Share

JIWA-JIWA YANG MALANG
JIWA-JIWA YANG MALANG
Author: Bang z05

Prolog

Jika memang seorang anak kau anggap sebagai permata, lantas mengapa dahulu kau buang aku hingga menjadikan aku sebagai orang yang selalu berdiri menantang kehadiran sang takdir.

****

Kala itu saat hujan turun dibulan Desember pada beberapa tahun silam, tampak dari bawah lindungan nestapa pada langit-langit jembatan layang, seorang bocah kumuh, penuh akan noda pada pakaiannya, merintih meminta pengharapan dari sang kuasa untuk memberikan setitik Rohmat, kasih sayang, belas kasih dari orang-orang untuk menghibahkan sedikit, setitik, sekecil hartanya untuk mereka makan. Biar lah hari ini bocah malang itu mendapat makan, biar lah berikan mereka kebahagiaan atas kemalangannya, lantaran dibuang, diasingkan oleh keluarga sendiri, tak peduli mereka masih hidup, mati, ingat, ataupun lupa akan diri, bahwa harta tidak akan pernah dibawa mati, melainkan belas kasih dan amal yang akan mengantarkan dirinya sendiri menuju jalan kerohmatan yang mana menjadi balasan dari sang maha pencipta guratan keindahan alam.

Bus kian berhenti pada tepian bibir tepian jalan, mengantarkan puluhan orang-orang berpakaian kain tebal, jas hitam, dan mantel, hampir seluruhnya melebarkan payung hitam agar bisa menghindari ramainya terpaan air hujan yang jatuh membasahi diri. Maka seperti inilah suasana kota hujan pada saat puluhan tahun silam, yang banyak orang-orang perbincangkan mengenai banyaknya gedung-gedung yang tinggi menjulang.

Beberapa sorot mata yang bercampu perasaan jijik, hina, begitu pula iba, memandang ketiga orang bocah yang sedang duduk-duduk saja di atas banyaknya tumpukan sampah, beberapa pertanyaan terlontar dari mulut tajam mereka mengenai siapa mereka, dan bagaimana? Ah entah lah, bahkan ketiga bocah itupun tak tahu, kenapa dan bagaimana?

Beruntung, tatkala tidak bisa menahan kesedihannya, seorang perempuan kecil datang pada mereka dengan membawa tiga potong roti kering, itu pun sisanya sudah gadis itu makan lantaran sama merasa lapar, namun apa salah jika membantu orang yang lebih membutuhkan. Gumam gadis kecil itu, merasa amat senang pemberiannya diterima walaupun hanya menerima suatu balasan kata terimakasih dan senyuman.

Begitu pula dengan salah seorang bocah yang bernama Kelvin, ingin sekali ia bertanya, “apakah boleh kita berkenalan.” Akan tetapi pertanyaan itu hanyalah suatu perkataan yang terlintas sesaat, datang tanpa menghadirkan arti. Lantaran ia pun ingat, bahwa martabat seorang penerima tidak akan pernah sebanding dengan tabiat sang pemberi.

Setiap langkah pada erangan sandal gadis itu, ia ikuti sampai ia mendapatinya kembali meski hanya sebatas melihat ia dari kejauhan saja. Tampak begitu jelas walau terhalang oleh luruhnya ribuan air hujan yang berangsur-angsur menghajar ke permukaan, hingga menghilang seutuhnya dari pandangan, kapan gadis kecil itu pulang?

Terpaksa kali ini Kelvin harus pulang membawa kesedihan, padahal apa salahnya jika ia hanya ingin berkenalan layaknya seorang kawan.

Tubuhnya kian basah, menantang hawa dingin yang berangsur masuk menusuk kulit, mengalir membekukan perasaan, menjadikan kepribadiannya yang kadang pendiam, kadang pula menjadi buas, sebuas seorang pria gagah penuh akan amarah, yakni preman.

•20 years later

Riuh rendah suara orang-orang yang saling bersahutan, begitu pula dengan seorang remaja lima belas tahunan yang tengah berdiri sambil meminta-minta uang kepada pemilik sang kendaraan yang lalu lalang. Maka tampak pula seorang remaja tampan, rambut ikal, dan berbadan tinggi itu berteriak kepada salah seorang anak buahnya, yang mana di antaranya ialah Bambang dan juga sattarul imam, atau yang karib orang-orang sapa bang dan sat.

