Pesta yang digelar di kediaman Walikota Ferdinand itu terlihat begitu meriah. Hunian bak kastil itu benar-benar disulap layaknya pesta meriah sebuah kerajaan. Bukan orang sembarangan yang berkesempatan mendapat kehormatan untuk menghadiri pesta tersebut. Dan, di antara nama-nama yang tercatat dalam daftar undangan, Andrew Reyes adalah satu-satunya nama yang Jill harap tidak akan membubuhkan tanda tangan pada buku tamu.“Kau siap, Mr. Walker?” tanya Jill pada saat mobil yang dikendarai oleh anak buah Dreyfus itu berhenti melaju di pelataran bangunan megah tersebut.“Tentu saja, Mrs. Walker,” balas Joseph.Kendati mengatakan dirinya sudah siap, namun Jill dapat melihat gurat kegelisahan dalam wajah Joseph. Wanita itu tahu bahwa suami gadungannya tersebut sedang merasa gugup. Hal yang wajar, mengingat ini adalah pertama kalinya Joseph melakukan tugas sebagai gladiator.Jill tertawa kecil lalu menyentuh tangan Joseph yang mengepal di atas paha.“Rileks, Jerome. Bersikaplah seperti kau sed
Pasangan suami dan istri palsu itu mulai menuju tengah ruangan. Mengambil gelas champagne dari meja lalu menyesapnya sambil mengedarkan pandangan. Berakting layaknya tamu undangan pada umumnya. Sesekali mengulas senyum elegan untuk memperkuat penyamaran.“Jadi, siapa sebenarnya Jerome Walker dan Griselle Walker?” tanya Joseph yang tiba-tiba penasaran dengan sosok tersebut.“Pemilik pabrik anggur di Houston,” jawab Jill seraya melirik pria itu.“Apa mereka benar-benar ada?” Joseph mengerutkan alis.Jill melemaskan bahu lalu menurunkan gelas berkaki yang dia pegang. “Ya, mereka benar-benar ada.”“Jika kita yang ada di sini, lalu … di mana Tuan dan Nyonya Walker yang asli?” Sungguh, Joseph tak bisa menahan rasa ingin tahunya.Menatap Joseph beberapa saat, Jill lantas menjawab, “Untuk masalah itu, kau bisa menanyakannya kepada Dreyfus.” Wanita itu mengakhiri ucapan dengan satu sudut bibir terangkat lalu menyesap minuman dalam gelasnya.Dalam wajah Joseph masih tergambar raut penasaran. Ap
Untuk beberapa waktu, Joseph merasakan dunianya seolah berhenti berputar. Netra abu-abunya tak berhenti memandang ke arah yang sama, pada seorang wanita yang tengah berkutat dengan ponsel pintar di dekat angsa kristal.“Camila?” Sekali lagi nama itu terucap dari bibir Joseph. Namun masih sama, nyaris tak bersuara.Degup jantung yang kian bertalu membuat pria itu tak kuasa menahan kaki untuk melangkah menuju sosok yang dimaksud.Seorang wanita dengan rambut pirang yang digelung cantik tampak sedang berbicara dengan seseorang dalam telepon. Wanita itu memutar badan hingga membelakangi Joseph yang terus melangkah dengan perlahan mendekatinya.Saat ini, kaki Joseph seakan bergerak tanpa kendali dari otaknya. Satu nama yang lolos dari bibirnya beberapa waktu lalu telah membuat pria itu kehilangan kontrol atas diri sendiri. Hingga tanpa sadar, pria itu telah tiba di belakang si wanita yang mencuri seluruh perhatian sejak beberapa waktu yang lalu.“Camila?” Nama itu terucap seiring telapak t
Gemuruh di dalam dada Joseph kian hebat ketika dia melihat Andrew Reyes tersenyum lebar bersama Jacob Ferdinand. Apakah pria itu sama sekali tidak merasa kehilangan putrinya?Sungguh, hal ini membuat emosi Joseph kian memuncak. Sampai detik ini, Setelah berbulan-bulan berlalu, dia bahkan masih terjebak dalam rasa kehilangan atas meninggalnya Camila. Namun, pria yang mengaku sangat menyayangi putrinya itu justru terlihat baik-baik saja seakan tidak ada hal mengerikan yang pernah terjadi pada putrinya.“Tahan emosimu, Hunter!”Sebuah suara diikuti sentuhan di pundak Joseph, membuat pria itu mengerjapkan kelopak mata dengan cepat beberapa kali. Seolah-olah pria itu baru saja ditarik kembali dari dasar lembah kekalutan. Joseph berpaling dan mendapati Jill berdiri di sampingnya sedang melihat ke arah yang sama.“Jangan bertindak gegabah. Ingat, kita datang kemari untuk Bramasta William. Kita tidak datang ke sini untuk membuka penyamaran dan menyerahkan nyawa pada para mafia di sana.” Jill
Mobil mewah yang membawa pasangan Walker itu kembali ke markas dalam laju sedang. Jill memandang pria yang duduk di sampingnya beberapa kali. Lantas dia lepas kacamata yang membingkai wajah Joseph dan menyimpannya. Sejenak menatapi wajah yang tampak lelap dalam damai itu lalu dia gerakkan tangan untuk membelai wajah Joseph.Pria ini sungguh membuatnya gila dengan obsesi. Namun, profesionalitas seolah menjadi jurang pembatas yang dalam. Jill tidak tahu mengapa sosok pria yang satu ini bisa membuat dirinya begitu gelisah. Dan jujur saja rasanya sangat mengganggu.“Apakah benar bahwa hatimu tidak akan tersentuh oleh wanita lain?” gumam Jill dengan netra yang terus mengawasi Joseph.Deru napas halus dan pergerakan dada yang naik-turun dengan ritme lambat menjadi jawaban atas pertanyaan Jill. Wanita itu melepas napas panjang lalu menggeser posisi kepala Joseph yang terlalu miring menjadi lebih nyaman. Kemudian dia memutar badan, duduk dengan posisi menghadap ke depan sambil bernapas dalam.
