Share

Empat

Agra bersalaman dengan Heru—orang suruhan Jefri yang sengaja diutus untuk menggantikan dirinya. Walau agak kecewa dengan Jefri, ia mencoba untuk mereda emosi. Setiap ada janji akan bertemu, Jefri selalu membatalkan atau mengubah jadwal. Seperti kali ini Heru yang datang menggantikan sang bos.

“Pak Jefri sedang mengurus kantor cabang yang bermasalah. Mohon maaf, saya yang menghandel kali ini,” ucap Heru.

“Baik, kita mulai sekarang?” tanya Agra.

Mereka memulai berbincang untuk menentukan bagaimana kerja sama yang akan mereka jalankan. Sejak lama Agra memang mengincar perusahaan Gemilang Emas untuk membuat bisnisnya semakin meningkat.

Keduanya berjabat tangan tanda semua sudah selesai dan Heru sudah menyetujui bekerja sama dengan pihak Agra. Perusahaan peninggalan sang ayah sudah maju lebih pesat setelah Agra memegangnya.

Semua pun tidak lepas dari dukungan Agnia sebagai istri. Namun, kali ini saat ia sukses, Agnia terlempar dari rumah besar itu karena fitnah ibu mertua.

“Gra, langsung pulang apa bagaimana?” tanya Hana—sekertarisnya.

“Aku mau ke pengacara dulu, ada yang mau aku bicarakan tentang Agnia.”

“Loh, memang ada apa dengan kalian?” tanya Hana.

Agra duduk kembali di bangku. Ia menatap sekeliling yang ramai, tapi dirinya merasa hampa. Baru saja sehari ia hidup tanpa Agnia, rasanya bagaikan setahun.

“Dia ada main dengan Gio.”

“Akhirnya kamu tahu juga,” ucap Hana.

Agra tertarik dengan ucapan Agnia. Ia menegakkan tubuh untuk mendengarkan lebih lanjut cerita tentang istrinya.

“Kamu tahu apa?” tanya Agra.

“Ya, selama ini aku diam karena kasihan sama kamu. Ya, semenjak Gio terkenal, sepertinya Agnia suka sama adik iparnya. Kemarin saja aku lihat mereka mesra banget. Ya, mau cerita takut kamu nggak percaya.” Hana tersenyum tipis.

Agra semakin naik pitam mendengarnya. Darahnya mendidih kala mengingat smeua bukti perselingkuhan Agnia. Kurang apa dirinya selama ini pikir Agra. Ia pun mengingat pengorbanannya untuk Agnia.

Pernikahan yang ditentang kedua orang tuanya dan ia merasa menyesal telah mengambil keputusan itu.

“Semoga saja perceraian kamu lebih cepat, ya. Aku kasihan kalau kamu di tusuk dari belakang. Dia seolah-olah lupa, kalau kamu yang menutup aibnya. Kalau kamu nggak menikahi dia, mana bisa anaknya sekolah.” Lagi, senyum Hana begitu lebar.

Agra menarik napas, lalu beranjak menuju mobilnya. Hana mengikuti di belakangnya sembari memainkan ponsel. Tangannya lincah bermain di benda pipih itu sembari tersenyum puas.

[Tan, sepertinya memisahkan Agra dan Agnia berhasil. Agra akan ke pengacara untuk diskusi tentang perceraian mereka]

Ceklis biru terlihat di ponsel milik Hana. Wanita itu kembali mensejajarkan langkah di samping Agra.

***

Jefri dan Agnia terdiam sesaat. Apalagi Agnia masih kikuk dengan apa yang baru saja di ungkapkan Jefri.

Suasana kembali kaku saat Jefri terpaksa membaca CV milik Agnia. Sementara, Agnia hanya bisa menunduk menunggu pria di depannya berbicara.

“Jadi kamu sudah menikah?” tanya Jefri.

Agnia mendongak saat mendengar pertanyaan Jefri.

“Iya.”

