"Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."
Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya.
"Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.
Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar.
"Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.
Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik.
"Dalam satu minggu ini, sudah berapa kali kamu membolos? Masih mau menambah poin pelanggaran?" tegur Adhinata. Kedua tangan terlipat di depan dada, masih dengan ekspresi dinginnya.
"Jangan, dong, Pak. Saya tadi sudah izin sama guru piket, mau ada keperluan penting di luar sekolah," sahut Nadira, memelas.
"Kalau sudah izin, kenapa harus manjat pagar?" selidik guru muda yang akrab dipanggil Pak Nata oleh murid-muridnya tersebut.
"Bener kok udah minta izin, tapi ... enggak dikasih, Pak. He he he ...." Nadira menggaruk kepala hingga beberapa helai rambut mencuat ke mana-mana. Cengiran konyol masih terpasang, menampilkan gigi gingsul yang menawan.
Tatapan datar Adhinata masih belum berubah saat dia berkata, "Ikut ke ruangan saya sekarang."
"Loh, kenapa gitu, Pak? Saya mau ada urusan penting ini, Pak." Gadis itu berusaha menolak.
"Saya tidak menerima alasan."
Tahu-tahu pria muda 27 tahun itu sudah menarik lengan siswinya menuju ruang bimbingan.
"Lepasin, Pak. Jangan tarik-tarik gini, saya bisa jalan sendiri." Nadira menahan laju badannya, tetapi tak bisa. Adhinata terlalu kuat. Hingga tubuh sang gadis terseret paksa.
"Pak, tangan saya sakit. Tolong lepasin." Nadira berseru terburu.
Adhinata menghentikan langkah mendadak dan memutar badan secara tiba-tiba, saat mendengar keluhan demikian. Membuat tubuh Nadira terhuyung cepat hingga menubruk dada bidangnya.
Tangan Nata refleks merengkuh tubuh siswi yang hanya setinggi bahunya itu, saat keduanya terhuyung selepas bertubrukan. Posisi mereka kini layaknya sepasang kekasih yang sedang berpelukan.
Keduanya beradu tatap begitu lekat. Lengan Adhinata merengkuh pinggang Nadira, sementara tangan gadis itu berpegangan kuat pada lengan atas gurunya. Suasana sekitar seolah bergerak lambat bak slow motion dalam drama, dan soundtrack romantis pun seakan terdengar.
"Hei, apa-apaan ini? Pak Nata, apa yang Anda lakukan?"
Keduanya gelagapan ketika seruan lantang itu menegur tegas. Merusak momen saja.
Adhinata spontan melepaskan pegangan pada Nadira, membuat gadis itu ambruk ke atas tanah.
"Akhh!" Rintihan Nadira tidak Nata hiraukan. Guru muda itu sedikit membungkukkan badan, memberi salam sopan pada seseorang yang baru saja menegurnya.
Pak Widodo—sang kepala sekolah—berada tak jauh dari mereka. Berdiri kaku dengan mata melebar, kacamata merosot, mulut menganga, dan ekspresi syok yang membuat wajah tuanya memucat.
"Maaf, Pak. Siswi ini kedapatan mau membolos, jadi sedang saya tertibkan," ujar Nata dengan nada tenang. Ekor matanya melirik ke arah Nadira.
Pandangan sang kepala sekolah beralih pada siswi yang kini sudah berdiri kembali, dan tengah membersihkan rok dari debu yang mengotori.
"Nadira Amaya. Astaga, kamu lagi ternyata. Kenapa suka sekali membuat ulah?" desah kepala sekolah. "Ya sudah Pak Nata, lanjutkan saja menertibkan anak ini. Saya ada rapat di sekolah lain. Saya tidak mau ada anak yang menggunakan seragam sekolah ini berkeliaran di jalan saat jam pelajaran," sambungnya.
"Baik, Pak." Adhinata memberi anggukan.
Setelah kepala sekolah menjauh, Nata menatap sekilas ke arah Nadira. Sekadar memastikan bahwa gadis itu baik saja-saja setelah ia jatuhkan tadi.
Nadira dibuat terkejut saat tiba-tiba Adinata meraih tangannya dan ditarik mendekat. Kali ini gadis tersebut tak memberontak, justru keheranan melihat Adhinata yang mengamati telapak dan pergelangan tangannya dengan serius. Tidak ada luka, hanya sedikit goresan di salah satu telapak tangan. Sepertinya karena tadi tersungkur di atas tanah.
