Yeah, aku lega meski aku tahu apa pun yang terjadi Mrs. Felton akan menemui Steve. Dan Steve juga akan berhadapan dengan ibunya. Lega ini hanya sementara, aku tahu itu.
Yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Seperti berusaha membuat Mrs. Felton tidak memarahi Steve. Aku ingin membuatnya merasa lebih tenang.
Tapi ketika aku berniat melakukan itu, karena mengira Mrs. Felton akan menunggu Steve di ruangan ini, Mrs. Felton malah segera keluar dari ruangan.
Aku yang tidak ingin ketinggalan segera mengikutinya. Aku juga tidak berani bertanya kenapa be
Selamat membaca! đAku harap kalian suka dengan cerita ini dan semoga cerita ini menghibur ya..đ¤ jangan lupa untuk vote dan beri komentar di cerita ini sebagai bentuk dukungan kalian. See you guysđ
Jadi ceritanya adalah, Mrs. Felton hendak melayangkan tangannya pada Steve seperti hendak menamparnya. Lalu aku segera menghalangi itu dengan menggunakan tubuhku sebagai tameng. Karena tangan Mrs. Felton yang melayang pada Steve yang tubuhnya di belakangku, maka aku bukan terkena telapak Mrs. Felton tapi terkena pukulan lengan bawahnya di kepalaku. Jika aku jauh beberapa centi dari tempatku sekarang mungkin Steve sudah kena tampar karena aku terlambat. Kepalaku yang terpukul seperti mau di pisahkan dari lehernya. Karena itu leherku juga ikut sakit. Tapi aku yakin tangan Mrs. Felton juga sakit. "Hah." helaan napas berat terdengar jelas di telingaku karena Mrs. Felton yang menge
Aku suka sekali meminta ibu bermain piano untukku ketika ada di rumah sejak kecil. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh pianonya jika ibu tidak ada.Entah sejak kapan aku tidak berani melakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan padaku."Yang mana?" Ibu melihat buku tulisku."Aku harus mengerjakannya dalam waktu lima menit. Tapi aku hanya bisa melakukannya dalam waktu sepuluh menit." Kataku sambil menunjukkan stop watch kepada ibu.Ibu menatapku terkejut. Entah karena apa yang aku ucapkan atau karena apa yang aku tunjukkan atau juga mungkin karena apa yang tertulis di buku ku.Yang aku tahu, ibu tidak membantuku mengerjakan tugas tapi malah berdiri sambil membawa buku tugasku. Ibu berjalan menjauhiku."Mama?" Pang
Saat itu, karena merasa sudah lebih baik. Aku ingin menggambar sembari bersandar di sandaran kasur. Tapi ayah tiba-tiba datang. Aku mengalihkan perhatianku dari buku gambar. Aku tidak sendirian, ada pelayan yang menemaniku menggantikan ibu. Karena aku sudah lebih baikan, ibu tidak memaksakan diri lagi menjaga dan menemaniku. Aku bisa melihat ayah mengerut ke arah buku di pangkuanku. Ia lalu berkata, "Bukannya kau dilarang untuk menggambar? Aku sudah menyuruhmu sebelumnya untuk tidak menggambar dan lebih fokuslah pada pembelajaran." Aku melebarkan mataku mendengar itu lalu membalas, "Ayah tidak pernah bilang begitu sebelumnya." Aku tid
Setelah mengunjungi makam ibu, aku tidak tahu harus kemana selanjutnya. Aku tidak mungkin ke apartemen Steve sekarang, suasananya akan canggung. Tapi bagaimana dengan barang-barangku yang ada di sana? Aku sepertinya tetap harus ke sana. Napasku kuhembuskan kuat-kuat. Jika saja rambutku pendek mungkin aku juga akan mengacak-acak rambutku sebagai pengalihan rasa frustrasi. Ah, apa yang harus kulakukan sekarang? Pikiranku tiba-tiba teringat ibu. âIbu, jika kau ada di sisi Helen sekarang, mungkin ibu bisa memberi Helen saran yang baik,â gumamku tanpa sadar. Ponselku berdering di detik berikutnya. Aku melihat layarnya yang langsung membuatku terdiam dengan kedua alis yang saling bertaut. Nomor tidak dikenal menghubungi ponselku. Aku menggerakkan mobilku ke sebuah restoran lalu berhenti di parkiran untuk mengangkat panggilan. Setelah menghilangkan rasa ragu, aku mengangkat panggilan itu dengan sedikit gug
