Share

6. Bermalam

Penulis: Elita Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 18:33:34

Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama.

"Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.

Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"

Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."

Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."

Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini."

"Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubungi ayah kamu."

"Apa?" Nadira hampir menjatuhkan sendoknya. Suaranya meninggi. "Bapak ngapain ngehubungin ayah?!"

Adhinata menatap Nadira, tidak terganggu oleh nada kerasnya. "Tentu saja untuk memberitahu kalau kamu aman dan tidak kabur ke tempat yang aneh-aneh."

Nadira mengerutkan kening, bingung sekaligus kesal. "Dari mana Bapak bisa dapat nomor ayah saya?"

Adhinata bersandar di sofa dengan santai. "Saya wali kelas kamu, kalau kamu lupa. Semua data murid, termasuk nomor kontak orang tua, ada di tangan saya."

"Kenapa nggak bilang dulu ke saya? Saya kan bisa melarang Bapak." Nadira semakin menunjukkan muka kesal.

"Kalau saya bilang, kamu pasti keberatan. Dan lagi, Ayah kamu punya hak tahu keberadaan anaknya. Kalau tidak ada kabar, ayah kamu bisa saja melapor ke polisi."

Nadira mendengkus. Ia tahu Adhinata benar, tetapi tetap saja merasa tidak senang. "Terus, Bapak bilang apa ke ayah?"

Adhinata berdiri, menyilangkan tangan di depan dada. "Saya bilang, saya nemu kamu di jalan. Sudah, itu saja. Tidak ada kebohongan, 'kan?!"

"Nemu. Emangnya saya apaan? Dan lagi, memangnya ayah percaya?" tanya Nadira curiga. Ayahnya bukan orang yang mudah mempercayai orang sembarangan.

Adhinata mengangguk. "Tentu saja. Saya bilang kalau saya guru kamu, dia langsung tenang. Sepertinya dia menganggap saya orang yang bisa dipercaya."

Nadira melipat tangan di depan dada, masih kesal. "Jadi sekarang ayah tahu saya ada di sini?"

"Ya," jawab Adhinata tegas. "Dan itu seharusnya membuat kamu merasa lebih lega, bukan malah mengomel."

Nadira terdiam, menggigit bibirnya. Ia memang lega karena Ayah tidak akan mencari, tetapi situasi ini membuatnya semakin merasa tidak nyaman.

"Sudahlah, sekarang tidur," ujar Adhinata lagi. "Kamu sudah cukup menyulitkan saya untuk satu hari ini."

"Apa Bapak menyesal menolong saya?" tanya Nadira pelan.

Adhinata menghela napas panjang, lalu menatap gadis itu dengan sorot mata serius. "Kalau saya menyesal, saya tidak akan membawa kamu ke sini. Jangan pikirkan hal yang tidak perlu."

Nadira hanya mengangguk kecil, lalu berdiri dan melangkah menuju kamar yang ditunjukkan Adhinata. Pintu kamar itu sederhana, dengan cat putih polos. Begitu ia membukanya, ia mendapati ruangan yang rapi dan bersih. Tempat tidur single dengan seprai biru muda, meja belajar di sudut, dan lemari kayu kecil.

Dia menutup pintu perlahan, lalu membaringkan badan, membiarkan tubuhnya terhempas di atas kasur yang terasa empuk dan nyaman. Meskipun lelah, pikirannya terlalu penuh untuk terlelap. Ia memikirkan keputusan gilanya. Meminta Adhinata menjadi pacar pura-pura jelas bukan langkah biasa.

Sementara itu, di ruang tamu, Adhinata memutuskan untuk membereskan meja dari peralatan bekas makan. Nasi goreng miliknya bahkan masih banyak tersisa. Pria itu sudah tidak nafsu untuk menghabiskan.

Ia mencuci piring dengan gerakan cepat tetapi teratur. Setelah selesai, ia duduk kembali di sofa, mencoba membaca buku yang ada di rak. Namun, pikirannya terus berputar pada satu hal. Keputusan untuk menyetujui permintaan Nadira.

"Apa yang sebenarnya aku lakukan?" gumamnya pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.

Sedangkan di kamar, Nadira memandang langit-langit ruangan yang kosong, mencoba mencerna semuanya. Adhinata adalah pria yang dingin, tegas, tetapi anehnya, ia merasa ada sisi lain darinya yang tulus. Bagaimana mungkin pria yang selama ini terkenal kaku bersedia membantunya dengan cara seperti ini?