Tanpa kata, Adhinata menatap lekat Nadira, lantas kembali melanjutkan langkah. Sorot matanya mengisyaratkan agar Nadira mengikuti dari belakang. Sang gadis pun tak punya pilihan. Dengan wajah cemberut, bibir manyun, dan langkah menghentak, Nadira pun mengekor sang guru galak.
Beberapa menit berselang, mereka sudah memasuki ruang bimbingan. Adhinata mendudukkan diri di balik meja kerja, sementara Nadira mendaratkan pantat pada sofa hitam di seberang Adhinata berada.
"Siapa yang kasih izin kamu duduk di situ? Ke sini!" Menggunakan dagu, Pak Nata menunjuk kursi di depan mejanya.
Dengan langkah malas, Nadira kali ini mendekat tanpa bantahan. Tas sekolah ia letakkan asal di dekat kaki meja, dan kini ia melirik Pak Nata dengan raut kesal.
"Katanya suruh masuk kelas. Malah diajak ke sini," gerutunya lirih.
"Apa kamu bilang?" Nata bertanya penuh selidik.
"Enggak, Pak. Bukan apa-apa. Ruangan Bapak enak. Adem, ada sofanya, bisalah kerja sambil rebahan." Nadira asal bicara. Cengiran konyol kembali terpampang.
Adhinata menghela napas. Memutar kursi dan tangannya menyalakan komputer di sisi meja. Menunggu beberapa saat, lalu jari-jari panjangnya mengetikkan sesuatu. Setelah itu, muncullah daftar nama-nama siswa beserta poin pelanggaran pada monitor.
"Perhatikan ini." Pria tersebut menunjuk layar, meminta Nadira memperhatikan.
"Enggak kelihatan, Pak. Mata saya buram." Gadis itu beralasan.
Adhinata menyandarkan badan pada punggung kursi. Tak peduli dengan Nadira yang seakan tak menggubris.
"Nama kamu ada di urutan paling atas pada daftar murid yang sering melakukan pelanggaran. Kamu memegang poin tertinggi dalam hal ini," papar sang guru tampan.
"Wah, bakal dapat medali gak, nih?" Nadira menaik-turunkan alis.
"Jangan bercanda, Rara. Ini perkara serius." Adinata menegur tegas.
Siswi di depannya terdiam dan manggut-manggut, sembari mengedipkan mata lucu. Sok lugu.
"Ditambah upaya membolos kamu hari ini, seharusnya sanki yang kamu dapat akan lebih berat. Saya punya wewenang untuk memanggil orang tuamu agar datang ke sekolah."
"Orang tua saya sibuk, gak akan sempat datang, Pak. Langsung jatuhin skorsing aja deh." Nadira menyambar.
"Itu mau kamu, 'kan? Bilang saja malas sekolah," tukas Adhinata.
"Bapak tahu aja." Nadira genit. Menggigit bibir dan memajukan badan.
Sang pria berdeham melihat tingkah murid nakalnya, dan segera mengalihkan pandang setelah meneguk ludah susah payah.
"Jangan pasang wajah seperti itu di depan saya." Nata memperingatkan.
"Kenapa? Bapak tergoda, ya?" ledek Nadira.
"Poin pelanggaran saya tambah karena kamu berusaha merayu guru." Nata mengetikkan pelanggaran baru pada kolom nama Nadira dan poin tambahan pun menyusul.
"Hei, itu gak masuk dalam kategori pelanggaran, ya. Bapak gak bisa seenaknya." Nadira mengulurkan tangan melintasi meja, menarik lengan sang guru agar tak melanjutkan ketikan, tetapi terlambat. Nata sudah memperbarui catatannya.
"Saya bisa." Nata menatap Nadira tajam. "Tapi karena kamu gagal membolos hari ini, saya tidak akan memanggil orang tuamu."
"Hhh ... bagus deh kalau begitu." Nadira menghela napas lega.
"Sebagai gantinya, saya sudah siapkan hukuman lainnya."
"Hukuman apa, sih, Pak? Saya pasrah aja deh suruh masuk kelas. Dengerin guru sambil ngantuk-ngantuk gak masalah," sambar si gadis belia.
"Tidak sesederhana itu. Kamu harus membersihkan toilet di seluruh gedung sekolah. Termasuk toilet guru dan staff tata usaha," ucap Nata penuh penekanan.
