Agra bersalaman dengan Heru—orang suruhan Jefri yang sengaja diutus untuk menggantikan dirinya. Walau agak kecewa dengan Jefri, ia mencoba untuk mereda emosi. Setiap ada janji akan bertemu, Jefri selalu membatalkan atau mengubah jadwal. Seperti kali ini Heru yang datang menggantikan sang bos.
“Pak Jefri sedang mengurus kantor cabang yang bermasalah. Mohon maaf, saya yang menghandel kali ini,” ucap Heru.
“Baik, kita mulai sekarang?” tanya Agra.
Mereka memulai berbincang untuk menentukan bagaimana kerja sama yang akan mereka jalankan. Sejak lama Agra memang mengincar perusahaan Gemilang Emas untuk membuat bisnisnya semakin meningkat.
Keduanya berjabat tangan tanda semua sudah selesai dan Heru sudah menyetujui bekerja sama dengan pihak Agra. Perusahaan peninggalan sang ayah sudah maju lebih pesat setelah Agra memegangnya.
Semua pun tidak lepas dari dukungan Agnia sebagai istri. Namun, kali ini saat ia sukses, Agnia terlempar dari rumah besar itu karena fitnah ibu mertua.
“Gra, langsung pulang apa bagaimana?” tanya Hana—sekertarisnya.
“Aku mau ke pengacara dulu, ada yang mau aku bicarakan tentang Agnia.”
“Loh, memang ada apa dengan kalian?” tanya Hana.
Agra duduk kembali di bangku. Ia menatap sekeliling yang ramai, tapi dirinya merasa hampa. Baru saja sehari ia hidup tanpa Agnia, rasanya bagaikan setahun.
“Dia ada main dengan Gio.”
“Akhirnya kamu tahu juga,” ucap Hana.
Agra tertarik dengan ucapan Agnia. Ia menegakkan tubuh untuk mendengarkan lebih lanjut cerita tentang istrinya.
“Kamu tahu apa?” tanya Agra.
“Ya, selama ini aku diam karena kasihan sama kamu. Ya, semenjak Gio terkenal, sepertinya Agnia suka sama adik iparnya. Kemarin saja aku lihat mereka mesra banget. Ya, mau cerita takut kamu nggak percaya.” Hana tersenyum tipis.
Agra semakin naik pitam mendengarnya. Darahnya mendidih kala mengingat smeua bukti perselingkuhan Agnia. Kurang apa dirinya selama ini pikir Agra. Ia pun mengingat pengorbanannya untuk Agnia.
Pernikahan yang ditentang kedua orang tuanya dan ia merasa menyesal telah mengambil keputusan itu.
“Semoga saja perceraian kamu lebih cepat, ya. Aku kasihan kalau kamu di tusuk dari belakang. Dia seolah-olah lupa, kalau kamu yang menutup aibnya. Kalau kamu nggak menikahi dia, mana bisa anaknya sekolah.” Lagi, senyum Hana begitu lebar.
Agra menarik napas, lalu beranjak menuju mobilnya. Hana mengikuti di belakangnya sembari memainkan ponsel. Tangannya lincah bermain di benda pipih itu sembari tersenyum puas.
[Tan, sepertinya memisahkan Agra dan Agnia berhasil. Agra akan ke pengacara untuk diskusi tentang perceraian mereka]
Ceklis biru terlihat di ponsel milik Hana. Wanita itu kembali mensejajarkan langkah di samping Agra.
***
Jefri dan Agnia terdiam sesaat. Apalagi Agnia masih kikuk dengan apa yang baru saja di ungkapkan Jefri.
Suasana kembali kaku saat Jefri terpaksa membaca CV milik Agnia. Sementara, Agnia hanya bisa menunduk menunggu pria di depannya berbicara.
“Jadi kamu sudah menikah?” tanya Jefri.
Agnia mendongak saat mendengar pertanyaan Jefri.
“Iya.”
Jefri merasa lega saat tahu Agnia sudah berkeluarga. Ia merasa bersalah jika Agnia harus menerima kesusahan setelah apa yang tidak sengaja ia perbuat pada wanita di hadapannya.
“Kamu bisa bekerja mulai hari ini,” ucap Jefri.
“Be—benarkah? Aku sudah bisa bekerja?” tanya Agnia.
“Benar. Benefit akan di jelaskan HRD nanti. Kamu akan mendapat gaji dua kali lipat jika kamu berhasil dalam beberapa tender. Juga bonus 3 kali lipat jika semua bisa kamu handel dengan baik.”
