“Mari bawa ke depan, Mas. Kita hancurkan saja agar tak dipake sebagai sarang jin.”Gito dengan dibantu para santri segera mengangkat keranjang bambu tersebut ke halaman. Pak Kiai mengikuti mereka. Dinda yang keberadaannya hanya mampu dirasakan oleh Gito dan Pak Kiai ikut melangkah keluar rumah. Sementara Mustafa telah lebih dulu berdiri di atap rumah, hingga membuat bayangan besar di sekeliling rumah. Para santri seketika mendongak lalu dengan dipandu Pak Kiai melafazkan surat-surat penghalau jin.“Mas Gito tolong segera dibakar barang-barang di keranjang. Kita musnahkan pengaruh jahat makhluk tak tahu diri ini. Biar kembali ke dunianya.”“Baik, Kiai!”Gito menuangkan minyak tanah lalu mematik korek kayu dan dilemparkan ke dalam keranjang. Seketika api berkobar membakar barang-barang tersebut. Kiai memerintahkan para santri tetap melafazkan ayat-ayat suci.Pria berjenggot putih ini segera mendekati arah keranjang sebuah lembaran berisi tulisan arab dilemparkan ke tengah kobaran api.
“Kiai, Bu Teti kesurupan. Ia mengamuk, kami telah berusaha menenangkan. Tubuhnya mengeluarkan hawa panas membuat sarung tangan kami terbakar hingga kulit bagai terpanggang. Bagaimana, Kiai?”Terdengar suara salah satu santri dari ujung telepon. “Astaghfirullah hal adzim! Pasti Bu Teti ini punya amalan tertentu yang tak sesuai syariat agama Islam. Lanjutkan doa dan zikir. Saya akan segera ke sana," balas Pak Kiai sembari menggelengkan kepala.Pak Kiai segera menghampiri Gito yang masih duduk kecapekan sambil memangku Dinda.“Saya mau tanya. Setau Mas, maaf sebelumnya. Bu Teti punya mantra atau ritual tertentu?”“Saya gak tau soal mantra, tapi Ibu sering kasih sandingan buat leluhur tiap malam Jumat Legi dan kadang malam-malam tertentu," jelas Gito dengan ekspresi heran dan ia merasa yang sedang ditanyakan pria bersorban ini pasti ada hubungannya dengan kegiatan mereka sekarang. “Astaghfirullah hal adzim! Pantas aja," jawab Pak Kiai dengan nada suara kaget.“Ibu, kenapa, Kiai?”“Bu Te
“Anak durhaka! Mana Dinda? Suruh keluar!”teriak wanita separuh baya ini yang tampak semakin memerah raut wajahnya.Tiba-tiba dari mulutnya keluar bola api yang mengarah ke tempat Gito duduk. Bola api sebesar bola tenis ini semakin membesar saat mendekati tubuh pria berambut cepak ini.Namun, bola itu tak bisa menyentuh kulit Gito sedikit pun. Bulatan bara tersebut seketika musnah lalu menguap ditelan udara hampa. Wanita berwujud Bu Teti semakin geram dengan reaksi Gito yang tetap geming.“Kamu pasti gak akan diem lagi. Andai ibumu kubawa pergi.”Kata-kata berisi ancaman dari wanita separuh baya ini sukses memicu amarah Gito. Pria berambut cepak dan selalu sopan dalam bertutur kata, akhirnya berdiri dan mendekati sosok yang menyerupai sang ibu.“Hai, makhluk jejadian. Kembalilah ke alammu! Kami tak butuh dirimu,” ucap Gito penuh amarah yang tampak jelas dari sorot matanya merah dan kepalan tangan berurat. “Manusia tak tahu diri! Kamu tak ingat? Ibumu adalah pengikut setia bangsaku.”
