Share

Bab 3. The Gladiators

Sudah tiga minggu sejak dirinya sadar, Joseph hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. Belum sekali pun dia menghirup udara segar di luar ruangan. Dengan alasan medis, Dreyfus menurunkan perintah kepada anak buahnya untuk menjaga Joseph tetap berada di dalam ruangan. Hingga saat merasa dirinya sudah cukup kuat untuk berkeliling, Joseph mencoba bernegosiasi untuk bisa keluar.

"Dengan kondisi seperti ini, kalian pikir aku bisa melarikan diri?" Merasa seperti tahanan, Joseph kesal ketika permintaannya untuk keluar ruangan ditolak oleh anak buah Dreyfus yang berjaga di depan pintu.

"Maaf, Sir. Kami hanya menjalankan perintah," ucap salah satu dari mereka.

"Dreyfus, hah? Dia tidak ada di sini. Aku hanya akan keluar sebentar. Aku butuh udara segar," kata Joseph.

Kalaupun ingin kabur, Joseph tidak akan gegabah. Dia perlu mempelajari medan terlebih dahulu. Untuk sekarang, dia hanya ingin melihat-lihat. Dia ingin tahu di mana dirinya berada saat ini.

"Maaf, Sir--"

"Aku dengar seseorang menyebut namaku," ujar seorang pria dari selasar. Dreyfus.

Joseph dan kedua pria berjas hitam di depan pintu sontak melihat ke arah sumber suara. Dua anak buah Dreyfus mengangguk hormat pada sang tuan.

"Aku ingin menghirup udara segar," kata Joseph tanpa basa-basi.

Dreyfus menatap dua anak buahnya. Tanpa mengatakan apa pun, dua pria berjas hitam itu langsung mengerti. Mereka mengangguk lantas meninggalkan Dreyfus dan Joseph.

Sepeninggal dua orang itu, Dreyfus memandang Joseph dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pria itu sudah tampak sehat. Sekejap kemudian Dreyfus tersenyum lebar.

"Ikut aku!" Dreyfus menelengkan kepala lantas merangkul bahu Joseph dan membimbingnya melangkah.

"Kau ingin menghirup udara segar, bukan?" Dreyfus melepaskan bahu Joseph lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil terus melangkah.

"Aku bosan selalu berada di ruangan itu," jawab Joseph.

Pria berjambang itu terkekeh mendengar jawaban Joseph.

"Kau benar. Sudah terlalu lama kau beristirahat. Tubuhmu," Dreyfus menoleh lantas membuat gestur seolah sedang membaui tubuh Joseph, "bau obat."

Malas menanggapi, Joseph lebih tertarik menoleh ke sebuah ruangan di mana dia mendengar suara gaduh semacam orang yang sedang berkelahi. Langkah kakinya pun berbelok ke ruangan yang ada di sisi kirinya tersebut.

Tidak ingin mencegah, Dreyfus hanya tersenyum kecil sembari mengikuti Joseph. Pria yang memiliki kekuasaan tertinggi di tempat tersebut, membiarkan Joseph diam mengamati apa yang terjadi di dalam ruangan.

"Mereka sedang berlatih," ujar Dreyfus.

Joseph berpaling, tapi tidak tampak ingin menanggapi. Dua orang yang sedang duel di tengah ring lebih menarik perhatiannya. Seorang pria melawan seorang wanita, tapi keduanya tampak memiliki kekuatan yang seimbang. Bahkan beberapa kali dia bisa melihat tubuh si pria terpental karena tendangan si wanita.

"Kerahkan seluruh kemampuanmu, Anak Manis!" Wanita itu berseru sambil tersenyum miring, menatap remeh lawannya.

"Aku tidak menghajar wanita di atas ring, Sayang." Pria itu balas menyeringai. "Aku menghajarnya di atas ranjang. Mau mencoba?" Pria itu membuka telapak tangan lantas memberi isyarat pada si wanita untuk maju.

"Pastinya wanita itu bukan aku." Dalam satu kedipan, kaki wanita tersebut sudah mengarah kepada lawannya.

Tendangan memutar yang cukup keras itu berhasil ditangkap oleh si pria. Cukup dengan satu serangan balik, pria itu berhasil menjatuhkan lawan. Pria tersebut mengunci pergerakan si wanita di atas matras.

"Sudah kukatakan kalau aku lebih suka menghajar wanita di atas ranjang," desis si pria.

Wanita berambut kecoklatan itu terlihat kesulitan membebaskan diri dari kuncian. Tampak bahwa dia sudah menyerah, dengan berhenti melakukan perlawanan. Namun, tiba-tiba saja wanita itu menarik kedua kaki lantas menyilangkannya ke punggung si pria. Bagaikan roda yang berputar, wanita itu membelit tubuh si pria dengan kaki, lantas bertolak dengan kedua tangan yang menapak matras. Gerakan kilat dan lentur si wanita mampu membalik keadaan. Tubuh si pria terbanting, dengan posisi terkunci. Siku wanita itu menekan leher si pria.

"Ini bukan ranjang, Anak Manis. Ini adalah ring. Siapa lengah, dia kalah!" desis wanita itu.

Tontonan yang sangat menarik bagi Joseph. Dia menyukai interaksi keduanya saat bertarung. Jelas sekali terlihat bahwa dua orang itu sudah sangat terlatih.

"Helena dan Jacob," tutur Dreyfus, "dua gladiator terbaikku. Untuk saat ini."

"Gladiator?" Kening pria itu berkerut.

