"Kenapa? Curiga lagi? Ganti bajumu, ikut denganku."
Aku menatap wajahnya. Lalu memandang dress selutut yang aku kenakan saat ini. Ada apa dengan gaun ini? Kenapa dia menyuruhku untuk menggantinya.
Jika terlalu pendek, kenapa tadi dia membiarkanku bertemu teman-temanku? Lagipula baju ini sudah pernah aku pakai ke rumah orang tuaku. Bang Eka pun sama sekali tak keberatan. Kenapa malah tak mau aku memakainya malam ini.
"Pulangnya naik motor. Kau pasti merasa tidak nyaman. Itu kan alasanmu menyuruh pak Ali datang?" Ucapannya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku sedikit bernapas lega. Sepertinya dia begitu mengerti apa saja yang ada di dalam pikiranku.
*
Aku dan bang Haikal pamit usai mengambil motor yang dibawa oleh pak Ali sore tadi. Ayah menyuruh kami menginap, namun bang Haikal menolak. Kami hanya akan menginap saat akhir pekan saja. Agar dia tak perlu buru-buru bangun untuk berangkat ke kantor lebih cepat.
"Kau masih marah?" Dia bertanya saat berhenti di lampu merah. Aku yang memang sudah terbiasa memeluk pinggangnya sejak masih kanak-kanak tak menjawab.
Ingin menggeleng, dia juga pasti tak akan bisa melihatnya.
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Kania benar-benar berada di sana. Kau jangan nekat mengucapkan kata cerai lagi, ya. Aku jadi begitu malu karena perbuatanku kemarin. Aku benar-benar salah paham soal keinginanmu itu."
Aku mengulum senyum dari balik punggungnya. Sudah menduga kalau sikap ketusnya karena ingin menutupi rasa malu setelah kejadian malam itu.
"Kau tidak marah, kan? Kau tidak perlu takut. Aku bukan pedofil yang__"
Belum sempat dia meneruskan ucapannya, aku langsung mengeratkan dekapanku. Lantas menyandarkan pipi ke punggungnya.
"Aku percaya. Apa pun yang Abang katakan, aku percaya. Maaf kalau aku terlalu memaksa dan mencurigai Abang." Aku berucap setulus hati.
Ya, aku percaya. Seumur hidup aku mengenalnya sebagai orang baik dan selalu jujur. Hal itulah yang membuatku sedetik pun tak bisa menghapus rasa cinta hingga sampai sebesar ini.
Dia melajukan kembali motor maticnya saat lampu hijau menyala. Bisa kubayangkan kalau dia sedang tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat tingkahku malam ini.
Sama seperti sebelum-sebelumnya saat aku selalu bertingkah manja di hadapannya.
*
Siang ini aku menunggu Dea di kafe tak jauh dari kampusnya. Sebelumnya aku sudah menghubungi dan membuat janji. Sengaja kupasang wajah masam saat dia datang sambil melambaikan tangan.
'Munafik!' pekikku dalam hati.
"Dwiiiiii!" Dia merentangkan tangan dan segera merangkulku saat mendekat. Menempelkan pipinya ke pipiku dengan gemas.
"Thank you kadonya, Sayang." Dia tampak sumringah sembari memutar-mutar pergelangan tangannya di hadapanku.
Sebuah jam tangan cantik yang sudah lama dia idamkan kuberikan sebagai hadiah ulang tahun malam itu. Harga tak jadi masalah, karena selama ini dialah sahabat terbaikku. Meski terkadang ucapannya yang ceplas-ceplos tanpa filter, membuatku gerah, dan kadang naik darah.
Aku memutar bola mata. Masih kesal karena dia belum menyadari untuk apa aku meminta bertemu.
Aku masih membiarkannya berbasa-basi tentang acara semalam. Tentang acara yang berlangsung hingga tengah malam, juga tentang kado-kado mahal yang dia terima dari para undangan.
"Baiklah. Masih belum cukup pamernya?" Aku berujar sinis.
"Hei! Kau tampak aneh. Sepertinya dari tadi kau terlihat tidak senang. Ada masalah?" Sepertinya dia mulai sadar.
"Ya. Kau yang membuatku bermasalah."
"Aku? Apa salahku?" Wajahnya langsung berubah serius. Tahu bahwa jika sedang marah, aku bisa mendiamkan dan kembali memblokir nomornya hingga berhari-hari.
"Apa maksudmu mengundang Kania di pesta itu. Kau ingin mengadakan reuni tersembunyi antara suamiku dan mantannya?"
