Beranda / Romansa / JODOHKU GURU GALAK / 5. Kesanggupan dan Perjanjian

Share

5. Kesanggupan dan Perjanjian

Penulis: Elita Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 13:54:22

Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas.

"Turun," katanya tanpa basa-basi.

Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.

Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.

Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—"

"Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin membantah. Dengan hati-hati, ia menuruti perintah.

Adhinata membawa Nadira masuk ke dalam rumahnya. Interior rumah itu sederhana, hampir kosong dari ornamen yang tidak perlu. Sofa abu-abu, meja kayu, dan rak buku mendominasi ruang tamu. Nadira berdiri kikuk di dekat pintu, merasa tidak nyaman berada di rumah gurunya yang selama ini ia kenal sebagai sosok tegas dan tidak ramah.

"Duduk di sana," ujar Adhinata sambil menunjuk sofa. Nadira menurut.

Ya ampun, ini gimana ceritanya aku malah berakhir di sini? Gimana kalau dia beneran predator anak? Tahu gitu aku tidur di kolong jembatan aja. Nadira membatin gamang sembari berjalan menuju sofa.

Setelah memastikan gadis itu duduk, Adhinata melenggang tanpa sepatah pun kata. Suara langkah kakinya yang berat, membuat Nadira semakin merasa tidak enak. Beberapa menit kemudian, pria itu kembali dengan pakaian terlipat di tangan.

"Ini pakaian ganti. Pakai di kamar mandi situ," ujarnya sambil menunjuk pintu di dekat lorong dapur. "Kamu tidak mungkin terus-terusan memakai baju yang itu."

Nadira mengambil pakaian itu tanpa banyak protes, meskipun pikirannya terus bertanya-tanya kenapa Adhinata mau repot-repot membawanya ke rumah. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaus abu-abu yang kebesaran dan celana olahraga hitam. Rambutnya yang sebelumnya berantakan kini tampak basah dan tertutup handuk dengan asal. Dia memutuskan untuk mandi lagi biar segar. Dia tidak sakit, sepertinya hanya kelaparan.

Adhinata yang tengah berkutat di dapur pun menoleh dan diam-diam mengulum senyum. Merasa lucu melihat Nadira yang tenggelam dalam pakaian yang dia berikan.

"Pak, baju kotor saya ditaruh di mana?" Gadis itu tampak kebingungan, dengan dress lembab yang ia peluk dengan dua tangan.

"Taruh saja di bak." Adhinata menunjuk bak hitam di samping kamar mandi.

"Uhm, mau saya cuci sekalian aja kali ya, Pak," ujar gadis itu.

"Memangnya kamu bisa?" Adhinata meremehkan.

"Enggak yakin, sih. Tapi kayaknya bisa." Gadis itu berbicara tanpa melupakan kebiasaan menggaruk kepala, padahal tidak gatal.

"Di sini tidak ada mesin cuci seperti di rumah kamu. Saya juga tidak punya pembantu," ucap pria itu.

"Kalau gitu—"

"Tinggal saja. Duduk sana di sofa." Adhinata memotong ucapan Nadira.

Gadis itu tak berniat membantah. Ia pun melempar pakaian kotor ke dalam bak, menggantung handuk pada hanger, kemudian melangkah menuju sofa, seperti apa yang disuruh Adhinata.

"Bapak lagi apa?" tanyanya dari kejauhan. Tak ada dinding penyekat antara ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Hanya lemari kaca dengan beberapa piala yang menjadi pemisah. Nadira masih bisa melihat punggung tegap Adhinata yang tengah sibuk di dapur sana. Di balik meja bar.

"Nyangkul," celetuk Nata asal, dan membuat Nadira merengut kesal.

"Tidak pernah melihat orang masak? Begini saja nanya," cibir sang guru galak yang kini sedang mengaduk-aduk entah apa dalam wajan di atas kompor yang menyala. Aromanya menggugah selera.

"Ngeselin, ih," decih sang gadis dengan suara lirih.

"Kamu bicara apa?" Adhinata memutar badan, menatap Nadira.

"Enggak, kok, Pak. Saya cegukan aja tadi," jawab Nadira ngawur.

Di atas meja ada satu gelas teh hangat. Nadira menggigit bibir. Ingin minum, tetapi ragu apakah itu untuk dirinya.

Seperti bisa menangkap kerisauan muridnya, Nata pun berkata, "Itu teh buat kamu."

"Eh. Iya, Pak. Makasih." Nadira pun menyeruput isi gelas. Hangat terasa menjalar melalui kerongkongan hingga perutnya.

"Sekarang makan," perintah Adhinata, yang datang dan meletakkan dua piring nasi goreng di meja. Pria itu duduk di lantai dengan sikap santai, tetapi ekspresinya tetap tidak berubah. Datar, seperti yang sudah-sudah.

Nadira tidak enak hati duduk di atas sendiri. Dia pun turun, mendaratkan pantat di lantai yang dingin.

Bau harum nasi goreng itu menggoda, tetapi atmosfer di antara mereka terasa begitu tegang. Nadira memegang sendok, tetapi tidak segera menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Kenapa bengong?" tanya Adhinata tanpa menatapnya. Pria itu bahkan sudah mulai mengunyah.

