Share

Jatah Harta Gono Gini

Namun, pada kenyataannya tidak semudah itu untuk kembali bersama dengan Septi. Apalagi kedua anak Septi yang terang-terangan menolak ayahnya kalau masih bersama dengan Jihan. Maka pulangnya Wisnu kembali ke keluarga Jihan. Marni yang mendengarnya marah.

“Masa kamu enggak bisa membujuk istrimu supaya baikan?”

“Enggak bisa, Ma. Aku malah diusir sama dia. Sepertinya dia sudah membujuk kedua anakku juga supaya ikut membenciku.”

“Memang keterlaluan istrimu itu. Sombong sekali dia. Ayo, Ma kita ke rumah Septi lagi. Kita labrak dia!”

Dina angkat suara. Marni setuju. Mereka pun kembali dengan menggunakan motor matic menuju rumah Septi.

Pada saat itu, Septi sedang bersantai bersama kedua anaknya. Ada Bik Ratih juga. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran tamu yang tidak diundang. Tapi, terlebih dahulu, tamu tersebut dihalangi oleh sekuriti.

“Ternyata, Septi sudah membayar sekuriti, Ma. Dia sepertinya takut kalau kita datang lagi. Dia takut kalau kita labrak!”

Dina berkata sinis. Memang semenjak kejadian kemaren, Septi langsung mempekerjakan sekuriti. Selain untuk menjaga keamanan, termasuk dari tamu-tamu yang tidak diharapkan datang tersebut.

“Minggir! Kami mau bertemu dengan Septi!”

Septi yang mendengar kegaduhan itu langsung mendekat. Memberi instruksi kepada sekuriti itu untuk minggir sesaat.  Dia sempat meminta kepada Bik Ratih untuk membawa anak-anak masuk ke rumah.

“Ada apa lagi, Bu Marni, Mbak Dina?”

“Heh! Wanita sombong! Berani sekali kamu mengusir suamimu sendiri dari rumah ini! Padahal kan dia beriktikad baik untuk berhubungan baik denganmu!”

“Berhubungan baik? Pasti ada maunya kan?”

Marni dan Dina tercekat. Bagaimana bisa Septi membaca jalan pikiran mereka.

“Kalian menyuruh Mas Wisnu datang ke sini. Baik-baikin aku, supaya bisa mengambil sesuatu dari rumah ini kan sebelum perceraian terjadi.”

“Jangan asal bicara kamu dan jangan ke-geeran! Wisnu ke sini semata-mata ingin memperbaiki hubungannya dengan anaknya yang telah kamu rusak. Kamu memang selain tidak becus menjadi istri. Juga ibu yang tidak baik. Menghasut anak-anak Mas Wisnu supaya membenci Mas Wisnu dan semua hak asuhnya jatuh ke tangan kamu kan?”

Dina mencerocos. Menuduh Septi yang bukan-bukan. Cukup membuat batin Septi terguncang. Namun, Septi harus tegar. Ada kehidupan di dalam rahimnya yang harus dia pertahankan.

“Oh ya? Masak sih? Kalau Toh Mas Wisnu ingin menjalin hubungan baik dengan anak-anaknya. Seharusnya dia tinggal di sini lebih lama. Menghabiskan waktu lebih lama dengan anaknya. Daripada bersama dengan wanita yang katanya mengandung anak Mas Wisnu. Padahal belum tentu juga kan?”

“Apa maksudmu berkata begitu? Kamu mau bilang kalau anakku murahan?”

“Memang itu kenyataannya? Apa coba sebutan bagi wanita gatel dengan suami orang. Sudah jelas-jelas sudah punya keluarga. Tapi, masih saja digodain. Bukan tidak mungkin kalau dia juga kegatalan dengan lelaki lain di luar sana. Bisa saja itu anak orang lain kan? Bukan Mas Wisnu?”

