Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.
Alhamdulillah.
Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah.
"Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya.
"Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.
Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.
Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah mencari. Nadira bilang akan pulang menjelang Maghrib. Sekarang, ingin menelepon memberi info terkini ke Pak Supri, ponselnya malah low battery.
Ya, sudahlah. Terima nasib.
Suasana sekitar tak begitu ramai orang. Kepulangan sekolah sudah satu jam sebelumnya. Jika pun masih ada beberapa siswa tinggal, itu pasti yang memiliki kegiatan tambahan. Dan tentu saja Nadira bukan salah satu dari mereka. Pelajaran wajib saja malas dia ikuti, apalagi kegiatan ekstrakurikuler.
Kata 'Rajin' tidak ada dalam kamus kehidupan Nadira Amaya. Disiplin juga jauh dari karakternya.
"Kok gue merinding ya inget Pak Nata sama ancamannya." Gadis itu masih saja memikirkan ucapan Adhinata yang tadi mengancam akan menciumnya di tengah lapangan jika tidak menjalankan hukuman.
"Jangan-jangan ... dia ini predator anak," gumamnya.
TIN!!!
"Astaghfirullahalazim!" Nadira bertingkat terkejut hingga memegang dada ketika suara klakson mengagetkan.
Gadis itu sudah hafal mobil siapa yang kini berjalan pelan mengiring langkah hingga berhenti tepat di sampingnya.
"Waduh. Dia gak denger omongan gue, 'kan?! Gak mungkinlah, ya," monolog Nadira.
Kaca mobil terbuka, dan guru galak di dalam sana bertanya, "Sudah beres hukumannya?"
Siapa lagi? Tentu saja itu adalah Adhinata Rahagi.
Cengiran konyol milik Nadira muncul sebelum ia menjawab, "Eh, Pak Nata. Sudah saya beresin semuanya sendirian, Pak. Kalau gak percaya, Bapak boleh periksa."
Senyum sinis terbit di sudut bibir Adhinata. Dikiranya Nata tidak tahu apa kalau Nadira dibantu oleh petugas kebersihan sekolah yang bahkan ada tiga orang. Gadis tersebut hanya leha-leha selonjoran kaki di koridor dekat toilet, selama sisa hukuman. Tiga pekerja itu yang merampungkan.
Bagaimana Nata bisa tahu?
Tentu saja karena diam-diam dia mengawasi gadis itu. Saat melihat Nadira mulai kelelahan, dia juga yang meminta petugas kebersihan untuk membantu bahkan membawakan Nadira minuman dan makanan ringan. Jika tidak, bisa sampai sore belum kelar dan berakhir dengan Nadira yang pingsan. Mengingat SMA Cakrawala merupakan gedung tiga tingkat yang di setiap lantainya ada beberapa toilet untuk siswa maupun pengajar.
Adhinata tak setega itu untuk membiarkan Nadira mengerjakan semua sendirian. Salah-salah, dia bisa diadukan ke kepala sekolah karena keterlaluan dalam memberi hukuman untuk siswa.
"Kenapa tidak laporan ke saya?" Adhinata bertanya.
"Kirain saya, Bapak udah pulang. Soalnya tadi kantor guru udah sepi, Pak." Nadira beralasan. Padahal jelas-jelas setelah selesai dengan hukuman, dia langsung ngibrit lari keluar. Sama sekali tak ingat harus melapor pada Pak Nata.
"Masuk!" titah Nata tiba-tiba, setelah menghela napas mendengar alasan muridnya.
Nadira mengerutkan keningnya. "Masuk ke mana?"
"Ke mobil saya." Nata menjawab pendek saja. Mengedikkan dagu ke arah jok penumpang.
"Wah, kenapa ya, Pak? Saya kan sudah selesai masa hukuman." Gadis itu menolak sambil menggaruk pipinya.
"Saya antar kamu pulang," sahut Adhinata.
"Eh, gak usah repot-repot, Pak. Makasih, tapi saya bisa pulang sendiri." Gadis itu menggoyangkan tangan kanan, tanda penolakan.
Ya kali langsung mau aja. Gue bukan cewek gampangan. Lagian bahaya kalau dia ini beneran predator anak. Modus aja, 'kan?!
"Ini sudah sore. Jangan bilang, kamu masih mau kelayapan, karena tidak berhasil membolos tadi siang," tuduh Nata, menyipitkan mata.
"Dih, Bapak asal tuduh aja." Gadis itu tidak terima dituduh demikian. Walau sebenarnya memang masih ada niatan, tetapi badannya sudah lelah. Mungkin besok lagi saja.
Besok gue gak mau masuk sekolah. Muehehehe ....
Dalam hati, Nadira menyusun rencana.
"Ya sudah. Langsung pulang. Jangan kelayapan." Setelah kalimat itu terucap, Adhinata menutup kaca dan kembali menjalankan mobilnya. Melaju kencang tanpa aba-aba.
"Lah, basa basi doang? Kirain bakal maksa buat ngasih tumpangan," gumam Nadira. Sedikit menyesal sudah sok jual mahal. Padahal dia sudah kelelahan dan butuh segera rebahan.
Hari sudah sore, mendung pula. Gadis itu harus bergegas pulang jika tidak ingin kehujanan di jalan. Maka, agar cepat sampai di jalan raya, Nadira berlari dengan sisa tenaga yang ia punya. Memberhentikan taksi yang kebetulan melintas, dan on the way pulang ke rumah.