Atas kegagalan misi pertamanya, Joseph harus menerima hukuman dari Dreyfus. Pria berjambang itu mengambil sesuatu dari dalam saku celana. Sebuah benda logam berwarna silver yang berbentuk setengah lingkaran dengan warna hitam di bagian tengahnya. Dreyfus menarik tangan kiri Joseph lantas menekankan benda tersebut ke pergelangan tangan si pria hingga mengikat dengan erat di sana dengan kedua ujung yang menyatu dan mengunci seperti gelang. Joseph dapat merasakan benda tersebut menekan pembuluh darahnya.“Argh!” Pria itu mengeluh keras saat merasakan sesuatu menusuk permukaan kulit lalu menghantarkan rasa panas yang menyengat selama beberapa saat.“What the hell is this?” tanyanya dengan raut geram, bertanya-tanya sekaligus menahan sensasi tersengat bara api di pergelangan tangan.“Hukumanmu,” jawab Dreyfus yang lantas menekan sebuah tombol kecil pada pinggiran gelang tersebut sehingga warna hitam di bagian tengahnya menampakkan angka yang berkedip-kedip. “Sudah diaktifkan,” ucap pemimpi
Duduk di pantry sendirian, Joseph meneguk bir langsung dari botol. Gelang metal yang dikenakannya membuat Joseph merasa seperti seorang tahanan. Bagaimana tidak? Untuk berlatih seperti biasa pun dia harus benar-benar membatasi diri. Sedikit saja melewati titik toleransi, gelang itu akan menyetrumnya. Sangat menyebalkan!“Butuh teman minum?” Suara feminin menyapa indera pendengaran Joseph.Pria itu tak berpaling, hanya melihat sosok wanita yang datang melalui ekor mata. Tak menjawab, Joseph meneguk bir sambil memalingkan wajah ke arah yang berlawanan dari si wanita.“Ekhem!” Jill berdehem lalu duduk di kursi yang ada di sebelah Joseph. Wanita itu meraih satu botol bir yang ada di meja pantry lalu membuka dan meminumnya. Selama beberapa saat, hanya kebisuan yang menjadi penengah di antara mereka.Beberapa kali Jill melirik Joseph dan pria itu terlihat masih marah terhadap dirinya. Jujur saja, hal ini sangat tidak menyenangkan untuk Jill. Seperti ada sesuatu yang hilang. Dirinya dan Jose
“Kau serius? Kita harus pergi dengan benda ini yang masih ada di tanganku?” Joseph menunjuk gelang metalnya sambil melihat pada Jill dengan kedua alis yang hampir bertaut.Jill melirik pria itu dengan senyum manis, seolah geli sendiri dengan ekspresi Joseph. Dia memutar badan lantas menyandarkan pantatnya pada pinggiran meja sambil bersedekap.“Aku yakin kau akan suka,” ujarnya.“Omong kosong!” Joseph bangkit dan berdiri di hadapan Jill. “Bagaimana jika kita berada dalam posisi terancam yang mengharuskan kita untuk bertarung? Bukankah itu sama saja dengan menyiksa diri sendiri?” Pria itu melotot pada Jill.Terlihat begitu santai, Jill lantas berkata, “Itulah gunanya gelang yang ada di tanganmu, Hunter. Dreyfus ingin kau belajar mengendalikan emosi.”Joseph memalingkan wajah dengan raut tak sepakat. Tetap saja keberadaan gelang itu sangat mengganggu dirinya. Dia jadi tidak bebas melakukan apa pun yang sifatnya memacu adrenalin. Lantas, bagaimana jika keadaannya mengharuskan hal seperti