Aku menatap tiga makhluk ajaib didepan aku.
Begitu bangun tidur aku langsung disuguhin pemandangan yang bikin enek. Si Erik dan dua ortu nya yang gak kalah norak and kampungannya sarapan bersama Papa di meja makan kami yang mewah.
Emaknya memakai kebaya dan kain jarit uzur yang pembokat aku aja gak sudi jadiin lap pel. Dan warnamya itu lho... ungu norak! Trus rambutnya disanggul ala mbok jamu gitu. Dan dia terus aja ngisap apa itu...susur?? Ih jijay!!
Bapaknya gak kalah noraknya. Pakai kopiah, sarung, sama kaus bulak yang warnanya gak ketauan identitasnya. Sarung warna ungu pula! Gile keluarga mereka kok penggemar ungu mania bingitz sih! Aku paling benci ungu, pasti itu pertanda ketidak cocokkan aku t antara aku dan keluarga hina dina itu!
"Ngapain Kamu pagi—pagi udah numpang sarapan di rumah orang?" sindir aku kejam.
Aku sengaja menguap gak sopan lalu duduk di meja makan sambil menyambar segelas susu di meja makan.
Glek .. glek.. glek.. sengaja aku minum dengan gaya gak sopan blasss. Trus, huekkk..aku bersendawa keras!
Papa melotot ngelihat kelaku an aku yang gak santun banget.
"Elena!" bentak Papa tak sabar.
"Mbak Ena lucu ya buk. Gayanya itu lho gemesin!" puji Erik kayak ngebanggain diri aku gitu. Ciss!
"Neng, bangun tidur masih belum genap ya. Kami ini tidak numpang sarapan Salah itu! Yang bener, kami ini numpang makan siang," ucap ibunya si Erik sambil terkekeh hingga memamerkan giginya yang kehitaman terkena susur. Ih jijay!
Dasar gak tau diri juga si ibuknya Erik ini! Setali tiga uang ama anaknya. Aku rasa bapaknya juga kayak gitu! Duh, kok Papa mau nampung orang kayak gini sih? Gak abis PIkir aku!
"Mbak Ena itu siapa ya, Mbak? Pembantu sebelah yang naksir Kamu Rik? Kalau cantik gini bapak ya mau Nak." Bapaknya Erik mandeng aku sambil tersenyum—senyum centil.
Pletak! Secepat kilat Ibu Erik menjitak kepala suaminya.
"Yaallah Pak! Kok pikunya kumat. Ini Mbak Ena Pak, tunangan
Erik."
"O gitu toh," Bapak Erik mengelus kepalanya yang abis dijitak sadis ama istrinya.
Ih, pasangan aneh. Mereka betul-betul keluarga antik bin aneh bin jijay!
”Elena ayo beri salam pada calon mertuamu,” perintah Papa tegas.
Sibuk Erik langsung mengulurkan tangannya. Aku menatap horror pada tangan itu. Ada bekas susur, bekas sambel trasi. Bekas oseng-oseng jengkol. Pikir aku sambil melirik piring makannya.
Sadar arti tatapan aku, Ibu Erik menarik tangannya dan mengelapnya di kain jaritnya. Kemudian ia kembali mengangsurkan tangannya.
”Elena!” bentak Papa memperingati.
Apa- apaan sih? Bikin kesal aja! Dengan terpaksa aku sambut
uluran tangan berbagai aroma itu.
”Gak Boleh Gitu Nak. Gini caranya,” Ibu langsung mengarahkan tangannya ke dahi aku, punggung tangannya disentuhkan ke dahi aku. Sialan! Aku bisa mencium dahi aku ternoda bebauan yang menjijikkan itu.
”Elena selama calon mertuamu ada disini, Kamu yang bertugas membawa mereka jalan—jalan. Layani mereka dengan
sebaIka)aiknya.”
Kalau Papa sudah bersabda gini, aku udah gak bisa berkelit.
Astaga, malangnya nasib aku!
Hari ini aku terpaksa membawa Ibu, Bapak dan Erik jalan Malan ke mal. Dasar Erik! Mereka bilang gak pernah ke mal, jadi pengin ngerasain jalan—jalan di mal. Bisa bayangin kan hebohnya tingkah laku keluarga kampungan ini? Cih! Malu aku bersama mereka.