Ia merasa bersalah. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Adhinata mungkin harus ikut menanggung risiko besar. Nama baiknya sebagai guru, bahkan pekerjaannya, bisa saja terancam.

Ketukan pelan di pintu mengagetkan Nadira.

"Ya?" jawabnya.

Pintu terbuka sedikit, dan kepala Adhinata menyembul di baliknya. "Lampu akan saya matikan sebagian. Kalau ada apa-apa, panggil saja. Tidur yang nyenyak."

"Oh, iya, Pak. Makasih. Tapi lampu kamar biar tetap nyala, ya. Saya takut gelap soalnya," balas Nadira pelan. Walau bagaimanapun, ia harus tetap sopan. Adhinata juga tidak lagi terlihat seperti predator anak. Jadi, sepertinya aman.

Adhinata mengangguk, lalu menutup pintu. Pria itu kembali ke ruang tamu lalu mematikan lampu utama, membiarkan hanya lampu kecil di sudut dapur yang menyala. Ia berbaring di sofa, mencoba menyesuaikan posisi. Sofanya terlalu pendek untuk tubuhnya yang tinggi, tetapi ia tidak peduli.

Matanya terpejam, tetapi suara pintu kamar yang terbuka pelan membuatnya kembali membuka mata.

"Kenapa?" tanyanya pada Nadira yang berjalan mendekat. Pria itu pun kembali mendudukkan badan.

Terlihat ragu, Nadira meletakkan bantal dan selimut yang ia bawa, di samping Adhinata. “Bantal sama selimut Bapak."

Adhinata mengangguk. "Hm."

"Saya boleh bicara sebentar?" tanya Nadira kemudian.

Nata tidak menjawab, tetapi Nadira tahu pria itu mempersilakan. Raut wajah datar tersebut seperti menunggu ia bicara.

"Saya tahu Bapak sebenarnya tidak mau terlibat dalam urusan saya. Tapi, saya janji, saya nggak akan menyusahkan Bapak lebih dari ini."

Adhinata menatap gadis itu lama, lalu mengangguk. "Pastikan kamu menepati janji itu."

Pria itu menata bantal dan mulai membaringkan badan.

"Akan saya coba." Nadira tersenyum tipis. "Ya sudah, saya balik ke kamar lagi, ya, Pak. Selamat malam."

Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, Adhinata berbicara lagi.

"Nadira."

Gadis itu menoleh.

"Besok saya antar kamu pulang," ucap Adhinata.

Nadira mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"

"Pagi-pagi sebelum ke sekolah, saya antar kamu pulang," ujar Adhinata dengan nada yang serius. "Sekalian mau ketemu sama ayah kamu."

"Ngapain?" Kening Nadira mengernyit.

"Kenalan sama calon mertua," jawab Adhinata ringan, seolah tanpa beban.

"Bapak jangan aneh-aneh, deh. Kalau ayah enggak nanya, ya gak usah bilang apa-apa," sahut Nadira.

"Ya sudah kalau tetap mau dijodohkan. Itu, sih, bukan urusan saya." Adhinata melebarkan selimutnya, menutup permukaan badan hingga sebatas dada.

"Duh, iya juga, ya." Nadira menggaruk kepala.

Adhinata mengangguk. "Bagus kalau paham. Sekarang, tidur sana."

"Baiklah, tapi besok gimana cara ngomongnya ke ayah?" Nadira gelisah.

"Serahkan sama saya." Adhinata percaya diri.

"Ok, deh, Pak. Makasih."

Nadira menuruti untuk segera tidur, tetapi ketika ia kembali ke kamar dan berbaring, pikirannya tetap tidak tenang. Ia mulai memikirkan sesuatu yang belum ia tanyakan.

Bukan mengenai dirinya. Akan tetapi, tentang Adhinata.

Apakah pria itu tinggal sendirian? Tempat ini pun jauh dari keramaian. Satu lagi keanehan, Adhinata memiliki kendaraan yang bagus, modern, elegan, dan terlihat mahal. Kenapa rumah tinggalnya begitu sederhana? Style pria itu juga tidak seperti guru pada umumnya. Terlalu kece, kalau kata Nadira.

Ah, ini pasti karena aku kebanyakan nonton drama sama baca novel.  Dahlah, tidur aja.

Ketika Nadira akhirnya merasakan kantuk menyerang, ia mendengar ponsel Adhinata berdering di ruang tamu sana. Suara pria itu terdengar pelan tetapi cukup jelas. Mengingat rumah tersebut tak cukup luas.