“Aku nggak mimpi? Apa karena sesuatu hal tidak wajar kamu berikan pada saya?”
“Setidaknya aku bisa tidur nyenyak setelah bertemu dengan kamu dan tahu jika kamu hidup dengan baik bersama suamimu. Semua yang aku takutkan tidak terbukti,” tutur Jefri.
“A—apa yang kamu takutkan?” tanya Agnia.
Jefri mendesah, ia beranjak dari tempat duduk dan menatap dinding ruang kerjanya. Suasana kembali hening saat ia mengatakan ketakutannya selama enam tahun berjalan. Selama itu pun, ia terus mencari kabar Agnia.
“Kamu masih begitu muda, aku takut kamu hamil,” ujar Jefri.
Seketika pulpen yang dipegang Agnia terjatuh ke lantai. Hawa dingin di ruang itu tiba-tiba saja terasa panas. Tatapan Agnia membuat Jefri merasa bingung. Pria itu hanya mengatakan kecemasannya, tapi ia berpikir semuanya tidak terbukti.
“Apa kamu bisa tidur nyenyak setelah malam itu?” Bibir Agnia bergetar hebat saat mengatakan pertanyaannya.
Sementara, Jefri kembali tegang ketika netra Agnia berani menatapnya dengan tajam.
***
“Sayang.” Wanita berambut pirang datang dengan wajah semringah.
Tanpa mengetuk lebih dahulu pintu ruangan itu, Bianca langsung saja menghampiri Jefri—kekasihnya.
“Bi, aku sedang ada interview. Tolong ke luar sebentar,” pinta Jefri.
“Biar saya yang ke luar, Pak. Sudah selesai bukan?” tanya Agnia.
Jefri mengangguk saat Agnia pamit ke luar ruangan. Namun, langkah wanita itu terhenti di depan pintu karena sebuah pesan di ponselnya. Agnia cemas saat membaca pesan dari ibunya yang memberi tahu jika Leon sakit. Ia kembali memutar tubuhnya.
“Pak, maaf, saya tidak bisa masuk hari ini karena anak saya panas. Boleh saya mulai besok?” Pertanyaan Agnia membuat Jefri bingung. Pasalnya tidak ada karyawan yang seberani Agnia untuk mengubah keputusan.
Jefri masih bergeming, entah kenapa ia ingin sekali mengantar Agnia pulang. Akan tetapi itu tidak akan mungkin terjadi karena ada Bianca si sampingnya.
“Silakan.”
Agnia menarik napas lega, ia langsung ke luar ruangan dengan cepat. Agnia berharap Leon tidak sakit parah. Ibunya di rumah cemas, nenek dari Leon itu kembali menghubungi Agnia.
“Tunggu, Bu. Aku segera pulang.” Sembari menutup telepon, Agnia gegas memesan ojek online agar lebih cepat sampai rumah.
Agnia begitu cemas, biasanya ada Arga yang ia andalkan untuk mengantar Leon ke rumah sakit. Namun, kali ini ia tidak lupa jika pria itu sudah mentalaknya. Dia tidak akan mau menolong bahkan pria itu pun menyinggung masalah masa lalunya Agnia.
Ia menguap bulir bening di pipi, apalagi mengingat apa yang dikatakan Jefri. Pria itu sudah bahagia pikirnya dengan istrinya. Untuk apa dia tahu tentang bagaimana Agnia menjalani hidup setelah semuanya yang terjadi.
***
Sesampainya di rumah, Agnia langsung menempelkan fever colling untuk Leon. Sebelumnya sang ibu mengatakan jika Leon sudah di beri obat.
Bu Anggun menyiapkan bubur untuk Leon. Sementara itu, Agnia masih duduk sembari menatap sang anak. Ia hampir saja tak kuasa saat melihat Jefri. Wajah keduanya sangat mirip, bagai pinang dibelah dua. Lamunannya membawa Agnia kembali mengingat kala itu.
Agnia terkesiap saat merasa tubuhnya berat karena pelukkan seseorang di belakangnya. Ia kembali tercengang saat melihat tubuhnya hanya tertutup kain selimut putih. Sementara, pria di belakangnya hanya mengenakan celana boxer.
Hantunya berpacu dengan cepat, ia gegas melepaskan tangan kekar Jefri yang melingkar di tubuhnya. Napasnya naik turun saat merasakan nyeri di bagian Miss V nya.