Marni geram mendengarnya. Begitupun dengan Dina. Jihan pada kenyataannya memamg menggoda suami orang. Bukan semata-mata keinginan Jihan tapi desakan dari Marni dan Dina yang menginginkan kehidupan lebih baik setelah merebut Wisnu dari Septi. Tidak peduli dengan hancurnya Septi. Kalau Septi berkata begitu, jelas saja menghina Marni dan Dina, karena mereka adalah dalang dari rusaknya rumah tangga Wisnu dan Septi.

“Lancang sekali kamu berkata begitu! Kamu mau apa kami laporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik! Kamu sudah melecehkan nama baik keluarga kami!”

“Silakan saja, aku tidak takut. Malah aku bisa viralkan kasus ini ke sosial media. Supaya semua orang tahu. Betapa murahnya keluarga kalian. Bisa-bisanya menyuruh anak untuk menghancurkan rumah tangga orang lain. Sampai mengandung lagi. Aku yakin, netizen semuanya akan membelaku, termasuk tetangga-tetanggamu. Hal itu akan membuat kalian terdesak di lingkungan kalian sendiri.”

Sekali lagi Marni dan Dina dikejutkan dengan keberanian Septi. Septi bukan wanita lemah yang ada di sinetron iklan terbang. Apalagi di cerita novel-novel rumah tangga murahan yang hanya menceritakan tentang istri yang selalu terinjak-injak.  Septi adalah wanita yang begitu besar. Pintar membalikkan omongan. Mendesaknya sama saja dengan mencelakai diri sendiri.

“Dasar kamu wanita sampah! Sikapmu ini benar-benar menjijikkan!”

Kalau kalah debat hanya sumpah serapah yang keluar dari mulut mereka. Septi hanya mengelus dada. Sedangkan sekuriti yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala.

“Kami tidak akan berhenti sampai di sini, Septi! Kami akan datang lagi dan lagi untuk memperjuangkan hak kami. Eh, maksudnya hak Wisnu. Dia tertindas gara-gara mempunyai istri seperti kamu. Matre, tidak hormat dengan suami, sok berkuasa. Semoga Azab akan segera menimpamu.”

Septi hanya tersenyum kecut. Kelakuan mereka mirip dajal kok membicarakan tentang azab. Ya seharusnya mereka yang diazab. Septi sudah mempersiapkan rencana yang elegan untuk membalas mereka. Halus namun sangat keji sekali.

“Silakan saja kalian datang. Tapi, jangan harap kalian bisa masuk. Ada sekuriti yang sudah kusiapkan. Untuk mengusir kalian sewaktu-waktu kalian datang.”

“Memang wanita sombong! Ingat akan harta gono gini Wisnu! Dia sudah bekerja keras supaya bisa membangun rumah ini! Mobil! Dan semuanya! Semoga saja Wisnu tidak akan memberikan sepeserpun harta gono-gini padamu!”

“Bukannya kebalikannya ya? Aku yang enggak akan ngasih sepeserpun. Sekalipun, Mas Wisnu meminta. Dia hanya punya motor butut saja. Itu hasil kerja dia ketika baru menjadi kontraktor. Iya, padahal baru saja naik menjadi kontraktor sudah bertingkah dengan punya selingkuhan. Bagaimana kalau dia berhenti dari pekerjaannya? Kan kasihan kalian yang susah payah merebut lelaki tidak berguna.”

Wajah Marni dan Dina merah padam. Mereka tak mampu lagi mendebat perkataan Septi yang jauh lebih berkelas. Yang lebih menjengkelkan. Septi tidak berotot mengatakan hal itu. Santai saja, seolah menganggap mereka tidak penting.

Dina segera menarik tangan Marni. Menaiki motor matik mereka. Berlalu dari hadapan Septi beserta sekuriti. Septi memandang kepergian mereka sampai menghilang di persimpangan jalan.

Tiba-tiba, Septi merasakan nyeri yang teramat sangat. Dia memegang perutnya itu. Ketika melihat ke bawah darah tampak mengalir ke pahanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status