Sedangkan Kelvin sendiri, ia sangat terkenal dengan pangkat lantaran kekuasaannya yang sudah mampu meluluhkan satu daerah, di antaranya terminal yang berada tepat pada perbatasan kota hujan.

Sekali lagi, andai kata kalian bisa melihat kekejamannya yang terbilang arogan, perusuh, bahkan berani untuk membunuh. Maka hal itu pula yang tampak pada raut wajahnya, meski hanya sebatas terkaan saja, bahwa ia pun ingin membalaskan dendamnya lantaran dunia tidak pernah memberikannya lindungan atas seluruh keterpurukannya selama dua puluh tahun silam.

Begitu pula dengan harap sorot langit yang kini masih menyisakan titik curahan hujan yang tertutup sebagian oleh gulungan awan hitam, terlukis jelas pada kedua jelaga Kelvin, hari ini kian menjatuhkan lagi air kesedihannya untuk kesekian kali lagi, dan lagi. Hingga membasahi ke setiap permukaan bumi.

“Tuan kami ingin makan sekarang.” Bang angkat bicara, suaranya terdengar begitu terbata-bata sambil memandang lekat-lekat pada jalanan yang kian berlubang. Padahal persahabatan ia dengan seorang Kelvin itu sudah sangat lama sekali, bahkan sudah sedari kecil mereka merasakan getir penderitaan selayaknya bocah buangan, merasa lapar di bawah lindungan kolong jembatan, serta selalu dipandang oleh orang-orang dengan tatapan yang terkesan merendahkan.

“Ini!, Belilah makanan bersama sat!” sahut Kelvin terdengar begitu lantang, rahangnya tegas, persis seperti kepribadiannya yang awas.

“Ba_baik tuan.” Jawabnya kembali sambil menundukan muka sebelum pergi meninggalkan Kelvin yang tengah duduk membiarkan hawa dingin itu masuk menusuk tubuhnya yang lelah, berusaha meredamkan seluruh amarah, wujudnya yang terbilang kejam perlahan memudar menampakan diri dari hatinya yang berada pada ujung nestapa, seolah hidup ini hanya sebatas sandiwara bagi orang-orang tanpa jati diri seperti dirinya.

Teringat akan seluruh hidupnya yang ia habiskan pada saat masa kecilnya dahulu, harus berusaha menjadi lebih kuat, selalu menciptakan kerusuhan antar kedua belah pihak Genk jalanan, dihina lantaran martabatnya di sama persis kan selayaknya hewan seekor kucing liar.

Asap rokok kian melingkar di hadapan pandangannya lalu terbang menghilang perlahan setelah terbawa oleh hembusan angin kala hujan.

Mengingat masa lalu terkadang membuatnya tertawa lepas, melupakan seluruh keluh kesahnya sebagai orang yang tak bermartabat, lagi pula siapa yang mau hidup terkekang oleh ancaman, andai kata perempuan yang kala waktu kecil itu ia tahu dimana, siapa namanya. Mungkin ia akan datang untuk berjumpa, meninggalkan seluruh kekuasaannya begitu saja, hanya karena sebuah kata...”aku mencintainya.” Kelvin tahu jika ia bisa bertemu, akankah ia mengingatnya kembali pada saat kejadian dua puluh tahun silam, mungkin ia akan tumbuh sebagai seorang gadis yang amat cantik, baik Budi bahasanya, dan yang pasti tidak lah pantas untuk dimiliki oleh seorang remaja seperti dirinya.

Wahai Tuhan sang pencipta guratan keindahan alam, sang penulis takdir dikala siang atau malam, sang pemberi pelita di tengah-tengah gelapnya gulita. Kemana orang sepertinya harus melangkah, dalam hati ingin sekali ia meninggalkan semua ini, lalu berjalan di atas tujuan yang lebih pasti untuk ia dapati.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Al Meera
Keren abis😁
goodnovel comment avatar
Dwi Rachmawati
avang zimsalabim aq sdh datang tp gagal trus tu buat rate 5.
goodnovel comment avatar
Eliyen
Wasem, opening-nya udah bikin baper. 😭
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status