Kini di tanah depan teras letaknya persis lurus menghadap pintu masuk, Bu Teti memberi tanda.Pak Kiai segera meminta salah satu santri membantu memusnahkan tumbal tersebut dengan cara gaib.Tampak sang santri berkeringat saat membaca doa dan itu dirasakan oleh Pak Kiai juga.“Astaghfirullah hal adzim! Subhanallah! Allahu Akbar!”Pak Kiai menggeleng-gelengsambil tersenyum karena keheranan dengan yang telah Bu Teti lakukan.“Bu, percaya dan yakin, hanya Allah sebaik-baiknya pertolongan.”“Iya, Kiai. Saya minta maaf telah khilaf,” balas wanita separuh baya ini sembari menunduk.“Mohon maaf pada Allah lalu segera bertobat dan jangan lupa kasian anak dan menantu yang telah jadi imbas perbuatan Ibu.”“Iya, Kiai.”“Buat bahan renungan bersama. Jangan percaya bujuk rayu setan. Yang bisa menjaga kita dari mara bahaya dan juga gangguan ilmu hitam sekali pun hanya Allah. Mohon perlindungan hanya pada-Nya.”Bu Teti semakin merasa bersalah mendengar wejangan dari Pak Kiai lalu memeluk Dinda dan me
Ular kobra mulai melata mengelilingi tempat tidur. Sang ular berderik ketika pada saat bacaan terakhir mulai dilantunkan lalu menyelinap masuk sprei dan hanya gerakannya saja terlihat.Aroma kemenyan dan dupa menguar memenuhi ruangan tersebut. Seketika bulu kuduk ketiganya berdiri.“Astaghfirullah hal adzim! Audzubillahiminasyaitonirojim,” ucap ketiganya serentak.Secara bersama-sama ketiganya membaca Ayat Kursi. Ajaib! Setelah bacaan selesai tampak asap putih mengepul menyelimuti permukaan sprei lalu menghilang. Gerakan di bawah sprei tiba-tiba melambat lalu diam.Gito segera mengambil penebah lalu memukulkan ke permukaan kasur dan tak ada sesuatu yang tersentuh. Pria ini mengangkat salah satu sisi sprei lalu dari setiap sisi menyingkapnya dan benar-benar tak ada apa pun di bawah sprei.Akhirnya sprei disingkap keseluruhan lalu dilipat. Gito diikuti Dinda melongok ke bawah ranjang, sedangkan Bu Teti mencari setiap sudut ruangan dan memang ular tersebut sudah tak ada lagi. “Alhamdul
Oh, ya, ya. Itu Mbok Wo. Udah lama keluarga kita kenal dan dia biasa ngobatin orang sakit,” ucap Bu Teti sembari tersenyum merasa senang akhirnya teka-teki pemilik tusuk konde terjawab.“Bu! Sadar gak? Itu sama dengan jadiin istriku tumbal. Mbok Wo itu dukun. Buat obatin Dinda? Dia gak sakit.”“Tapi, Le. Mbok Wo bilang, istrimu harus dipagari karena ada jin di rumah kosong.”“Dan hasilnya ...? Jin itu makin tergila-gila dengan Dinda! Itu yang Ibu bilang mageri? Barusan ... mau apa lagi ke sini?” tanya Gito setengah teriak karena kesal dan segera berlalu ke kamar mandi ambil wudu diikuti sang istri.“Ibu minta maaf, Le!” pinta Bu Teti setengah berlari mengejar langkah Gito.“Sekarang kita salat dulu. Mohon ampun sama Allah,” ucap Gito segera mengambil air wudu.Seusai Gito, kini secara bergantian Bu Teti dan Dinda melakukan wudu. Setelah itu ketiganya bersiap berjamaah salat Subuh. Beberapa saat ketiganya doa dan zikir bersama, Gito mendengar sesuatu.Pria ini segera beranjak dari musa
“Suaranya seperti Ibu kenal,” ucap Bu Teti sambil agak mendekat untuk mengamati ular tersebut.Pak Kiai hanya tersenyum lalu membawa ular ini masuk toilet dan kemudian menenggelamkan binatang melata ini ke dalam bak kamar mandi. Sekali lagi terdengar suara lengkingan menyayat hati, saat Pak Kiai meneteskan suatu cairan dari botolkecil. Asap putih kekuningan memenuhi permukaan air di bak.“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”Pak Kiai terus meneteskan cairan tersebut sampai habis. Suara lengkingan yang semakin melemah dan hilang. Asap di permukaan air perlahan mulai menipis dan tinggal berwarna putih susu.“Maaf, Kiai! Ular siluman?” tanya Gito masih di ambang pintu toilet.Pak Kiai hanya tersenyum penuh arti lalu keluar dari toilet. Mereka yang di luar heran sekaligus penasaran dengan ular yang dimasukan bak toilet barusan.“Kita tunggu barang tiga puluh menit, biar kulit ularnya mengelupas dulu,” ucap Pak Kiai menjawab rasa penasaran yang lain.Akhirnya mereka berkumpul di ruan
Jasad tersebut memakai pakaian yang telah menjadi ciri khasnya semasa hidup. Dinda dan Bu Teti yang telah bermasker terpaksa menutup dengan telapak tangan karena saking busuk aroma di dalam toilet. Kedua wanita ini gegas keluar lalu berlari ke arah WC yang berada di belakang rumah. “I-itu ... baju Pak Wo. Kok bisa? Semua akik yang di jari, punya dia,” ucap Bu Teti sesaat setelah duduk bersama di ruang tengah masih dengan napas ngos-ngosan.Tak lama kemudian, Dinda datang dengan muka pucat pasi. Wanita muda ini tak mengenal Pak Wo, tapi ia jadi syok melihat jasad yang mengerikan barusan. Ia merasakan aroma mistis menyelimuti sang jasad.Gito segera menuju ruang tamu dan kembali dengan nampan berisi gelas minuman mereka. Ia meletakkan gelas ke depan masing-masing pemilik.“Silakan diminum, Kiai”“Terima kasih, Mas Gito.”Pria berambut cepak ini menyodorkan minuman kepada sang istri. Dinda segera menerima lalu meneguk isinya sampai tandas. Kemudian wanita muda ini menarik napas panjang