Jefri merasa lega saat tahu Agnia sudah berkeluarga. Ia merasa bersalah jika Agnia harus menerima kesusahan setelah apa yang tidak sengaja ia perbuat pada wanita di hadapannya.

“Kamu bisa bekerja mulai hari ini,” ucap Jefri.

“Be—benarkah? Aku sudah bisa bekerja?” tanya Agnia.

“Benar. Benefit akan di jelaskan HRD nanti. Kamu akan mendapat gaji dua kali lipat jika kamu berhasil dalam beberapa tender. Juga bonus 3 kali lipat jika semua bisa kamu handel dengan baik.”

“Aku nggak mimpi? Apa karena sesuatu hal tidak wajar kamu berikan pada saya?”

“Setidaknya aku bisa tidur nyenyak setelah bertemu dengan kamu dan tahu jika kamu hidup dengan baik bersama suamimu. Semua yang aku takutkan tidak terbukti,” tutur Jefri.

“A—apa yang kamu takutkan?” tanya Agnia.

Jefri mendesah, ia beranjak dari tempat duduk dan menatap dinding ruang kerjanya. Suasana kembali hening saat ia mengatakan ketakutannya selama enam tahun berjalan. Selama itu pun, ia terus mencari kabar Agnia.

“Kamu masih begitu muda, aku takut kamu hamil,” ujar Jefri.

Seketika pulpen yang dipegang Agnia terjatuh ke lantai. Hawa dingin di ruang itu tiba-tiba saja terasa panas. Tatapan Agnia membuat Jefri merasa bingung. Pria itu hanya mengatakan kecemasannya, tapi ia berpikir semuanya tidak terbukti.

“Apa kamu bisa tidur nyenyak setelah malam itu?” Bibir Agnia bergetar hebat saat mengatakan pertanyaannya.

Sementara, Jefri kembali tegang ketika netra Agnia berani menatapnya dengan tajam.

***

“Sayang.” Wanita berambut pirang datang dengan wajah semringah.

Tanpa mengetuk lebih dahulu pintu ruangan itu, Bianca langsung saja menghampiri Jefri—kekasihnya.

“Bi, aku sedang ada interview. Tolong ke luar sebentar,” pinta Jefri.

“Biar saya yang ke luar, Pak. Sudah selesai bukan?” tanya Agnia.

Jefri mengangguk saat Agnia pamit ke luar ruangan. Namun, langkah wanita itu terhenti di depan pintu karena sebuah pesan di ponselnya. Agnia cemas saat membaca pesan dari ibunya yang memberi tahu jika Leon sakit. Ia kembali memutar tubuhnya.

“Pak, maaf, saya tidak bisa masuk hari ini karena anak saya panas. Boleh saya mulai besok?” Pertanyaan Agnia membuat Jefri bingung. Pasalnya tidak ada karyawan yang seberani Agnia untuk mengubah keputusan.

Jefri masih bergeming, entah kenapa ia ingin sekali mengantar Agnia pulang. Akan tetapi itu tidak akan mungkin terjadi karena ada Bianca si sampingnya.

“Silakan.”

Agnia menarik napas lega, ia langsung ke luar ruangan dengan cepat. Agnia berharap Leon tidak sakit parah. Ibunya di rumah cemas, nenek dari Leon itu kembali menghubungi Agnia.

“Tunggu, Bu. Aku segera pulang.” Sembari menutup telepon, Agnia gegas memesan ojek online agar lebih cepat sampai rumah.

Agnia begitu cemas, biasanya ada Arga yang ia andalkan untuk mengantar Leon ke rumah sakit. Namun, kali ini ia tidak lupa jika pria itu sudah mentalaknya. Dia tidak akan mau menolong bahkan pria itu pun menyinggung masalah masa lalunya Agnia.

Ia menguap bulir bening di pipi, apalagi mengingat apa yang dikatakan Jefri. Pria itu sudah bahagia pikirnya dengan istrinya. Untuk apa dia tahu tentang bagaimana Agnia menjalani hidup setelah semuanya yang terjadi.