Jefri membuka mata, ia melihat Agnia yang sudah berlinang air mata. Agnia meraba lantai, lalu memungut baju yang berserakan dan memakainya cepat. Jefri yang masih merasa pusing hanya bisa bergeming melihat Agnia yang semakin terisak.
Agnia perlahan mencoba bangkit, lidahnya kelu untuk berbicara. Ia bingung dengan apa yang sedang ia alami. Kepalanya pun masih terasa sakit.
“Ke—kenapa aku bisa ada di sini?” tanya Agnia pada Jefri.
“Kamu lupa, kamu yang agresif malam tadi. Kamu datang ke kamar ini dan kamu dan saya—“
“Cukup!”
Agnia kembali mengingat kejadian malam sebelum ia berada di kamar Jefri. Ia yang tak pernah meminum alkohol harus merasakan minuman itu karena paksaan beberapa teman satu sekolah. Namun, ia mengingat jika ia bersama kekasihnya.
“Saya yang menyelamatkan kamu dari pacar kamu yang berengsek. Dia bersama beberapa teman pria yang lain mau menggilir kamu.”
“Bohong! Bagas nggak seperti itu, kamu bilang mau menyelamatkan saya, tapi apa yang kamu perbuat pada saya, hah?” Agnia berteriak frustrasi.
“Kamu yang memaksa saya, kamu juga membuat adrenalin saya bangkit. Kamu yang mulai semua,” ucap Jefri sembari menyalakan rokok.
Kepulan asap menyembul di kamar itu. Agnia benar-benar hancur, ia tidak tahu harus bagaimana.
“Kamu—“
Jefri mulai memakai bajunya lengkap. Lalu ia mengeluarkan beberapa uang dan kartu nama.
“Ini ongkos untuk kamu pulang dan simpan kartu nama saya jika terjadi sesuatu sama kamu. Temui saya, saya akan bertanggungjawab.”
“Saya bukan pelacur!”
“Saya tahu, tapi semalam kamu sulit dikendalikan.”
Jefri menatap layar ponselnya, setelah itu gegas meninggalkan Agnia yang masih bergeming di tempatnya.
“Ni, ini bubur sudah siap, tolong kamu suapi Leon jika nanti dia bangun.”
Agnia terkesiap, seketika ia sadar dari lamunannya. Gegas ia mengambil mangkok yang berisi bubur itu dan menaruhnya di meja. Leon masih tertidur efek obat yang Bu Anggun berikan.
Agnia mencoba mengetik pesan untuk Agra, tapi ia kembali menghapusnya. Bagaimana pun, sebelum talak terjadi, Agra adalah salah satu orang yang begitu peduli pada Leon.
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]
Pesan sudah terkirim dan terlihat Agra pun sudah membacanya. Namun, tidak ada balasan dari pria itu. Agnia kembali menyandarkan tubuh di sofa, hidupnya kali ini sangat berat.
"Apa dia sudah melupakan Leon? Apa aku harus mengemis dan memohon agar Agra mau datang dan menjenguknya?"
***
Bersambung
Agnia terus memperhatikan Farha yang tersipu saat sedang berbincang dengan Agra. Walau Mereka sedang berkumpul bersama, Agnia masih bisa membedakan saat Farha dan Agra saling tatap. Bukan karena tidak suka dengan hubungan mereka, tapi lebih ke Agra yang baru saja bercerai dengan Hana.“Kamu kenapa?” tanya Jefri sedikit berbisik.“Aku, nggak kenapa-kenapa.” Agnia kembali fokus pada Leon yang sudah tertidur di pangkuannya. Ia memilih pamit untuk menaruh sang anak.Jefri pun mengikuti Agnia karena ada hal yang terlihat tidak baik. Wajah Agnia seperti sedang kebingungan, hal itu membuat sang suami gegas menghampirinya. Ia ingin tahu apa yang mengganggu pikiran Agnia.Setelah menaruh Leon, Agnia kembali beranjak ke luar. Namun, Jefri memintanya untuk tetap di kamar dengannya.“Ada apa?” tanya Agnia heran.“Kamu sedang memikirkan apa?”Walau berusaha menutupi, tapi Jefri sebagai seorang suami