Nadira melongo di tempat. "Yang bener aja, Pak? Bisa gempor saya."
"Saya tidak menerima bantahan." Nata beranjak meninggalkan kursinya.
"Gak mau ah. Jangan ya, pliss. Saya tuh jijik kalau disuruh ngerjain yang kayak gituan." Nadira ikut berdiri, mendekat ke arah sang guru yang berada di samping meja.
"Kerjakan, atau saya bawa kamu ke tengah lapangan." Suara rendah Adhinata ditambah tatapan lekatnya membuat merinding sekujur badan.
"Ke tengah lapangan suruh hormat bendera?" terka Nadira.
Salah satu sudut bibir Adhinata terangkat. Menampilkan smirk misterius yang lagi-lagi membuat bulu roma meremang. Dia tarik tubuh Nadira mendekat, seraya melontar kalimat yang membuat gadis itu terhenyak.
"Bukan. Tapi, untuk saya cium di hadapan seluruh warga sekolah. Jadi, pilih mana?"
Pagi berikutnya datang dengan sapaan berbeda. Bukan hanya cahaya matahari yang membangunkan Nadira, tetapi deru pelan mesin kapal yang berubah nada. Ia membuka mata perlahan, menyadari bahwa Adhinata sudah tak ada di sampingnya. Hanya selimut yang masih menyimpan jejak kehangatan tubuh suaminya. Nadira mengerjap, mendapati selembar catatan kecil di atas bantal. Pagi, Istriku Sayang. Mas tunggu di atas dek. Jangan buru-buru menyusul. Nikmati pagi pelan-pelan. Hari ini, Mas punya kejutan. Nadira tersenyum. Suaminya memang lelaki penuh kejutan. "Apalagi sekarang?" gumam Nadira, bersama seulas senyuman menghias wajah. Setelah mandi dan mengenakan gaun santai berwarna pastel—yang disiapkan Adhinata di sisi ranjang, Nadira keluar dari kabin. Angin laut menyapa rambutnya yang digerai. Langkahnya ringan menuju dek utama. Di sana, Adhinata sudah menunggu, berdiri menghadap laut sambil membawa dua cangkir kopi. Saat melihat Nadira mendekat, pria itu tersenyum seperti baru pertama ka
Mentari pagi menyelinap lembut dari balik tirai kabin kapal pesiar yang mengapung tenang di tengah laut biru. Sinar emas menari-nari di atas seprai putih yang kusut, menyinari dua sosok yang masih terlelap dalam pelukan satu sama lain. Hembusan angin laut dari balkon terbuka membawa aroma asin yang khas, berpadu dengan kehangatan tubuh yang baru saja melewati malam pertama sebagai suami istri.Adhinata membuka mata lebih dulu. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Nadira yang damai, tertidur dengan napas teratur dan pipi merona. Ia tak sanggup menahan senyum."Rara ...," bisiknya pelan sambil menyibak anak rambut yang jatuh di dahi istrinya.Nadira menggeliat manja, lalu membuka mata separuh. "Pagi, Mas ...." Suaranya serak manja, seperti bisikan yang membuat debar jantung Adhinata meningkat. "Mas baru sadar, ternyata pagi di atas kapal pesiar bareng istri itu indah banget," bisiknya sambil mencium kening Nadira dan merapatkan pelukan."Mas ih ... pagi-pagi gombal." Nadira menyembun
Nadira terbangun di tengah malam dengan napas yang sedikit tersengal. Di luar, suara deburan ombak terdengar samar, menyatu dengan desir angin laut yang menembus celah-celah balkon suite mereka. Bulan masih menggantung di langit, cahayanya menerobos masuk melalui tirai yang sedikit tersibak.Ia menoleh ke samping. Adhinata tertidur pulas, satu lengannya masih melingkari pinggangnya, seperti tidak ingin melepaskannya. Wajah suaminya terlihat damai, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Nadira menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan penyesalan, bukan pula rasa takut, tapi semacam guncangan emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin bahagia, ia tahu dirinya bahagia. Namun, ada sesuatu yang terasa berat, seakan ada yang menekan dadanya perlahan.Ia menyingkirkan tangan Adhinata dengan hati-hati, lalu turun dari ranjang tanpa suara.Nadira mengernyit ketika setiap gerakan yang ia lakukan menimbulkan rasa nyeri dan perih di are
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu