Share

Rencana Jahat

“Ada apa ya Ibu Marni, Mbak Dina ke sini.”

Septi masih sopan menyapa mereka. Bahkan, dia mempersilakan kedua tamunya untuk masuk ke rumah. Tapi, kedua tamunya itu malah membentaknya.

“Dasar kamu wanita tidak tahu diuntung! Kenapa kamu usir Wisnu dan anakku dari rumah ini hah! Ini kan rumah Wisnu. Harusnya dia boleh datang bersama dengan Jihan di sini kapanpun!”

Wanita tua itu menuding. Septi hanya menghela nafas. Dia berkata kepada Bik Ratih untuk terlebih dahulu masuk ke dalam mobil bersama dengan kedua anaknya.

“Saya sebenernya tidak masalah, Bu. Mau mereka datang ke sini kapanpun. Tapi, sayangnya kedua anakku yang tidak mau. Jadi ya mau bagaimana lagi.”

“Sombong kamu ya! Mentang-mentang sudah punya kerjaan sendiri. Suamimu sendiri kamu sepelekan! Awas nanti kalau sampai kamu menangis darah karena ditinggal Wisnu.”

Kini giliran Ratih yang memojokkannya. Septi hanya tertawa tipis. Mereka berkata seolah-olah Wisnu adalah manusia yang didewakan. Septi tidak bisa hidup tanpa Wisnu. Padahal sebenernya, Septi butuh Wisnu hanya sebagai sosok seorang ayah buat kedua anaknya. Namun, melihat Wisnu yang bertabiat tidak baik. Mungkin lebih baik kalau kedua anaknya itu dididik olehnya. Tanpa memberikan kesan kedua anaknya itu membenci ayahnya. Septi tidak mau kalau sampai hal itu terjadi. Dia akan terus memberi pengertian kepada kedua anaknya. Supaya bisa menerima keadaan dan memaafkan kelakukan ayahnya.

“Menangis darah? Maaf banget ya, Mbak Yu. Mau Wisnu sama yang lain. Aku enggak sakit hati kok. Justru aku sudah tidak sabar sampai anak ini lahir. Supaya, bisa berpisah dengan Wisnu. Biarlah dia sama sahabatku itu.”

Marni dan Dina saling berpandangan. Lantas memandang Septi remeh dari atas sampai bawah. Septi mulai menyadari bahwa direbutnya Wisnu merupakan ide dari mereka. Mereka menginginkan lelaki yang mapan, tampan, gagah. Pokoknya sempurna segalanya. Namun, pikiran mereka terlalu picik kalau yang mereka rebut adalah suami orang lain.

“Munafik kamu! Bisa saja kamu ngomong begitu, tapi nanti kamu pasti akan menangis bombay. Suamimu sempurna segala-galanya, kamu pasti akan menyesal.”

Dina menambahkan. Seolah tidak puas untuk menyudutkan Septi. Septi agak menguap sedikit. Bosan dengan ocehan mereka. Membuang waktunya yang sebentar lagi akan pergi ke kantor.

“Iya, iya, Wisnu memang sempurna segala-galanya, Mbak Yu. Tapi sayangnya tukang selingkuh. Takutnya nanti setelah menikah dengan Jihan. Dia malah selingkuh dengan yang lain. Jangan sampai ya.”

“Memang pantas kamu ditinggalkan sama Wisnu. Lha wong, tingkahmu sama sekali tidak menghormati suami. Malah merelakan suami selingkuh dengan yang lain.”

“Tingkah istri tergantung apa yang dilakukan suami. Kalau suami sudah mulai main serong. Ya, buat apa dihormati. Sampai hamil loh pelakornya. Coba deh kalau Ibu Marni berada di posisiku, atau Mbak Dina.”

“Itu karena kamu yang tidak bisa menjaga suami! Makanya suami memilih yang lain!”

“Saya jadi bingung. Saya yang tidak bisa menjaga suami, atau Jihan yang kegatelan ya?”

Marni dan Dina membelalakkan mata. Bisa-bisanya Septi bertingkah sesantai itu. Yang mereka inginkan Septi tertekan. Tersakiti. Namun, Septi seolah mempunyai penangkal di telinganya. Sehingga ocehan mereka seperti kurang sempurna saja.