Jefri menghampiri Agnia yang sedang membaca novel, ia duduk di sebelah sang istri. Stelah menidurkan Leon, pria itu gegas menemui Agnia untuk membahas kesalahan yang telah ia buat. Agnia terlihat sangat cantik dengan piyama sutra yang dikenakannya.“Kamu masih marah sama aku?” tanya Jefri.Agnia menutup bukunya, lalu beralih pandang ke sang suami. Ia teringat pesan sang mertua, sebuah kepercayaan adalah kunci dari langgengnya rumah tangga. Terlepas dari masalah yang memang berpatok pada logika.Tatapan sang istri membuat Jefri ketar-ketir, ia takut emosi Agnia belum stabil. Lalu, ia sepertinya mengurungkan niat untuk membahas masalah kemarin.“Mau ke mana?” tanya Agnia.Jefri duduk kembali saat Agnia menahan tangannya. Ia pikir wanita itu masih diam karena marah. Akan tetapi, Agnia sudah menegurnya.“Aku nggak mau ganggu kamu,” ujar Jefri.“Kamu pikir aku masih marah?” Agnia kembali bert
“Sudah papa katakan, jangan pernah gegabah. Buang rasa iba kamu pada wanita itu. Sadarlah, perbuatannya bukan kamu yang harus bertanggungjawab. Itu pilihan dia, jadi untuk apa kamu merasa karena dirimu dia menjadi seperti itu.” Jordi mengomel saat tahu Jefri sengaja datang ke sel untuk menemui Bianca.Jordi pun sudah mendengar gosip yang beredar di kalangan masyarakat tentang isu persekongkolan Jefri dengan Bianca untuk membunuh Remon. Keluarga itu pun sudah bersiap jika ada hal yang membuat nama baik keluarga itu tercemar.Jefri sudah mengaku salah, apalagi rasa ibanya malah menyakiti sang istri. Sebelum terlambat, ia gegas untuk memperbaiki diri.“Lebih baik kau pikirkan perasaan istrimu, jaga hatinya. Bukan malah memikirkan orang yang merusak keluarga.” Lagi, Jordi memberi nasihat pada sang anak.Jefri mengangguk, sebelumnya ia meminta maaf atas kelalaiannya. Pria itu pun berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Jefri kembal
Setelah menerima pesan masuk dari Agnia, Jefri gegas pulang dan menemui sang istri yang mungkin saat ini sedang kacau. Benar dugaannya, Agnia duduk dengan wajah penuh air mata.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Jefri saat menghampiri sang istri.“Kamu bilang tidak ada apa-apa?” Agnia mulai meninggikan suaranya.Jefri langsung memeluk Agnia, tapi sang istri menolaknya. Agnia meminta untuk sang suami jangan mendekatinya. Emosi memuncak saat menerima foto dari orang yang tak dikenalnya.“Untuk apa kamu menemuinya?” Agnia bertanya dengan napas memburu.“Aku hanya sedikit berbicara, tidak ada hal yang bisa membuat aku kembali padanya. Kamu tenang saja, Sayang.” Jefri mencoba menenangkan sang istri.Agnia masih sangat kecewa dengan sang suami karena janji Jefri tak ditepatinya. Pria itu menemui Bianca karena merasa iba dan bersalah. Namun, ia tidak memikirkan hal nanti yang akan diterimanya. Agnia cemburu
Farha menyambut pelukan Agnia, rasanya hanya dua Minggu saja seperti bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Kedua wanita itu kembali tertawa memikirkan betapa lebainya mereka saat ini. Agnia lalu gegas menemui sang anak yang sedang bermain dengan ibunya.Leon berlari dan memeluk sang ibu. Begitu juga Agnia yang menyambut sang anak ke dalam pelukannya. Yang paling dirindukannya adalah anak laki-lakinya yang selalu membuatnya sangat rindu.“Leon nggak kangen sama papa?” Jefri menghampiri sang anak yang berada di pelukan Agnia. Leon pun berpindah dan berada di pelukan sang ayah. Kembali cium sayang membasahi pipi merah anak laki-laki itu.Kepulangan Agnia dan Jefri di sambut bahagia kedua orang tuanya. Oleh-oleh pun sudah disiapkan keduanya untuk orang-orang terkasih. Terutama anak mereka yang sangat dirindukan sepanjang bulan madu.“Jef, Papa mau bicara.” Jordi mengajak sang anak masuk ke ruang kerjanya.Jefri berpamitan pada Ag