"Pak, saya ...." Nadira menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Saya minta maaf soal tadi."

Adhinata akhirnya mendongak, matanya bertemu dengan mata Nadira. "Tadi?"

"Soal saya yang minta Bapak jadi pacar saya." Nadira menghela napas berat, lalu menunduk. "Saya tahu itu lancang, dan mungkin Bapak merasa terganggu. Tapi saya benar-benar bingung harus gimana."

Adhinata tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Nadira dalam diam, ekspresinya tetap sulit ditebak. Namun, di balik sikap dinginnya, ada kehangatan samar yang tidak pernah ia tunjukkan. Adhinata mulai memahami Nadira. Gadis itu terlihat rapuh, meskipun mencoba menyembunyikannya dengan sikap keras kepala.

"Lupakan saja," kata Nata akhirnya, mencoba mengakhiri topik yang menurutnya tidak perlu, dan melanjutkan makan.

Nadira mendongak lagi, tatapannya penuh kebingungan. "Tapi, Pak—"

"Sudah, makan saja. Kamu butuh tenaga. Katanya tadi lemas karena tidak makan seharian." Adhinata memotong dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Nadira terpaksa menuruti. Suapan pertama nasi goreng itu terasa nikmat di mulutnya, meskipun pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang Adhinata. Apa pria itu benar-benar tidak peduli, ataukah ia hanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia peduli?

Di sisi lain, perasaan Nadira tak tenang karena teringat sang ayah. Apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Ayah pasti sangat marah. Nadira ingin memantapkan tekad untuk memberontak, tetapi hati kecilnya merasa bersalah.

Setelah dipikir-pikir, sepertinya dia akan melanjutkan ide yang Adhinata berikan.

Setelah beberapa saat hening, Nadira akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lagi. "Pak, tapi saya serius soal itu."

Adhinata berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Nadira dengan pandangan yang tajam.

"Serius soal apa?" tanyanya dingin, meskipun ia tahu apa yang akan dikatakan gadis itu. Pria itu meneguk air putih dari dalam botol yang tadi ia bawa.

"Soal Bapak jadi pacar saya," ujar Nadira tanpa ragu. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas. "Bukan sungguhan, tentu saja. Cuma pura-pura, supaya ayah saya berhenti memaksa saya menikah."

Adhinata menghela napas panjang. "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta."

"Saya tahu, Pak. Saya juga sadar sepenuhnya," balas Nadira cepat. "Saya cuma butuh bantuan. Ini tidak akan lama. Setelah ayah saya yakin saya sudah punya pacar, semuanya akan selesai."

Adhinata menatap gadis itu lama, seolah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada di balik pikirannya. "Dan kamu pikir ini solusi yang baik?"

"Bapak sendiri yang bilang tadi di klinik," sahut Nadira, tak mau kalah. "Kalau saya bilang sudah punya pacar, ayah pasti berhenti menjodohkan saya. Saya hanya mengikuti saran Bapak. Atau jangan-jangan ... Bapak malah udah punya pacar?"

Pria itu terdiam. Tidak ingin menjawab kalimat terakhir dari gadis di depannya. Ia tahu, saran tentang pacar memang datang dari mulutnya, tetapi ia tidak pernah menyangka gadis ini akan menanggapinya dengan begitu semangat. Malah dirinya yang dijadikan target pacar pura-pura.

"Jadi, bagaimana, Pak?" Nadira menatapnya penuh harap. "Bapak mau atau tidak?"

Adhinata menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Ia menunduk, menatap meja di depannya sambil berpikir keras. Rasanya ini adalah keputusan paling sulit yang pernah ia buat.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Baiklah," ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Saya akan membantu kamu."

Mata Nadira membesar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Serius, Pak?"

"Ya," jawab Adhinata dingin, tetapi ada nada pasrah dalam suaranya.

Nadira nyaris bersorak. Bahkan kedua telapaknya beradu, hampir saja bertepuk tangan. Namun, ekspresi datar Adhinata membuat gadis itu kembali membeku dan tersenyum canggung.

"Makasih, ya, Pak," ucapnya kemudian.

"Hm." Adhinata hanya bergumam sebagai tanggapan.

"Eh, tapi sebentar, Pak." Nadira buru-buru menambahkan.

"Apa lagi?" Kening Adhinata mengernyit.

"Kita harus bikin perjanjian." Sang gadis berucap kilat.

"Perjanjian?!"

Nadira mengangguk cepat dan berulang, terlalu semangat.

"Sebentar, saya mikir dulu."

Adhinata melengos melihat kekonyolan Nadira. Dia yang diminta, dia yang menyanggupinya, kenapa gadis itu yang mengajukan perjanjian?

"Ah, sudah dapat," seru Nadira.

Adhinata tak banyak bereaksi, tetapi Nadira tahu pria itu menanti.

"Ada tiga hal yang perlu kita pegang, Pak Nata."

"Hm. Katakan."