Masuk mal aja tingkahnya udah mengundang perhatian orang-orang. Secara dandanan mereka itu lho, norak abis! Ibu tetap dengan kebaya dan jarit ungunya, juga dengan sanggul ala mbok jamu. Sedang Bapak pakai kopiah, sarung, dan kaus bulaknya. Kalau Erik seperti biasa dengan kemeja yang terkancing sampai nyekek leher, celana ungu tujuh perlapan, terus rambut lepek belah tengah. Yang lebih norak lagi mereka memakai kacamata item super akudee dan terlihat murahan pula!
Tampilan mereka ancur abis, kayak turis desa terpencil yang nyasar ke mal. Alhasil orangæorang pada ngelihat dengan tatapan mencemooh. Dan apesnya aku yang jadi tour leader dadakan mereka ngerasa terhina sedalamædalamnya. Sialnya lagi aku ketemu ama satu mantan terindah, salah satu Lover of the month aku yang namanya aja aku kagak ingat.
"Hai Elena. Makin cantik aja lo," rayu mantan terindah aku sambil ngelirik tiga makhluk hina dina di belakang aku.
"Siapa? Pembokat?" tanyanya sambil nunjuk keluarga kampungan itu.
Aku mengangguk cepat, mengiyakan begitu aja tanpa keraguan. "Mulia amat Kamu mau ngajak pembokat jalanæjalan kayak gini," sindirnya manis.
Aku jengah, pengin segera ngakhirin pembicaraan gak mutu ini.
Mendadak Bapak menowelænowel bahu mantan terindah aku.
"Mas, mas, kami ini bukan pembuket ya. Salah besar itu!"
Mampus aku! Pasti Bapak kasih tau kalau aku ini tunangan si Erik.
Aduh bisa ancur harga diri aku!
"Mbak Ena ini pembantu sebelah ndek kampung Mas," sambung Bapak dengan polosnya.
Duh, kumat lagi pikunnya! Aku gak tau mesti lega atau terhina, tapi si Erik langsung jelasin dengan gaya ngeselinnya.
"Bapak! Gimana toh Kamu? Pikun gini. Mbak Ena itu tunanganku Pak! Bukan pembantu sebelah. Erik gak terima mbak Ena dilecehkan gini! Ayo Pak, ingat dan waspada!"
Pletak! Ibu menjitak Bapak dengan sadis.
Bapak mengaduh--aduh dengan gaya lebaynya! Jadilah mantan terindah aku bengong ngelihat keluarga antik nan kampungan ini dan aku.. langsung ngacir sambil nutup wajah!
Sejenak aku bisa bernafas lega karena berhasil ngacir ninggalin keluarga Erik itu, namun hanya sejenak! Gak tau gimana kok mereka bisa nemuin aku semudah itu? Mereka berdiri di dekat foodcourt dan melambaIkan tangan ke aku.
"Yaallah Mbak Ena menghilang dimana sih?! Erik kangen Kamu Mbak." kata Erik sambil ngedipin matanya. Ih norak lo! Erik kangen Kamu Mbak.
"Aku belet pipis tadi. Lebay lo, baru juga pisah seperempat jam!" cibir aku sebal."Itu kekuatan cinta Mbak. Masa Kamu tidak mengerti?
Gombal! Rayuan kampungan super norak.
Bapak lalu nowel- nowel bahu aku.
"Napa?" tanya aku galak.
"Laper..." jawab Bapak dan Ibu bareng dengan tatapan puppy
eyes-nya.
Malas banget aku makan bareng mereka! Tapi kalau mereka ditelantarin gak dIkasih makan gitu ntar Papa marah besar lagi.
"Makan di rumah aja, penuh tuh. Gak ada tempat duduk," aku berusaha mengelak.
"Jangan kawatir Mbak. Kita masih ada tempat kok," jawab Erik mantap.
Iyakah? Sial, berarti aku gak bisa berkelit lagi.
"Iya deh aku pesenin. Kalian makan terserah kan? Cobain deh makanan kekinian."
Mendadak terPIkirkan ide busuk di kepala aku, aku bakal kerjain keluarga Erik ini. Biar tau rasa gitu! Aku sengaja pesanin makanan yang ekstrim- ekstrim gitu. Nasgor Pedas yang level pedasnya setinggi langit! Sup sayur asem yang asemnya ngujubilahai (request tambah cukai sebotol juga asinan bogor yang asinnya menggetarkan laut samudra! Penjualnya sampai pada sangsi berat.
