Mag-log inFelisha terdiam cukup lama setelah kalimat terakhir itu melintas di kepalanya.Ia memandangi langit-langit kamar kos yang mulai menguning dimakan usia. Ada retakan kecil di sudut plafon, seperti garis halus yang mengingatkannya pada hidupnya sendiri—tidak runtuh, tapi juga tidak lagi utuh.“Aku belum tahu, Gin,” ucapnya akhirnya, pelan. “Aku belum berani memikirkan sejauh itu.”Gina tidak langsung menjawab. Ia merapikan kantong belanja terakhir, lalu duduk di sisi ranjang, menatap Felisha dengan mata yang tidak menghakimi. “Kamu tidak harus punya semua jawabannya sekarang.”Felisha tersenyum tipis. “Masalahnya, semua orang seolah menunggu aku segera tahu.”Alan. Erik. Bahkan dirinya sendiri.Ia menarik selimut lebih tinggi, meski udara malam sebenarnya tidak dingin. Ada rasa kosong yang menggerogoti pelan —bukan karena sendirian, tapi karena terlalu banyak pilihan yang masing-masing menuntut keberanian.Ponselnya bergetar pelan di atas meja kecil. Bukan pesan, tapi panggilan. Dan nama
Sore berjalan lambat. Panas mulai mereda, digantikan udara lembap yang menempel di kulit. Felisha masih duduk di tempat yang sama, ponsel di tangannya tak juga diletakkan. Layar itu gelap, tapi namanya—nama Alan, seakan masih menyala di kepalanya.Gina keluar sebentar untuk membeli kebutuhan dapur selama beberapa hari ke depan, meninggalkan Felisha sendirian dengan pikirannya.Felisha menarik napas dalam-dalam. Ia akhirnya memutuskan untuk membuka pesan itu.Jarum jam di ponselnya menunjukkan pukul empat sore. Tangannya gemetar saat ia mengetik satu kalimat singkat."Sudah. Terima kasih."Tidak ada emotikon. Tidak ada kata tambahan. Tidak ada tanda rindu.Namun saat pesan itu terkirim, jantung Felisha berdetak keras, seolah ia baru saja melangkah ke tepi jurang yang belum ia tahu kedalamannya.Beberapa detik berlalu. Lalu balasan masuk."Syukurlah. Jangan lupa minum vitaminnya."Felisha menatap layar lama.Tidak ada pertanyaan “kamu di mana”. Tidak ada perintah “pulang”. Tidak ada des
Siang menjelang dengan panas yang menyengat, membuat suasana kos semakin terasa pengap. Felisha duduk di meja kecil sambil menuliskan beberapa daftar kebutuhan—mencari kos lain, konsultasi kandungan, dan rencana mencari pekerjaan kecil untuk sementara.Ia baru menaruh pulpen ketika ponselnya bergetar.Satu buah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Feli, kamu sudah makan siang?”Felisha menelan ludah. Ia tahu siapa itu. Nada kekhawatirannya terlalu khas.Felisha tidak membalas. Atau belum.Gina masuk sambil membawa dua gelas es teh. “Kamu kelihatan kayak baru lihat hantu,” candanya.Felisha tersenyum tipis. “Bukan hantu … cuma seseorang yang akhirnya sadar kalau aku tidak ada.”Gina duduk di tempat tidur. “Pak Alan?”Felisha tidak menjawab, tapi diamnya cukup sebagai jawaban.Gina meminum es tehnya. “Dia nanya kamu makan? Sweet sih, tapi telat.”Felisha menggigit bibir. “Aku nggak tahu harus jawab apa.”“Jawab aja ‘udah’. Simple.”Felisha menggeleng. “Setiap aku mau ngetik, jari aku be
Malam merayap perlahan, menyisakan udara lembap sisa hujan. Di kamar kos sederhana itu, Felisha masih terjaga. Matanya menatap ponsel yang tergeletak di samping bantal, layar yang kadang menyala oleh notifikasi kecil, tapi tidak pernah memunculkan nama yang diam-diam ia tunggu.Ia membelai perutnya yang masih datar.“Maafin Mama, ya… Mama masih bingung,” bisiknya.Kamar itu tenang. Terlalu tenang. Namun untuk pertama kalinya, keheningan itu tidak membuatnya merasa sendirian —hanya terasa kosong.Felisha menarik selimut pelan. Besok ia harus kuat. Besok ia harus mencari tempat tinggal yang lebih permanen sebelum memutuskan langkah selanjutnya.Sementara itu, di ruang kerja Alan, lampu belum dimatikan. Malam hampir jam sebelas ketika Alvaro kembali masuk dengan ragu.“Tuan … Anda belum mau pulang?”Alan masih menatap cincin pernikahan itu, seolah benda itu memiliki jawaban. “Aku tidak bisa pulang.”Alvaro menahan napas. “Anda bisa pulang untuk istirahat. Tidak ada rapat lagi malam ini—”
Hujan turun tipis-tipis menjelang sore, membasahi kaca jendela kantor Tanujaya Grup. Biasanya, suara gemericiknya memberikan ketenangan bagi siapa pun yang mendengarnya. Tapi bagi Alan, hari itu hujan hanya menambah rasa berat yang sejak pagi menekan dadanya, hingga membuatnya sesak.Ia berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota dari lantai paling tinggi gedung itu. Pikirannya terbang entah ke mana. Sibuk memutar ulang kejadian dua hari lalu —wajah Felisha yang pucat ketakutan.Wajah cantik itu menghantuinya.Menjauh dari jendela, Alan duduk pelan di kursi kerjanya. Kedua tangannya terlipat, mengusap wajahnya dengan gerakan yang lambat dan begitu letih.Untuk pertama kalinya, meja kerjanya terasa terlalu besar. Ruangan itu terlalu sepi. Dan kursi yang ia duduki, yang biasanya menjadi singgasananya sebagai pemimpin perusahaan, kini terasa seperti ruang pengakuan dosa. Dan doa.Alvaro mengetuk pintu dengan hati-hati. “Tuan … mengganggu sebentar?”“Masuk.”Alvaro melangk
Alan keluar dari ruang meeting dengan langkah yang tidak setegas biasanya. Bukan langkah seorang CEO yang baru saja membahas kerja sama besar, melainkan langkah seorang pria yang baru saja disadarkan bahwa ia bisa kehilangan dua hal dalam hidupnya:Felisha dan masa depan perusahaan yang ia bangun sejak lama.Alvaro mengikuti di belakang, diam, tidak berani menyela.Di lorong mewah itu, Alan berhenti tepat di depan dinding kaca besar. Napasnya memburu, bukan karena marah —tapi karena takut. Takut benar-benar kehilangan perempuan yang selama ini ia anggap tidak ada, tapi nyatanya telah mengacak-acak ketentraman hatinya —tanpa disadari. Ia benar-benar menyesal karena selama ini tidak tahu cara menjaganya dengan benar.“Tuan…” Alvaro akhirnya bicara, hati-hati. “Anda ingin langsung menuju rumah sakit?”Alan memejamkan mata. “Bukankah kau sudah bilang kalau ia sudah pulang.”“Lalu … kita ke rumah?” kata Alvaro lagi, merasa salah bertanya. “Tidak,” Alan menjawab cepat.Karena ‘pulang ke ru