~~~~Dahinya mengernyit mendengar nama itu. Alis tipisnya bahkan terlihat hampir menyatu."Kania? Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya?" Wajahnya tampak bingung. Entah itu sungguhan atau hanya sekedar sandiwara. Aku memundurkan punggung ke sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Mencoba mengintimidasi dengan menatap tajam ke arahnya. Bersikap seolah aku sudah tahu semua perbuatannya."Pestamu. Kenapa mengundangnya? Kau jelas tahu kalau aku begitu cemburu dan membenci wanita itu.""Kau salah paham, Dwi. Aku tak pernah mengundangnya. Aku juga tak tahu kalau dia hadir malam tadi. Kau lihat sendiri aku begitu sibuk dengan teman-teman kampusku, bukan?""Jadi kenapa dia bisa berada di sana? Dia bahkan menatap suamiku. Dia berusaha menggodanya, De." Aku mulai tersulut emosi. Membayangkan bagaimana mereka saling memandang penuh cinta."Aku benar-benar tidak tahu," ucapnya lirih, seperti ikut merasakan kesakitanku.Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih menahan air yang kini suda
Aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Hari ini aku bermaksud membuat kejutan dengan mengantarkan nasi dan lauk pauk yang aku buat ke kantor bang Haikal. Hari ini aku bangun kesiangan karena tidak salat subuh. Hanya sempat mendadar telur saja untuk sarapan suamiku. Biasanya jika seperti itu dia akan makan siang di luar saja. Ini sudah tanggal tua. Dia pasti kehabisan uang untuk melakukan itu. Aku takut dia hanya akan makan pop mie di pantry saja karena merasa segan meminta uang padaku.Padahal aku tak pernah menuntut semua gaji yang dia hasilkan. Gaji yang masih secara manual dimasukkan ke dalam amplop dia serahkan padaku. Dia hanya meminta sebagian untuk uang bensin dan juga pegangan selama di perjalanan.Aku bilang tak butuh itu. Uang saku dari ayah dan juga bang Eka berkali-kali lipat dari gajinya saat ini. Namun lagi-lagi dia tersinggung."Memang seperti inilah berumah tangga. Istri harus mampu mengelola penghasilan suami meski tak seberapa. Kalau kau masih belum paham, kenapa
Hati ini begitu hancur. Mati-matian aku berusaha bertahan untuk merebut perhatiannya. Bahkan membatalkan permintaan cerai karena suamiku juga tak mau aku menyandang status janda di usia muda.Lalu ini apa? Dia lebih memilih menanggung dosa perselingkuhan dibanding menceraikan aku yang sudah jelas-jelas ingin membebaskannya.Aku tak mau lagi. Aku menyerah dan ingin segera membebaskan rasa sakit ini.Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Aku yang tengah bersembunyi di balik sebuah mobil tak mau menghiraukan dan memilih mengabaikannya. Aku mundur perlahan untuk segera pulang. Sampai akhirnya punggungku menabrak tubuh seseorang."Kau di sini rupanya." Bang Haikal menegur, masih dengan ponsel yang menempel di telinga.Aku langsung mengusap air mata dengan kasar. Namun dadaku masih naik turun karena menahan sesak. "Kau kenapa? Apa seseorang menganggumu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku tak peduli dan enggan menjawab.Bukankah harusnya dia berpikir bahwa aku menangis karena perbuatannya. Belum
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Kania ada di sini. Sudah berapa kali aku bilang, aku tak pernah lagi berhubungan dengannya." Pria itu menatapku dengan teduh. "Berhenti cemburu pada Kania, Dwi. Sebesar apa pun perasaanku padanya, aku tetaplah suamimu. Kau yang paling berhak atas diriku. Sudah?" Dia mencoba meyakinkanku.Bibirku bergetar menahan tangis. Rasa cinta ini selalu bisa meluluhkan hati begitu mendengar kata-katanya yang begitu manis. Kenapa rasa sayangnya padaku sebagai adik tak bisa berubah layaknya pada kekasih. Tak bisakah dia melihat sisi lain diriku yang sudah mencoba bersikap sesuai keinginannya?"Kau sedang datang bulan. Pasti jadi lebih sensitif. Makanya marah-marah terus. Pulang dan istirahatlah!" Dia mengacak-acak rambutku seperti anak kecil, lalu mengambil tas bekal yang berada di tanganku.Lihatlah!Dia terlihat begitu perhatian. Selalu mengerti tentang keadaanku. Siapa yang tidak berpikir kalau dia benar-benar sayang dan bisa dengan mudah mencintaiku. Harusn
