Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
"I do," jawab wanita cantik dengan gaun sederhana berwarna putih sambil menatap lekat pada pria yang sangat dicintainya.Janji suci telah terucap. Sepasang mempelai telah selesai melangsungkan ritual sakral mereka. Gurat kebahagiaan tak mampu lagi mereka tutupi. Hingga pendeta mempersilakan kedua mempelai untuk menutup ritual itu dengan ciuman penuh cinta mereka."You may kiss the bride," ucap si Pendeta sambil tersenyum bahagia menyaksikan betapa dua insan itu dimabuk cinta."I love you with all my heart and soul, Baby," ucap si pria sebelum menyatukan bibirnya dengan bibir si wanita yang sangat dicintainya itu."And I love you like you are my life, Baby," balas si wanita setelah mereka melepaskan ciumannya.Tidak ada tepuk tangan riuh tamu undangan. Tidak ada ritual melempar bunga. Keduanya resmi menjadi pasangan suami istri di hadapan Tuhan, dengan disaksikan oleh sepasang suami istri penjaga rumah yang mereka sewa."Kami akan pergi ke kota untuk beberapa hari, Sir. Silakan menikma
"Run, Baby! Run! Don't look back!"Wanita cantik itu berlari dengan pipi basah, berderai air mata. Sesaat kemudian, wanita itu terpelanting dan terjatuh ke dalam lubang hitam. Kedua tangannya terulur, berharap seseorang akan menggapai. Namun, perlahan tubuhnya hilang ditelan kegelapan."Camila!" Meski Joseph berteriak sekuat tenaga, namun tidak ada satu orang pun yang mendengarnya.Pria itu seperti ditarik ke dalam sebuah ruangan tanpa cahaya. Dalam sekejap, hanya gelap dan dingin yang dia rasakan. Dia terduduk memeluk lutut, meratapi kematian istrinya.Sayup-sayup suara monitor menelusup ke dalam indera pendengaran Joseph. Perlahan suara itu terdengar semakin jelas, namun kelopak matanya terasa sangat berat untuk dibuka. Pria itu berusaha menggerakkan apapun di bagian tubuhnya yang mampu dia gerakkan. Namun, lagi-lagi dia harus menyerah karena kondisi tubuh yang terasa sangat lemah.Perlu beberapa saat bagi Joseph untuk mengumpulkan tenaga hingga dia mampu membuka kelopak matanya."K
Sudah tiga minggu sejak dirinya sadar, Joseph hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. Belum sekali pun dia menghirup udara segar di luar ruangan. Dengan alasan medis, Dreyfus menurunkan perintah kepada anak buahnya untuk menjaga Joseph tetap berada di dalam ruangan. Hingga saat merasa dirinya sudah cukup kuat untuk berkeliling, Joseph mencoba bernegosiasi untuk bisa keluar."Dengan kondisi seperti ini, kalian pikir aku bisa melarikan diri?" Merasa seperti tahanan, Joseph kesal ketika permintaannya untuk keluar ruangan ditolak oleh anak buah Dreyfus yang berjaga di depan pintu."Maaf, Sir. Kami hanya menjalankan perintah," ucap salah satu dari mereka."Dreyfus, hah? Dia tidak ada di sini. Aku hanya akan keluar sebentar. Aku butuh udara segar," kata Joseph.Kalaupun ingin kabur, Joseph tidak akan gegabah. Dia perlu mempelajari medan terlebih dahulu. Untuk sekarang, dia hanya ingin melihat-lihat. Dia ingin tahu di mana dirinya berada saat ini."Maaf, Sir--""Aku dengar seseorang menyeb
Pembalasan dendam yang ditawarkan oleh Dreyfus sungguh menggelitik batin Joseph. Pria itu berhenti melangkah tanpa memalingkan wajah. Dia tahu, kematian Camila tak lepas dari ulah ayah mertuanya, Andrew Reyes. Bukan Camila yang seharusnya mati, melainkan dirinya. Camila hanyalah korban, dan dia yakin bahwa Andrew tidak akan pernah memberi perintah kepada orang-orangnya untuk menghabisi nyawa putri kesayangannya.“Tidak akan mudah untuk mendekati Andrew Reyes, Hunter. Aku tahu dia sangat membencimu karena telah membawa lari putrinya. Dan aku bisa membantumu untuk melakukan hal itu,” imbuh Dreyfus.Kedua tangan Joseph mengepal semakin kuat seiring dengan rahangnya yang mengetat. pria itu sangat menahan diri untuk tidak membalik badan, namun provokasi dari Dreyfus begitu mendistraksi pikiran.Sungguh! Joseph tidak ingin menjadi budak pria tua itu. Dia tidak mau diperdaya oleh Dreyfus untuk menjadi kacung yang tunduk pada perintah pria tersebut. Karena dia sangat yakin, sekali dirinya ter