Dreyfus tersenyum tipis. "Anggap saja kami adalah ... 'tangan hitam' para penguasa."

Pria berjambang itu menunjuk dua orang di atas ring dengan dagunya sambil berkata, "They are the executors."

Kerutan di dahi Joseph semakin dalam. Otaknya masih mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Dreyfus.

Lalu, Dreyfus menepuk bahu Joseph dan membawanya keluar dari ruangan tersebut.

"Kita akan membahasnya lagi lain waktu," ujar Dreyfus.

Seiring dengan kaki yang terus melangkah, kedua mata Joseph terus berselancar memperhatikan ruangan demi ruangan yang mereka lewati. Rasanya mereka sudah berjalan cukup jauh, tapi tidak kunjung menemukan pintu keluar. Selasar yang mereka lalui terlihat seperti sebuah markas agen-agen rahasia pemerintah. Setidaknya, begitulah yang ada dalam pikiran pria berusia tiga puluh tahun tersebut.

Mereka masuk ke dalam lift, lalu keluar setelah kotak besi itu membawa mereka ke lantai yang paling tinggi. Berjalan menyusuri ruangan luas dengan atap berbentuk oval yang tingginya terasa tidak wajar, Dreyfus berjalan dengan sangat tenang. Berbeda dengan Joseph yang takjub melihat beberapa burung besi dengan berbagai jenis berjejer di kanan dan kiri ruangan tersebut. Tiga helikopter dan satu jet tempur. Tidak salah lagi, ini adalah hangar.

Sebuah pintu besi dengan kunci digital terbuka setelah Dreyfus menempelkan telapak tangannya pada scanner, menampilkan pemandangan yang cukup membuat Joseph tercengang. Pohon-pohon tinggi menjulang memenuhi ruang sejauh matanya memandang. Mereka tidak sedang berada di dalam hutan, tapi di atas hutan atau lebih tepatnya gunung. Hamparan hutan di bawahnya tampak seperti permadani hijau pekat yang terhampar begitu cantik. Tempat yang sangat asing dalam pandangannya.

"Kau terkejut?" Dreyfus tersenyum tipis melihat reaksi Joseph.

"Siapa sebenarnya kalian?" selidik Joseph.

Dreyfus berhenti di dekat pagar pembatas, disusul Joseph yang berdiri di sebelahnya.

Pria berjambang itu menyilangkan tangan di atas pembatas. "Aku sudah menjawab pertanyaan itu sebelum kau bertanya, Nak. Apa luka di kepalamu membuat daya ingatmu menurun?" ucap Dreyfus sarkas.

Jawaban Dreyfus tidak membuat Joseph puas. Pria disampingnya itu semakin membuatnya penasaran.

"Jika kau ingin tahu lebih banyak, segera pulihkan tubuhmu. Aku ingin mencoba kemampuanmu pada Helena dan Jacob. Aku ingin kau menjadi salah satu gladiatorku," ujar Dreyfus.

Cahaya matahari yang memantul pada iris mata pria berjambang itu semakin menambah kesan dominan darinya. Joseph bertanya-tanya dalam hati. Apa itu artinya dia akan diadu di sini?

Sesaat kemudian, Joseph tersenyum masam sambil membuang pandangan ke arah hutan.

"Maaf, aku tidak tertarik," ujarnya.

Dreyfus menghela napas pelan lalu melempar pandangan ke arah yang sama dengan Joseph.

"Sayangnya... kau tidak punya pilihan lain, Nak," kata Dreyfus.

Joseph berpaling cepat. "Apa maksudmu?"

"Kau berhutang nyawa padaku. Dan semua pengobatan yang kau jalani," Dreyfus memiringkan tubuh ke arah Joseph, "tidak gratis."

Rahang Joseph mengeras mendengar apa yang dikatakan oleh Dreyfus.

"Aku tidak pernah memintamu untuk menyelamatkanku. Jadi aku tidak berhutang apa pun padamu," desis Joseph.

Dreyfus terkekeh. "Dan aku baru saja membuatmu berhutang," tukasnya.

Geram, Joseph menatap bengis pada pria di hadapannya itu. Dia tidak berhutang apa pun! Bagi Joseph, hidup dan mati adalah takdir. Jadi tidak ada istilah "berhutang nyawa" dalam hidupnya.

"Aku tidak akan melakukannya!" tegas Joseph.

Pria itu berbalik, berjalan beberapa langkah lalu berhenti ketika Dreyfus mengeluarkan kata-katanya lagi.

"Joseph Hunter. Memiliki nama asli Joseph Blight. Putra dari istri kedua Markus Blight. Ibunya membunuh istri pertama Blight sehingga dia diusir dari istana Blight oleh pewaris tahta Blight Corporation, Julian Blight. Memilih hidup menyendiri dan bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel kecil. Menikah dengan Camila Reyes, putri tunggal miliarder Andrew Reyes yang tidak direstui oleh ayah mertuanya. Lalu, menjadi duda tepat pada hari pertamanya menikah." Dreyfus berbalik, bersandar pada pembatas dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. "Sayang sekali, Markus Blight tidak memiliki kesempatan untuk menyaksikan kesengsaraan putranya."

Kedua tangan Joseph mengepal kuat. Dia tidak akan bertanya dari mana Dreyfus mengetahui semua informasi tentang dirinya, mengingat apa yang dimiliki pria itu. Namun, dia tetap tidak akan menuruti apa yang dikatakan oleh pria tersebut.

Ketika dia hendak melanjutkan langkah, Dreyfus berujar lagi.

"Kau yakin tidak ingin membalas kematian istrimu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status