"Hm. Kenapa?"

Jeda. Mungkin pria itu sedang mendengarkan sahutan dari seberang.

"Berapa kali gue bilang? Jangan paksa gue pulang. Lo paham?"

Nadira menggigit bibir. Siapa yang menelepon Adhinata? Apa yang sebenarnya pria itu bicarakan?

Suara Adhinata terngiang.

'Jangan paksa gue pulang?'

Jangan bilang, dia sendiri juga sedang dalam pelarian. Astaga, ini gak bener. Gadis itu membatin gusar.

Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apakah Adhinata menyembunyikan sesuatu darinya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JODOHKU GURU GALAK   123. Kejutan di Tengah Laut

    Pagi berikutnya datang dengan sapaan berbeda. Bukan hanya cahaya matahari yang membangunkan Nadira, tetapi deru pelan mesin kapal yang berubah nada. Ia membuka mata perlahan, menyadari bahwa Adhinata sudah tak ada di sampingnya. Hanya selimut yang masih menyimpan jejak kehangatan tubuh suaminya. Nadira mengerjap, mendapati selembar catatan kecil di atas bantal. Pagi, Istriku Sayang. Mas tunggu di atas dek. Jangan buru-buru menyusul. Nikmati pagi pelan-pelan. Hari ini, Mas punya kejutan. Nadira tersenyum. Suaminya memang lelaki penuh kejutan. "Apalagi sekarang?" gumam Nadira, bersama seulas senyuman menghias wajah. Setelah mandi dan mengenakan gaun santai berwarna pastel—yang disiapkan Adhinata di sisi ranjang, Nadira keluar dari kabin. Angin laut menyapa rambutnya yang digerai. Langkahnya ringan menuju dek utama. Di sana, Adhinata sudah menunggu, berdiri menghadap laut sambil membawa dua cangkir kopi. Saat melihat Nadira mendekat, pria itu tersenyum seperti baru pertama ka

  • JODOHKU GURU GALAK   122. Bulan Madu yang Sempurna

    Mentari pagi menyelinap lembut dari balik tirai kabin kapal pesiar yang mengapung tenang di tengah laut biru. Sinar emas menari-nari di atas seprai putih yang kusut, menyinari dua sosok yang masih terlelap dalam pelukan satu sama lain. Hembusan angin laut dari balkon terbuka membawa aroma asin yang khas, berpadu dengan kehangatan tubuh yang baru saja melewati malam pertama sebagai suami istri.Adhinata membuka mata lebih dulu. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Nadira yang damai, tertidur dengan napas teratur dan pipi merona. Ia tak sanggup menahan senyum."Rara ...," bisiknya pelan sambil menyibak anak rambut yang jatuh di dahi istrinya.Nadira menggeliat manja, lalu membuka mata separuh. "Pagi, Mas ...." Suaranya serak manja, seperti bisikan yang membuat debar jantung Adhinata meningkat. "Mas baru sadar, ternyata pagi di atas kapal pesiar bareng istri itu indah banget," bisiknya sambil mencium kening Nadira dan merapatkan pelukan."Mas ih ... pagi-pagi gombal." Nadira menyembun

  • JODOHKU GURU GALAK   121. Menikmati Malam Panjang

    Nadira terbangun di tengah malam dengan napas yang sedikit tersengal. Di luar, suara deburan ombak terdengar samar, menyatu dengan desir angin laut yang menembus celah-celah balkon suite mereka. Bulan masih menggantung di langit, cahayanya menerobos masuk melalui tirai yang sedikit tersibak.Ia menoleh ke samping. Adhinata tertidur pulas, satu lengannya masih melingkari pinggangnya, seperti tidak ingin melepaskannya. Wajah suaminya terlihat damai, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Nadira menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan penyesalan, bukan pula rasa takut, tapi semacam guncangan emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin bahagia, ia tahu dirinya bahagia. Namun, ada sesuatu yang terasa berat, seakan ada yang menekan dadanya perlahan.Ia menyingkirkan tangan Adhinata dengan hati-hati, lalu turun dari ranjang tanpa suara.Nadira mengernyit ketika setiap gerakan yang ia lakukan menimbulkan rasa nyeri dan perih di are

  • JODOHKU GURU GALAK   120. Romansa di Kapal Pesiar

    Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma

  • JODOHKU GURU GALAK   119. Pulau Pribadi

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti

  • JODOHKU GURU GALAK   118. Bulan Madu

    Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status