"Gak salah Non? Ini niat ngeracuni orang ya!" tanya mereka curiga.
"Udah gak usah banyak bacot! Kamu niat jual kagak??!!"
"Kita gak kayak- kayakan kalau ada apa- apa ya!"
Cih! Ada apa—apa gimana? Paling banter juga mereka bakal sakit perut aku t! Hihihihi.. Lalu dimana mereka? Aku ngelihat ke segala penjuru tapi gak ada meja yang kelihatan mereka kuasai.
"Mbak Ena! Mbak Ena! Mbak Ena, kesini!" panggil Erik penuh semangat.
Ohmaigot! Shock aku. Bukannya duduk di meja yang disediain foodcourt, mereka justru duduk lesehan di lantai foodcourt! Begitu nyantai dan alaMila, gak peduli tatapan bingung orang—orang di sekelilingnya.
Itu Ibu...gimana cara bisa bikin kopi, terus ada gorengan entah apa gitu. Mereka cuek bebek aja duduk lesehan gitu sambil menikmati makanan ndeso yang dibawa Ibu. Ck, bikin malu aja! Aku pengin ngacir Iagi, namun si Erik dengan sigap menarik tangan aku hingga aku jatuh terduduk di sampingnya.
Huaaaa... aku pengin menenggelamkan diri aja ke Laut Cina! Why?? Why?? sejak ketemu si Erik aku ngerasa level gengsi dan martabat aku melorot sampai ke tingkat terbawah yang bahkan aku gak bisa bayangin!
Aku frustasi tingkat dewa!
"Maaf Den ganteng, Bibik gak bisa menjaga malaikat kecil ini lebih lama lagi. Padahal.. yaoloh, dia manis banget. Gara-gara dia, kantin bibik laris manis. Cewek-cewek berebut mau mencium dan menggendongnya. Dia juga gak rewel. Tapi bibik mesti balik nih.” "Napa, Bik?" gak sadar gue nyemprot si bibik seakan gue ini majikannya aja."Aahhhh, Den ganteng kayak gak tahu aja. Si Akang kan datang, Bibik mau indehoi dulu lah.."Anjrittttt!!!! Gue baru ingat. Si Bibik paling suka bolos berjualan kalau suaminya yang TKI itu balik kampung. Kali ini juga sama. Dengan terpaksa gue menerima si baby. Apa perasaan gue aja, kok si baby makin kusam aja bajunya? Udah terkena noda apa aja tuh? Terus mukanya belepotan apa aja?! Gue mengendusngendus si baby. Bau apa aja nih?? Semua bercampur aduk menjadi satu! Ada bau parfum murahan, bau sambal terasi, bau minyak nyongnyong... juga, bau ketek siapa ini?Gue mengendus-ngendus lagi tubuh si baby. Kayaknya gue rada familiar bau ke
"Lola, gue...."Tut... tut.. tut..Telpon gue diputus bahkan sebelum gue sempatmenyelesaikan satu kalimat. Dia marah. Sepertinya kali ini Lola marah besar. Gue bergidik dibuatnya. Lola jarang marah, tapi sekalinya marah.. dia mengerikan!Pikiran gue jadi suntuk. Ini masalah pelik buat gue, masalahnya gue paling gak tahan kalau Lola marah pada gue. Gue mesti menemuinya. Tapi bagaimana nih?! Pada saat genting begini, Miah Van Houten malah ijin pulang kampung. Ngerti sihgue, dia kan mau dilamar Pak Raden Singomengolo Wediemboke. Jadian juga dua makhluk absurd itu. Gak nyangka gue.Ah, jadi bagaimana sekarang? Gak ada yang menjaga Princess! Gak mungkin dia gue bawa riwa-riwi sana sini sambil ngerayu Lola supaya mau baikan ama gue. Konsentrasi gue bisa ambyarrrrr..Nah saat gue sedang kebingungan begitu, gue melihat Dugol keluar dari kamarnya dengan memakai seragam SMAnya. Gue jadi terpikir satu ide."Tan, kok ngelihatnya gitu sih?" tanya