Harapannya, dia bisa langsung mandi, makan, dan istirahat. Namun, kakinya terhenti mendadak ketika hendak memasuki rumah. Sang ayah berdiri tegap menyambutnya di ambang ruang depan.
"Eh, ya ampun," respon Nadira, terkejut. Keberadaan sang ayah selalu membuat nyalinya sedikit menciut.
"Bukannya Ayah masih di luar kota, ya? Kok udah di rumah aja," sambungnya sambil menggaruk kepala. Penampilannya yang sudah berantakan, semakin amburadul saja.
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Sang ayah langsung menginterogasi. Ekspresinya tidak santai sama sekali.
"Anu, tadi—"
"Kamu membuat masalah lagi di sekolah?" Nada bicara pria itu terdengar tegas.
"Bukan begitu, Yah." Gadis itu mencoba menjelaskan.
"Ayah mendapat laporan, hari ini kamu berniat membolos lagi. Benar?" pancing pria dewasa bernama Wirawan tersebut.
"Siapa yang ngadu, sih. Pasti si predator anak tadi," cicit Nadira dengan suara kecil. Bibirnya mengerucut lancip.
"Kamu ini sudah kelas XI, Rara. Jangan main-main terus. Belajar yang serius." Wirawan memberi nasihat dengan nada ketus.
"Iya, Ayah. Maaf. Rara gak bakal bikin masalah lagi, kok." Gadis itu menunduk.
"Ya sudah sana cepat masuk. Mandi dan bersiap. Minta bantuan sama Mbok Ras untuk berias. Setelah itu Ayah mau bicara," titah Wirawan, menyebut nama pembantunya.
"Lah, ngapain segala pake dirias? Emangnya mau ke mana?" Nadira bertanya.
"Sudah, pokoknya cepat sana! Ayah punya kejutan." Wirawan menepuk pelan puncak kepala putrinya. Kali ini ekspresi Wirawan sedikit lebih lembut dari sebelumnya.
Gadis itu tak punya pilihan. Sang ayah memang tegas dan tidak bisa dibantah. Jadi, yang saat ini bisa Nadira lakukan adalah menjalankan perintah. Gadis itu berlari kecil menuju lantai atas, tempat di mana kamarnya berada.
Ayah mau kasih kejutan apa ya, kira-kira?
Pagi berikutnya datang dengan sapaan berbeda. Bukan hanya cahaya matahari yang membangunkan Nadira, tetapi deru pelan mesin kapal yang berubah nada. Ia membuka mata perlahan, menyadari bahwa Adhinata sudah tak ada di sampingnya. Hanya selimut yang masih menyimpan jejak kehangatan tubuh suaminya. Nadira mengerjap, mendapati selembar catatan kecil di atas bantal. Pagi, Istriku Sayang. Mas tunggu di atas dek. Jangan buru-buru menyusul. Nikmati pagi pelan-pelan. Hari ini, Mas punya kejutan. Nadira tersenyum. Suaminya memang lelaki penuh kejutan. "Apalagi sekarang?" gumam Nadira, bersama seulas senyuman menghias wajah. Setelah mandi dan mengenakan gaun santai berwarna pastel—yang disiapkan Adhinata di sisi ranjang, Nadira keluar dari kabin. Angin laut menyapa rambutnya yang digerai. Langkahnya ringan menuju dek utama. Di sana, Adhinata sudah menunggu, berdiri menghadap laut sambil membawa dua cangkir kopi. Saat melihat Nadira mendekat, pria itu tersenyum seperti baru pertama ka
Mentari pagi menyelinap lembut dari balik tirai kabin kapal pesiar yang mengapung tenang di tengah laut biru. Sinar emas menari-nari di atas seprai putih yang kusut, menyinari dua sosok yang masih terlelap dalam pelukan satu sama lain. Hembusan angin laut dari balkon terbuka membawa aroma asin yang khas, berpadu dengan kehangatan tubuh yang baru saja melewati malam pertama sebagai suami istri.Adhinata membuka mata lebih dulu. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Nadira yang damai, tertidur dengan napas teratur dan pipi merona. Ia tak sanggup menahan senyum."Rara ...," bisiknya pelan sambil menyibak anak rambut yang jatuh di dahi istrinya.Nadira menggeliat manja, lalu membuka mata separuh. "Pagi, Mas ...." Suaranya serak manja, seperti bisikan yang membuat debar jantung Adhinata meningkat. "Mas baru sadar, ternyata pagi di atas kapal pesiar bareng istri itu indah banget," bisiknya sambil mencium kening Nadira dan merapatkan pelukan."Mas ih ... pagi-pagi gombal." Nadira menyembun
Nadira terbangun di tengah malam dengan napas yang sedikit tersengal. Di luar, suara deburan ombak terdengar samar, menyatu dengan desir angin laut yang menembus celah-celah balkon suite mereka. Bulan masih menggantung di langit, cahayanya menerobos masuk melalui tirai yang sedikit tersibak.Ia menoleh ke samping. Adhinata tertidur pulas, satu lengannya masih melingkari pinggangnya, seperti tidak ingin melepaskannya. Wajah suaminya terlihat damai, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Nadira menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan penyesalan, bukan pula rasa takut, tapi semacam guncangan emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin bahagia, ia tahu dirinya bahagia. Namun, ada sesuatu yang terasa berat, seakan ada yang menekan dadanya perlahan.Ia menyingkirkan tangan Adhinata dengan hati-hati, lalu turun dari ranjang tanpa suara.Nadira mengernyit ketika setiap gerakan yang ia lakukan menimbulkan rasa nyeri dan perih di are
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu