[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]
Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.
Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.
“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.
“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.
“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.
“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.
Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.
“Ibu sudah bicara sama Gio. Memang Agnia yang memulai,” ujar Bu Sukma berbohong.
Kembali tangan Agra mengepal keras. Bu Sukma begitu terkesiap saat tembok itu terhantam kepalan tangan Agra. Darah segar mengalir di jemari pria itu hingga Bu Sukma merasa lemas.
Semakin emosi Agra kembali membanting pintu kamarnya. Sementara, Bu Sukma tersenyum puas dengan apa yang ia lakukan. Membuat Agra semakin membenci Agnia, jika hal itu terus terjadi maka apa yang diinginkannya akan terwujud.
Agra menatap ranjang di mana biasanya kala pulang kerja ia menatap Agnia yang sedang tertidur. Perusahaannya semakin meningkat hingga ia harus sering pulang malam. Namun, kali ini ia merasa hampa.
“Kenapa kamu tega sama aku, Ni. Selama ini aku selalu berusaha menjadi suami yang baik.” Agra bergumam sendiri.
Apa yang ia lihat sudah cukup bukti, apalagi foto yang menunjukkan jika memang benar Agnia dan Gio ada sesuatu. Ia pun sering melihat keduanya saling melempar senyum saat sarapan pagi. Atau saat Gio mengajak membeli jajan untuk Leon.
Bagaimana bisa ia lupa saat ia berjuang untuk Agnia. Namun, hatinya remuk mendengar kenyataan itu.
Agra merogoh kembali ponselnya. Sebuah pesan baru dari Agnia membuatnya sedikit panik.
[Mas, demam Leon semakin tinggi. Tolong turunkan egomu, datang dan temui dia. Dia terus mengigau memanggil namamu]
Ia langsung mematikan ponsel agar tidak membuat hatinya gundah. Ia melemparnya ke ranjang dan beralih masuk ke kamar mandi.
***
“Demam anak saya bagaimana, Dok?” tanya Agnia.
“Sepertinya harus cek lab lebih dahulu agar kita bisa mengetahui sebab demam Leon.” Dokter menjelaskan dengan pelan.
“Baik Dok.”
Agnia mengikuti prosedur Dokter, ia membawa Leon untuk cek laboratorium. Anak laki-laki itu tak henti menangis dan memanggil sang ayah. Agnia dan ibunya merasa kasihan. Berulang kali Agnia mencoba menghubungi Agra dan tak bisa tersambung.
“Leon sama nenek, ya?”
“Papa,” ujar Leon.
Agnia dan ibunya saling pandang. Mereka duduk sembari menunggu hasil laboratorium yang lumayan lama. Leon masih saja rewel, terpaksa Agnia harus menggendongnya.
“Papa, Ma. Papa,” ucap mulut kecil Leon.
“Iya, Papa nanti datang, kok.” Agnia terus membujuk Leon.
Namun, ia semakin menangis. Agnia bingung harus bagaimana membujuk anaknya yang begitu dekat dengan Agra.
“Hai, adik kecil, kenapa nangis?” tanya anak perempuan yang berusia sekitar sembilan tahun.
Agnia tersenyum, Leon pun diam menatap anak perempuan cantik itu. Kulit putih juga wajah yang begitu menggemaskan. Sekilas kulitnya hampir sama dengan Leon
“Kakak,” ucap Leon. Anak itu mulai diam karena melihat ada teman.
“Nama kamu siapa? Ke sini sama siapa?” tanya Agnia.
“Nama aku Chika. Aku ke sini sama Uncle, Tante cantik.” Chika tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapi.
“Chika, sudah uncle bilang jangan jauh-jauh.”
Agnia menatap pria berjas hitam di hadapannya. Suaranya sangat khas dan membuat ia sadar jika pria yang berdiri di hadapannya adalah Jefri.
Keduanya saling pandang, entah apa yang ada di dalam hati keduanya. Apalagi saat Agnia gugup karena tidak sengaja bertemu dengan Jefri saat Leon bersamanya.
“Papa.” Leon menarik-narik baju Jefri.
“I—itu bukan Papa, Nak.” Agnia mencoba tenang, tapi ia masih terlihat gugup. Apalagi ia tak ingin Jefri melihat wajah Leon.
“Anak kamu?” tanya Jefri.
“Iya. Sepertinya aku harus pergi.” Agnia langsung memberi kode pada sang ibu, lalu ia mengambil tasnya.
Jefri tidak mengerti mengapa Agnia begitu takut dirinya ada di tempat itu. Sementara, Chika pun menyayangkan Leon pergi karena dia masih ingin bermain bersama anak itu. Chika menghampiri Farha—kakak Jefri yang baru saja dari toilet.
“Kalian kenapa di sini?” tanya Farha.
“Tadi aku liat dedek lucu, Mom. Ganteng, mirip sama Uncle mukanya,” celoteh Chika.
“Oh, jangan-jangan anak kecil yang tadi bersebelahan lewat di samping momi, kali, ya. Momi kira, ya, momi aja yang mikir kok mirip kamu kecil, Jef,” ujar sang Kakak.
Mendengar hal itu, Jefri gegas mengejar Agnia. Sementara, Farha dan Chika menatap heran melihat Jefri berlari tanpa pamit.
"Agnia!"
***
Bersambung
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
Jefri mencari-cari Agnia, tapi ia kehilangan jejaknya. Sementara, Farha dan Chika ikut mengejarnya dengan napas tersengal-sengal. Sang kakak memukul punggung adiknya karena kesal pergi tanpa pamit dan membuat panik.“Kenapa lari begitu?” tanya Farha kesal.“Tahu Uncle, kaya lagi liat Tante Bianca selingkuh, ya?” Chika asal bicara.“Hus, eh tapi mungkin aja, Ka,” timpal sang mama.Keduanya malah tertawa, sedangkan Jefri tidak mungkin mengatakan jika ia mengejar Agnia dan anaknya. Refleks ia mengejar karena Chika dan Farha mengatakan wajah anak itu mirip dengannya.Jefri mencuil hidung mancung Chika—keponakannya. Sering kali Chika membuat Jefri terkikik karena usia anak itu masih terbilang kecil, tapi jika sudah berbicara maka tak akan pernah berhenti dengan gaya bicara orang dewasa. Seperti kali ini anak itu mengatakan Bianca—kekasihnya berselingkuh.“Kasihan Tante Bianca kamu fitnah, Ka,&
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.&ldqu
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&
Jefri sudah sampai di rumah sakit untuk mencocokkan DNA dirinya dan Leon. Ia melihat dari kaca ibu Anggun tertidur di sofa dan Leon bermain bersama suster Sarah. Niatnya untuk masuk ke dalam ia urungkan karena takut membuat Bu Anggun bertanya-tanya. Ia kembali melangkah meninggalkan ruang inap.Pria berjas itu langsung beranjak ke ruang di mana dirinya akan melakukan tes DNA. Di sana seorang perempuan sudah menunggunya untuk melakukan tes itu.“Saya sudah mendapatkan darah anak itu, tidak banyak, tapi setidaknya bisa untuk mencocokkan dengan Anda,” ujar wanita dengan baju putih itu.“Baik, terima kasih.”“Kebetulan tadi suster mengambil darah Leon untuk kembali menjalankan tes.”Jefri hanya mengangguk dan langsung mengikuti arahan untuk tes kali itu. Ia meringis saat darahnya diambil. Walau sedikit juga ia masih trauma jika melihat darah di mana saja. Sebelum pulang, Jefri kembali melihat kamar Leon. Anak itu ter
Farha kembali menenangkan sang ayah yang murka saat Jefri datang. Pria tua dengan wajah berkerut itu tak segan melempar sang anak dengan gelas plastik yang ada di meja. Sementara, sang ibu pun ikut memisahkan mereka.“Pa, Jefri bukan anak kecil lagi,” ucap Jefri.“Bukan anak kecil tapi nggak nikah-nikah. Sudah Papa bilang, menikah dan beri aku cucu. Jangan berharap pada artis gadungan itu,” ujar Surya.“Pa, dia punya nama. Bianca namanya.” Jefri membela Bianca.Surya tahu sang anak hanya tinggal menunggu Bianca mengatakan iya. Namun, sampai detik yang ditentukan ia belum juga menikah. Jefri tidak mengerti sampai sang ayah marah besar seperti itu.“Kamu tahu, jika kamu tidak memiliki keturunan laki-laki, harta dan kekayaan perusahaan akan jatuh ke tangan Yoga. Apa itu yang kamu mau?” Surya menaikkan suaranya.Jefri seperti anak kecil yang sedang diomeli ayahnya setelah pulang sekolah. Pak Surya
Jefri memarkirkan mobil setelah sampai di apartemen Bianca. Pria berjas hitam itu dengan mudah masuk ke dalam karena ia yang memberikan apartemen itu untuk sang kekasih. Jefri mengabarkan Bianca jika ia sudah tiba.Bianca menghampirinya Jefri, kebetulan juga ia baru saja datang. Tangannya satu menjinjing makanan dan tangan satunya lagi membawa belanjaan.“Belanja lagi?” tanya Jefri. Netranya tidak berpaling dari kedua belanjaan yang ada di tangan Bianca.“Iya, dong, Sayang. Kamu tahu, kan aku model. Jadi, harus banyak stok baju baru,” ungkap Bianca. Bianca termaksud orang yang begitu boros, banyak barang yang selalu ia beli dan jatuhnya jarang di pakaiJefri tak bertanya lagi, ia langsung masuk ke dalam. Ia menghempaskan tubuh di sofa, sedangkan Bianca mengambilkan minum untuknya.“Bi, aku mau bicara,” ucap Jefri.“Aku juga mau bicara sama kamu, Sayang. Kabar baik, pokoknya.”Jefri memai