Makan malam kali ini penuh kebisuan. Masing-masing dari kami masih saling diam. Biasanya jika tahu aku sedang marah, bang Haikal pasti menyapa duluan. Entah bertanya apa aku masih marah, atau mungkin meminta maaf dan mengalah.Namun kali ini tampak berbeda. Sedari tadi raut wajahnya terus gelisah. Seperti ingin berbicara, namun urung karena ragu. Membuat perasaanku makin tak menentu dan kembali timbul rasa curiga.Sebentar-sebentar mata itu menatapku, lalu kembali menyendok nasi dari piring ke mulutnya. Hatiku yang masih dilanda rasa amarah berusaha untuk tetap tenang. Semoga saja kali ini tak ada hubungannya dengan Kania."Dwi." Akhirnya terdengar panggilan itu dari mulutnya."Iya?" Aku berusaha menyahut selembut mungkin."Maaf soal tadi siang." Aku tertegun. Rupanya dia kembali mengalah dan merasa bersalah karena telah membuatku menangis."Abang sudah bilang tak bertemu dengannya. Tak apa. Anggap saja aku salah lihat." Aku mencoba untuk tersenyum.Aku ikut mengalah, demi membuatnya
Mata itu kembali menatapku dengan sendu. Kembali menolak seperti waktu itu. Namun hati ini terlanjur sakit dan tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya."Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Kenapa kau masih membahas soal perceraian. Tak baik sering-sering mengucapkan kata itu, Dwi." Suaranya terdengar lirih."Abang harusnya mengucap syukur. Aku sudah berbaik hati membebaskan Abang. Jangan lagi mempermainkan perasaanku dengan berpura-pura menolaknya." Tangisku tertahan tanpa suara."Pernikahan bukan mainan, Dwi. Jelas-jelas aku sudah bertanya tentang keyakinanmu. Menerima segala kekurangan dan mungkin perasaanku saat itu. Lalu sekarang apa? Kau membuatku terlihat seperti penjahat."Suamiku benar. Sebelum menikah dia telah mengungkapkan semuanya. Tentang perasaannya yang hanya menganggapku sebagai adik. Dia juga terang-terangan mengungkapkan betapa besar rasa cintanya pada Kania. Sangat sulit untuk berpaling dan tak ingin menyakitiku. Memintaku mengurungkan niat dan membatalkan pernikahan
"Abang mau apa lagi?" tanyaku yang masih berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka."Pembicaraan kita belum selesai," sahutnya. Masih dengan mode lembut.Aku kembali melangkah menuju tempat tidur, membiarkan pintu itu tetap terbuka. Bang Haikal ikut masuk, lalu berdiri di hadapanku yang kini sudah duduk di tepi ranjang."Pikirkan lagi, Dwi. Jalan kita masih panjang. Masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Aku berjanji akan berusaha melupakan Kania." Dia terlihat bersungguh-sungguh. "Mana mungkin bisa, jika setiap hari Abang bertemu dan berbicara dengannya. Sedang saat berjauhan pun Abang selalu mengingatnya!" jawabku tegas."Aku tidak mungkin tiba-tiba mengundurkan diri. Bagaimana nanti aku memenuhi tanggung jawab untuk menafkahimu jika tak punya pekerjaan?""Abang hanya beralasan! Abang punya ijazah Sarjana. Ada banyak pekerjaan di luar sana. Aku juga tak pernah menuntut apa pun pada Abang, kan?""Tidak semudah itu, Dwi. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ak
Ini hari ke tiga aku di rumah ayah dan ibu. Tak sekali pun suamiku mengirim pesan atau berusaha membujukku. Setidaknya dia harus memberi kabar meski belum sampai empat hari. Dengan begitu aku masih memiliki harapan kalau dia benar-benar berniat mempertahankan rumah tangga kami.Jahat!Kata-katanya semua palsu. Dia pasti begitu bahagia hidup tanpa aku. Padahal aku di sini hampir mati menahan rindu. Pasti saat ini dia sedang membayangkan bagaimana hari-harinya bersama Kania di kantor itu.Kurasa memang seperti inilah jalan takdirku. Menikah dan menyandang status janda masih di tahun yang sama. Bahkan umur pun belum bergerak dari angka yang lama.Satu tahun sejak lulus SMA membuatku memantapkan hati menjadi seorang istri. Tak peduli pada titel sarjana atau jenjang karir di luar sana. Isi kepalaku hanya dipenuhi oleh hari-hari bahagia bersama bang Haikal saja. Mencuci bajunya, memasak makanan kesukaannya, bahkan memijatnya jika dia merasa lelah. Sesederhana itu cita-citaku. Pikiran itu s