Farha belum tenang jika Bianca belum mendapat hukuman yang setimpal. Janda satu anak itu sudah berulang kali mengunjungi penjara dan mendiskusikan masalah pembunuhan sang paman. Belum lagi, ia harus mengurusi beberapa kasus sang adik. Sejak kejadian yang menimpanya, Jefri dan Agnia memutuskan untuk pergi bulan madu ke luar negeri dan menitipkan anak mereka pada kakek dan neneknya.Farha menyeruput milk shake yang ia pesan tadi. Duduk santai di kafe adalah hal yang paling ia suka untuk menghilangkan penat sembari menikmati beberapa makanan kesukaannya.“Bu Farha.”Farha menoleh sesaat kala ia mendengar seseorang memanggil namanya. Wajah wanita itu menjadi semringah melihat Agra datang menyapa.“Hai, kok bisa ketemu di sini?” tanya Farha.“Kebetulan habis diskusi dengan pengacara, suntuk kalau di kantor. Bu Farha sendiri, kok bisa ada di sini, sama siapa?” Agra bertanya sembari memerhatikan sekeliling.Farha
Merasa lelah, Jefri pun langsung tertidur saat sampai di rumah. Ia sama sekali tidak menyapa Agnia yang berada di kamar Leon. Pria itu datang, mandi dan terlelap. Agnia mendengar derap langkah saat seseorang memasuki kamar. Ia yakin itu sang suami, tapi Jefri tidak menghampirinya.Agnia menutup tubuh Leon dengan selimut, kemudian gegas pergi ke kamar untuk melihat suaminya. Pria itu begitu lelap tertidur hingga Agnia tidak mau mengganggunya. Ia duduk di samping ranjang sembari menatap wajah Jefri yang begitu jelas sangat lelah.Jefri bergerak, lalu kembali tertidur. Agnia hendak beranjak dari samping ranjang, tapi ia kembali terduduk dan mencoba mendengarkan sang suami mengingau.“Bi—Bi—Bianca!” Jefri terbangun lalu mengusap wajah. Tanpa sadar, ia langsung menoleh ke arah sang istri.Wanita mana yang tidak sakit hati saat sang suami menyebut nama mantan kekasihnya saat ia tertidur. Dada Agnia begitu sesak hingga ia memilih pe
Jefri terduduk lemas setelah menelepon Farha. Pria itu tidak bisa berbicara banyak karena merasa syok dengan kabar kematian Remon juga penyebab kematiannya. Sang istri menghampiri saat melihat wajah Jefri begitu pucat.“Ada apa?” Agnia bertanya pelan.Lidah pria itu begitu kelu untuk berbicara. Perasaannya bercampur aduk dengan berita tentang pembunuhan pamannya oleh Bianca. Jefri bergeming sejenak saat Agnia terus saja bertanya tentang Farha. Dia takut terjadi sesuatu dengan Farha—kakak iparnya.“Ada apa dengan Ka Farha?” Agnia tak sabar hingga mengguncangkan tubuh sang suami.“Farha nggak apa-apa. Tapi, Om Remon—“ Jefri kembali menjeda ucapannya.“Kenapa dengan Om Remon?”“Dia meninggal tertikam oleh—“Agnia semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Gegas ia merampas ponsel Jefri dan melihat pesan masuk dan berita tentang kematian Remon. Agnia menu
Cukup lama Bianca menunggu karyawan bank itu memeriksa hingga akhirnya memanggil namanya. Bianca menghampiri dengan cepat untuk mengambil beberapa uangnya.“Maaf, Mbak. Untuk dana ini tidak bisa dicairkan karena perusahaan Gading Putra milik Pak Remon sedang pailit. Tidak ada yang bisa ditarik.” Karyawan itu menjelaskan.“Setengahnya saja, Mbak, bisa kan? Coba cek ulang, takutnya Mbak salah.” Bianca terus memaksa karyawan itu kembali meneliti.“Maaf, tidak bisa. Mau berulang kali kamu mengeceknya pun hasilnya akan tetap sama. Cek ini tidak bisa dicairkan.Tubuh Bianca lemas seketika, uang bermiliar-miliar yang dijanjikan Remon hanya kebohongan semata. Ia melangkah goyah setelah kembali mencoba karyawan mengecek ulang. Hasilnya tetap sama, cek itu tidak bisa dicairkan. Habis sudah hidupnya, bayangan ke luar negeri pun kandas begitu saja. Karier yang ia bangun harus hancur karena keegoisannya.Bianca gegas ke kantor Remo