“Ini waktunya saya berangkat kerja. Mohon maaf sekali, saya harus pergi.”

Septi berkata dengan sopan. Sempat melirik ke arah penunjuk waktu ditangannya. Kalau meladeni mereka terus-terusan bisa telat dia. Apalagi ada pelatihan dirinya sebagai CEO.

Namun, kedua wanita itu seperti kurang puas. Tujuan mereka memang menekan Septi.  Supaya mempermudah untuk proses perceraiannya, tapi yang ditekan malah terlihat santai. Mereka seperti kecelik.

“Kok masih di sini? Ayo cepat keluar sebelum saya tutup pintu pagarnya. Atau mau kalian saya panggilkan sekuriti kompleks?”

Marni dan Dina berdecak. Lebih baik mereka pergi daripada diseret sekuriti. Akan sangat memalukan. Mereka pun undur diri. Menuju motor matic yang mereka pakai untuk ke sini. Memang enggak ada etika. Pagi-pagi datang ke rumah orang hanya untuk mencaci maki.

“Lihat saja, siapa yang akan tertawa paling akhir.” Septi tersenyum. Lantas masuk ke dalam mobil.

*

“Bagaimana Ma? Mama sudah melabrak Septi?”

Jihan langsung menghujani Marni begitu dia sampai di rumah. Dia baru saja turun dari motor matic sedangkan Dina yang menyetir.

“Septi memang wanita sombong. Dia seperti sudah tidak membutuhkan Wisnu. Istri tak tahu diri seperti itu memang pantas ditinggalkan oleh lelaki.”

Marni masuk ke ruang tamu. Di sana ada Wisnu yang sedang menggunakan sepatunya. Bersiap-siap untuk pergi ke proyek.

“Pokoknya, kamu harus minta kepada Septi harta gono-gini yang banyak. Kalau bisa Septi jangan dikasih sepeserpun.”

Marni berkata kepada Wisnu. Wisnu hanya nyengir. Keluarga Jihan sama sekali tidak tahu bahwa seluruh harta memang milik Septi. Uang Wisnu hanya habis untuk menafkahi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan rumah, Mobil, tetek bengeknya, Septi yang punya. Akan sangat sulit bagi Wisnu untuk memintanya.

“Akan saya usahakan, Ma. Tapi masalahnya, semua itu Septi yang punya.”

“Apa? Jadi kamu tidak punya apapun begitu? Gimana sih kamu? Terus Jihan kebagian apa kalau kamu tidak punya semua itu!”

Wisnu hanya diam. Lebih baik dia jujur sekarang kalau memang dia tidak punya apa-apa. Hanya pekerjaannya yang menjanjikan sekarang.

Namun, mendadak seringai muncul di wajah tua itu. Penuh siasat dan rencana licik.

“Gimana kalau kamu diam-diam. Mencuri surat-surat hak milik Septi? Seperti rumah, mobil, perhiasannya? ”

“Mencuri?”

“Iya, jadi kamu balik ke rumah Septi. Baikan dengan dia.”

“Tapi, Ma. Aku enggak mau kalau Mas Wisnu kembali ke rumah itu.”

Jihan sangat ketakutan. Kalau dia kembali ke rumah Septi. Terus hubungan mereka membaik. Nasib Jihan dan anaknya bagaimana?

“Hanya sebentar saja, Sayang. Untuk mencuri semua barang-barang milik Septi. Setelah itu, kamu gadaikan ke pegadaian. Kita bisa mendapatkan uang cukup banyak dari sana.”

Marni menyeringai. Seolah idenya berlian. Dan Wisnu yang memang tidak punya pendirian. Pasti akan melakukannya.

“Tapi, kita tidak dapat uang yang maksimal kalau ke pegadaian, Ma.”

“Lebih bagus begitu daripada kita tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. Kita bisa menikmatinya. Sedangkan Septi yang akan menjadi mantan istrimu itu pasti menangis bombai. Sedangkan kita bisa bersenang-senang, tanpa ngotot minta jatah harta gono-gini kepada Septi.”

Mendengar perkataan Marni, Jihan dan Dina mengangguk-angguk. Mereka tersenyum. Otak Mamanya memang cerdas. Dan Wisnu sepertinya tidak keberatan melakukan hal itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status