Gue jadi melongo. Kok begini sih? Ah, dia bercanda kali! Gue tertawa terbahak-bahak."Astaga, Dean... candaan lo jayus banget! Masa lo kagak tau yang gue pengin?"Gue mengerjapkan mata, berharap Dean segera menerkam gue gegara gemas seperti biasanya. Namun dia hanya menatap, gak paham."Kamu kenapa? Sakit mata?" tanyanya polos.Olala, sepertinya otak Dean berkurang kapasitasnya. Apa itu gegara kebanyakan 'bongkar pasang' dalam jiwanya? Dean, masa harus gue yang agresif sih? Biasanya kan elo. Masa bodoh, ah! Gue pun mulai nyerbu dia. Dean terkejut saat gue menarik kausnya hingga ia jatuh kearah gue."Elena lo! "Belum sempat dia memberontak, gue udah menindih tubuhnya."Apa-apaan nih? Gue buk..."Gue membungkam mulutnya dengan ciuman panasgue. Perlawanan Dean melemah seketika. Dia diam saja saat gue memagut bibirnya gemas. Melumat bibir penuhnya dengan agresif. Tak lama kemudian dia membalas ciuman gue. Kami berciuman de
Gue tahu tampilan gue emang amburadul. Enggak banget pokoknya saat dipandang mata. Rok gue compang-camping, bahkan blus gue mendadak berubah model crop gegara gue robek sendiri. Juga, rambut gue terurai awut-awutan.Parahnya gue gak punya alas kaki alias nyeker.Tian ternganga lebar menatap gue."Are you Elena?" tanyanya menggoda."No. Gue Tini Wini Biti," jawab gue asal.Tian berdecak sambil bersiul jenaka."Pantas mereka menganggap lo preman cewek ..""Ck, gue memanggil lo bukan untuk mengkritisi tampilan gue,Tian!" gue merajuk manja.Bastian tertawa sambil mengacak poni gue gemas."Gue nyaris gak percaya lo menelpon gue untuk menjamin lo keluar dari penjara. Juga Dean... ehm, Druno."Tian mendecak kesal."Sweetie, sepertinya bocah itu memberikan pengaruh kurang baik buat lo."Gue mengangguk mengiyakan."Tian, pengaruhnya sangat dashyat! Baru sebentar dia muncul, tapi kenapa
Tibalah kami di bangunan rumah tua yang kosong dan nampak terbengkelai. Bukan kosong. Gue memandang beberapa bajingan yang berjalan mendatangi kami. Mereka ini lebih menyeramkan daripada kawanan si Dugol. Mereka bertato, gondrong, memakai tindik dimana-mana, dan nampak seperti orang sakaw.Jujur, gue takut. Tapi gengsi mengakuinya. Namun karena merasa cemas tanpa sadar gue memilin ujung rok gue. Dugol melirik tangan gue, spontan gue menghentikan gerakan unfaedah itu.Si Dugol tersenyum sinis."Boss, ternyata mereka sudah siap menyambut kita," salah seorang bawahan si Dugol berkata. "Bagus! Jadi kita tak usah repot mencari bajingan itu!Serbuuuuuu!!" teriak si Dugol memberi komando.Selanjutnya bagaikan adegan di film action, mereka saling menyerang dengan senjata tajamnya. Tusuk menusuk. Bacok membacok. Pokoknya seram dah! Gue h
Udah pukul 06.30. Mengapa si Dugol belum turun untuk sarapan? Dia bisa telat masuk sekolah! Ih, dasar bocah preman! Niat sekolah kagak sih?! Tapi ngapain juga gue kepoin masa depannya?! Jadinya, gue kayak emaknya saja. Kadang gue jadi bingung sendiri, dia itu laki gue apa anak gue sih?!Ceklek.Gue membuka kamar si Dugol tanpa permisi. Leh, kemana dia? Kamarnya kosong! Apa dia keperluan mendesak?! Misal kena jadwal piket bersih-bersih kelas. Ahhh, model preman begitu.Gak mungkinlah dia mau ikut piket kelas!Tiba-tiba satu pikiran jelek mampir di otak gue. Janganjangan dia asik tawuran! Segera gue menelpon hapenya. Kagak diangkat! Perasaan gue semakin tak enak. Seharian ini gue berusaha menghubunginya tapi sepertinya Druno gak mau menerima telpon gue. Sialnya, dia juga gak muncul didepan gue. Gue gak tahu dia pulang jam berapa. Gue tertidur di sofa saat menunggunya.Saat terbangun keesokan harinya gue udah berbaring di ranjang gue. Apa si Dugol yan