Begitu aku sampai di apartemen Steve, langsung saja aku masuk ke kamarku yang sebentar lagi kehilangan penghuninya. Meski aku hanya tinggal beberapa hari saja. Mataku otomatis memperhatikan seisi kamar. Lalu berhenti saat melihat tumpukan kardus di sudut kamar. Aku menghela napas. Padahal paket dari ibunya Steve sudah setengahnya telah dikeluarkan dan ditata dalam lemari. Tanpa mengeluh lagi, aku mengemas barang-barangku dalam keheningan kamar. Sampai perutku terasa melilit karena lapar, aku berhenti dari pekerjaanku saat langit sudah mulai menggelap. Aku memilih memesan makanan dari restoran terdekat daripada memasak karena sudah terlalu telat makan. Lagi pula aku ragu bisa memasak dengan tenaga yang tersisa. Tenaga yang tersisa untuk makan malah aku gunakan untuk membuat masakan. Bisa-bisa aku pingsan di dapur. Kan tidak lucu kalau Steve tahu aku pingsan karena menghindari bertemu dengannya hingga aku telat
"Kalau kau ingin menolak, kau bisa mengatakan langsung pada Nyonya Felton." Dave menyahut lagi masih dengan nada yang kurang bersahabat di telingaku. Aku dan Steve tentu melihat ke arah Dave saat ia berbicara. "Dave," tegur Steve padanya. "Apa? Kau juga tidak ingin dia tinggal di kediaman keluarga kalian kan?" Dave menyindir. Aku menegang mendengar itu. Tanganku saling meremas satu sama lain sebagai bentuk pengalihan rasa sesak yang tiba-tiba datang. "Dave!" Steve meninggikan suaranya. Steve lalu beralih memandangku, "Dengar Helen, aku tidak keberatan kau tinggal di kediaman kami. Selama itu keinginan Mom, aku tidak akan keberatan. Oke?" Aku balas memandang Steve namun tidak membalas kalimatnya. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini meski Steve mengatakan itu. Steve melanjutkan, "Jadi lupakan saja apa yang dikatakan Dave tadi. Dia memang selalu begini. Makannya tidak ada wanit
Nyonya Felton mengambil tangan kanan Helena, lalu menaruh sebuah kunci logam di tangannya. Helena berkedip melihat kunci itu lalu menatap wajah Nyonya Felton yang tersenyum. "Ini kunci ruangan ini," ucap Nyonya Felton, "Simpanlah." Seperti dugaan Helena, ini adalah kunci studio dan ini diberikan padanya oleh Nyonya Felton. "Apa ini tidak apa-apa?" tanya Helena yang ternyata masih ragu menerima kunci di tangannya ini. "Aku sangat senang kalau Helen mau menerimanya," jawab Nyonya Felton. Helena memandang piano yang ada di tengah ruangan. Ia teringat piano ibunya yang masih berada di rumah kakeknya. Dan ia sudah dua bulan tidak melihatnya. "Terima kasih," ucap Helena. Ia bisa membayangkan piano ini sama seperti yang ada di rumah kakeknya itu. Membuatnya bisa membayangkan ibunya tengah berma
"Badan Helen terlalu kurus. Jadi harus banyak makan." Ibu Steve menolak setuju dengan perkataan Dave yang mengatakan jika Helena akan gemuk dengan porsi makan seperti ini. Helena tertawa canggung. "Benar, aku juga tidak akan langsung gemuk hanya karena satu kali makan." Dave menarik satu sudut bibirnya. Tersenyum miring. "Kau yakin ini tidak akan terulang? Kau akan mulai tinggal di sini kan untuk seterusnya?" Pertanyaan Dave membuat Helena berpikir, jika satu kali ia memang tidak akan langsung gemuk. Helena menatap porsi makannya di atas piringnya. Tapi Nyonya Steve kemungkinan besar akan memperlakukannya seperti ini terus bukan? Dan saat itu mungkin tubuhnya akan melebar. Jangan salah jika mengira Helena takut gemuk karena peduli penampilan. Tapi sebenarnya ia sadar jika gemuk atau obesitas itu buruk untuk kesehatan di masa tua dan membawa banyak penyakit. "Mom, lain kali tidak perlu mengambilkan makanan untuk Helen. Siapa tah