***

Sesampainya di rumah, Agnia langsung menempelkan fever colling untuk Leon. Sebelumnya sang ibu mengatakan jika Leon sudah di beri obat.

Bu Anggun menyiapkan bubur untuk Leon. Sementara itu, Agnia masih duduk sembari menatap sang anak. Ia hampir saja tak kuasa saat melihat Jefri. Wajah keduanya sangat mirip, bagai pinang dibelah dua. Lamunannya membawa Agnia kembali mengingat kala itu.

Agnia terkesiap saat merasa tubuhnya berat karena pelukkan seseorang di belakangnya. Ia kembali tercengang saat melihat tubuhnya hanya tertutup kain selimut putih. Sementara, pria di belakangnya hanya mengenakan celana boxer.

Hantunya berpacu dengan cepat, ia gegas melepaskan tangan kekar Jefri yang melingkar di tubuhnya. Napasnya naik turun saat merasakan nyeri di bagian Miss V nya.

Jefri membuka mata, ia melihat Agnia yang sudah berlinang air mata. Agnia meraba lantai, lalu memungut baju yang berserakan dan memakainya cepat. Jefri yang masih merasa pusing hanya bisa bergeming melihat Agnia yang semakin terisak.

Agnia perlahan mencoba bangkit, lidahnya kelu untuk berbicara. Ia bingung dengan apa yang sedang ia alami. Kepalanya pun masih terasa sakit.

“Ke—kenapa aku bisa ada di sini?” tanya Agnia pada Jefri.

“Kamu lupa, kamu yang agresif malam tadi. Kamu datang ke kamar ini dan kamu dan saya—“

“Cukup!”

Agnia kembali mengingat kejadian malam sebelum ia berada di kamar Jefri. Ia yang tak pernah meminum alkohol harus merasakan minuman itu karena paksaan beberapa teman satu sekolah. Namun, ia mengingat jika ia bersama kekasihnya.

“Saya yang menyelamatkan kamu dari pacar kamu yang berengsek. Dia bersama beberapa teman pria yang lain mau menggilir kamu.”

“Bohong! Bagas nggak seperti itu, kamu bilang mau menyelamatkan saya, tapi apa yang kamu perbuat pada saya, hah?” Agnia berteriak frustrasi.

“Kamu yang memaksa saya, kamu juga membuat adrenalin saya bangkit. Kamu yang mulai semua,” ucap Jefri sembari menyalakan rokok.

Kepulan asap menyembul di kamar itu. Agnia benar-benar hancur, ia tidak tahu harus bagaimana.

“Kamu—“

Jefri mulai memakai bajunya lengkap. Lalu ia mengeluarkan beberapa uang dan kartu nama.

“Ini ongkos untuk kamu pulang dan simpan kartu nama saya jika terjadi sesuatu sama kamu. Temui saya, saya akan bertanggungjawab.”

“Saya bukan pelacur!”

“Saya tahu, tapi semalam kamu sulit dikendalikan.”

Jefri menatap layar ponselnya, setelah itu gegas meninggalkan Agnia yang masih bergeming di tempatnya.

“Ni, ini bubur sudah siap, tolong kamu suapi Leon jika nanti dia bangun.”

Agnia terkesiap, seketika ia sadar dari lamunannya. Gegas ia mengambil mangkok yang berisi bubur itu dan menaruhnya di meja. Leon masih tertidur efek obat yang Bu Anggun berikan.

Agnia mencoba mengetik pesan untuk Agra, tapi ia kembali menghapusnya. Bagaimana pun, sebelum talak terjadi, Agra adalah salah satu orang yang begitu peduli pada Leon.

[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]

Pesan sudah terkirim dan terlihat Agra pun sudah membacanya. Namun, tidak ada balasan dari pria itu. Agnia kembali menyandarkan tubuh di sofa, hidupnya kali ini sangat berat.

"Apa dia sudah melupakan Leon? Apa aku harus mengemis dan memohon agar Agra mau datang dan menjenguknya?"

***

 Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
irwin rogate
cerita masa lalu yang menyakitkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status