"Pertama, kita harus bersikap biasa kalau di sekolah. Seperti murid dan guru pada umumnya. Kita hanya bersikap kayak pacaran kalau ada kemungkinan ketemu ayah." Poin pertama.

Adhinata mengangguk. Bukan hal yang sulit.

"Kedua, masing-masing dari kita tetap bebas melakukan apa pun, gak boleh larang ini dan itu." Tangan Nadira bergerak seiring omongannya.

"Lihat situasi kalau itu."

"Enggak. Harus setuju pokoknya," paksa gadis tersebut.

"Terserah." Adhinata pasrah.

"Ketiga ...." Nadira memberi jeda, menatap Adhinata begitu dalam, lalu melanjutkan, "Kita gak boleh baper. Jangan sampai saling jatuh cinta."

Adhinata terdiam. Debar jantungnya meningkat tanpa berkabar. Dingin serasa menyergap badan, seiring pemahamannya mencerna permintaan Nadira.

Tidak boleh jatuh cinta, ya?

Akhirnya Adhinata mengangguk tipis, lalu berdiri. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus belajar bermain peran. Sekali kamu salah langkah, semuanya bisa berantakan."

Ia melangkah pergi, meninggalkan Nadira yang masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya, apakah ini benar-benar keputusan yang tepat, ataukah ia baru saja membuat kesalahan besar?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JODOHKU GURU GALAK   123. Kejutan di Tengah Laut

    Pagi berikutnya datang dengan sapaan berbeda. Bukan hanya cahaya matahari yang membangunkan Nadira, tetapi deru pelan mesin kapal yang berubah nada. Ia membuka mata perlahan, menyadari bahwa Adhinata sudah tak ada di sampingnya. Hanya selimut yang masih menyimpan jejak kehangatan tubuh suaminya. Nadira mengerjap, mendapati selembar catatan kecil di atas bantal. Pagi, Istriku Sayang. Mas tunggu di atas dek. Jangan buru-buru menyusul. Nikmati pagi pelan-pelan. Hari ini, Mas punya kejutan. Nadira tersenyum. Suaminya memang lelaki penuh kejutan. "Apalagi sekarang?" gumam Nadira, bersama seulas senyuman menghias wajah. Setelah mandi dan mengenakan gaun santai berwarna pastel—yang disiapkan Adhinata di sisi ranjang, Nadira keluar dari kabin. Angin laut menyapa rambutnya yang digerai. Langkahnya ringan menuju dek utama. Di sana, Adhinata sudah menunggu, berdiri menghadap laut sambil membawa dua cangkir kopi. Saat melihat Nadira mendekat, pria itu tersenyum seperti baru pertama ka

  • JODOHKU GURU GALAK   122. Bulan Madu yang Sempurna

    Mentari pagi menyelinap lembut dari balik tirai kabin kapal pesiar yang mengapung tenang di tengah laut biru. Sinar emas menari-nari di atas seprai putih yang kusut, menyinari dua sosok yang masih terlelap dalam pelukan satu sama lain. Hembusan angin laut dari balkon terbuka membawa aroma asin yang khas, berpadu dengan kehangatan tubuh yang baru saja melewati malam pertama sebagai suami istri.Adhinata membuka mata lebih dulu. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Nadira yang damai, tertidur dengan napas teratur dan pipi merona. Ia tak sanggup menahan senyum."Rara ...," bisiknya pelan sambil menyibak anak rambut yang jatuh di dahi istrinya.Nadira menggeliat manja, lalu membuka mata separuh. "Pagi, Mas ...." Suaranya serak manja, seperti bisikan yang membuat debar jantung Adhinata meningkat. "Mas baru sadar, ternyata pagi di atas kapal pesiar bareng istri itu indah banget," bisiknya sambil mencium kening Nadira dan merapatkan pelukan."Mas ih ... pagi-pagi gombal." Nadira menyembun

  • JODOHKU GURU GALAK   121. Menikmati Malam Panjang

    Nadira terbangun di tengah malam dengan napas yang sedikit tersengal. Di luar, suara deburan ombak terdengar samar, menyatu dengan desir angin laut yang menembus celah-celah balkon suite mereka. Bulan masih menggantung di langit, cahayanya menerobos masuk melalui tirai yang sedikit tersibak.Ia menoleh ke samping. Adhinata tertidur pulas, satu lengannya masih melingkari pinggangnya, seperti tidak ingin melepaskannya. Wajah suaminya terlihat damai, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Nadira menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan penyesalan, bukan pula rasa takut, tapi semacam guncangan emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin bahagia, ia tahu dirinya bahagia. Namun, ada sesuatu yang terasa berat, seakan ada yang menekan dadanya perlahan.Ia menyingkirkan tangan Adhinata dengan hati-hati, lalu turun dari ranjang tanpa suara.Nadira mengernyit ketika setiap gerakan yang ia lakukan menimbulkan rasa nyeri dan perih di are

  • JODOHKU GURU GALAK   120. Romansa di Kapal Pesiar

    Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma

  • JODOHKU GURU GALAK   119. Pulau Pribadi

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti

  • JODOHKU GURU GALAK   118. Bulan Madu

    Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status