya. Pak Kiai pun mengangguk lalu tersenyum.“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Pak Kiai dan Ustaz Hamdan bersamaan.Pria bersorban tersebut membuka tutup botol lalu meniupkan sebuah doa ke dalamnya.“Mustafa, ajak sodaramu pulang. Jangan ganggu kami lagi!”Setelah Pak Kiai berkata, seketika botol bergetar hebat. Terasa ada hawa dingin keluar dari mulut botol lalu berubah menjadi semilir angin yang berputar mengitari seisi ruangan. Tak seperti biasa, angin yang berembus beraroma kasturi sangat lemah.“Terima kasih, Pak Tua. Dan juga Ustaz baik. Kami pulang,” ucap Mustafa tanpa wujud.Sesaat kemudian, angin semilir pun lenyap. Pak Kiai dan Ustaz Hamdan bersamaan mengusap wajah dan tampak jelas ekspresi lega dari
“Tahu dan tempe asli ini, Mbak Dinda. Ke mana Bu Teti sebenarnya?”Tiba-tiba telinga Dinda mendengar suara sayup-sayup meminta tolong. Sesaat kemudian tak terdengar lagi. Wanita muda ini jadi panik karenanya.“Ya Allah! Ibu kemana?” tanya Dinda sembari menunduk tanpa terasa buliran bening menetes dari kedua pelupuk mata.“Berdoa demi keselamatan beliau, Mbak. Semoga segera pulang. Banyak istighfar, biar hati bisa lebih tenang,” nasihat Ustaz Hamdan yang hanya mampu melihat wanita.tercintanya dari kejauhan.Dinda maupun Ustaz Hamdan yang kebetulan sedang menghadap ke jalan seketika terkejut melihat kedatangan Bu Teti dengan diantar warga lain desa. Dinda segera bangkit dan berlari menghampiri Bu Teti dengan diikuti Ustaz Hamdan.“Assalamualaikum,” ucap salam dari salah satu warga yang mengantar.“W*'alaikumussalam.W*rahmatullahi W*barakatuh, “jawab salam dari Ustaz Hamdan diikuti oleh Dinda.Wanita muda ini segera memeluk Bu Teti dengan mata berkaca-kaca.“Alhamdulillah! Ibu dari mana?