Matahari sudah terlihat jelas, hawa panas kian menjalar memenuhi ruangan dengan kapasitas beberapa orang. Jefri Ardana—bos besar perusahaan Gemilang Emas melempar map pada beberapa pejabat cabang perusahaan itu.
“Dana besar, tapi AC rusak tidak dibenari. Apa kerja kalian selama ini?” Teriakan Jefri membuat beberapa karyawan hanya bisa menunduk.
Salah satu anak perusahaan PT Gemilang Emas itu sedang tidak baik. Beberapa karyawan tertangkap korupsi. Jefri murka saat mengetahui temuan itu.
“Kalian buat iklan, cari karyawan baru dan tolong cari yang berpengalaman,” titah bos besar itu.
“Baik, Pak.”
Jefri langsung melangkah meninggalkan ruangan panas itu. Ia sampai membuka jas yang menutupi kemeja putihnya. Pria itu marah saat melihat keadaan perusahaan yang hampir bangkrut itu.
Sekretaris Jefri kembali memberikan beberapa jadwal. Salah satunya adalah jadwal bertemu dengan brand ambasador untuk produk mereka. Dia gegas melangkah memasuki mobil mewahnya.
Pria dengan kaca mata hitam itu melirik ke arah jam di tangan. Ia mendesah seperti sedang menunggu sesuatu.
“Apa bisa di batalkan jadwal hari ini?” tanya Jefri.
“Bisa Pak, tapi bertemu dengan Pak Agra sudah dua kali Pak Jefri batalkan,” ucap Sekretarisnya.
“Baik, utus Pak Heri untuk menggantikan saya. Kebetulan saya ada keperluan ke kantor pusat.”
Jefri kembali meminta sopir untuk melanjutkan mobil menuju kantor pusat. Ia melirik jam di tangan lagi, seharusnya ada sebuah pesan masuk dari wanita yang ia tunggu. Namun, sama sekali tidak ada pesan dari Lania—kekasihnya.
Pria dengan kulit putih berhidung mancung itu terkenal sebagai bos yang dingin juga tegas. Apa yang ia katakan, tidak bisa dibantah. Apalagi jika tentang pekerjaan, salah sedikit pun, harus sesuai dengan apa yang ia inginkan.
***
Sementara itu, Agnia sedang menunggu panggilan masuk untuk interview. Setelah sekian bulan ia menunggu kesempatan bekerja di sebuah perusahaan besar ternama akhirnya sedikit lagi terwujud.
Seperti sudah ditakdirkan, saat ia terkena masalah malah rezekinya lancar. Kemarin Agnia sempat berpikir bagaimana ia bisa menghidupi Leon jika gajinya tidak bisa menunjang masa depan Leon? Sedangkan, Agra sudah mentalaknya.
Tuhan memberikan jalan, sebuah email masuk pagi hari dan memintanya datang setelah jam makan siang.
“Agnia, kamu lagi apa?”
Agnia menoleh saat seorang wanita dengan baju sexy menghampirinya.
“Astaga, Sisi, kamu di sini?” Agnia tidak percaya dia bisa bertemu dengan sahabat lamanya.
Sisi teman sekolahnya dulu. Semenjak kelulusan dan kejadian malam kelam itu, mereka tak pernah bertemu lagi. Apalagi Agnia mengurung diri karena malu.
“Eh, kamu belum bilang sedang apa di sini?” tanya Sisi lagi.
“Ada panggilan untuk marketing. Kamu kerja di sini juga?”
“Iya, sudah tiga tahun. Kamu bagian Marketing?”
“Iya.”
Sisi sedikit bergidik karena ia tahu Agnia akan berada di bawah kepemimpinan siapa. Namun, ia tidak mau mematahkan semangat sahabatnya. Sisi pun meminta Agnia menunggunya sepulang kerja nanti untuk minum kopi bareng.
Setelah Sisi pamit, Agnia kembali menunggu panggilan lagi. Netranya tiba-tiba saja tertuju pada sekumpulan pria berjas hitam yang mengikuti satu orang pria berkaca mata dengan postur tubuh sempurna walau terlihat sedikit kaku.
“Pria itu?” Agnia mengerutkan dahi melihat sosok Jefri.
Namun, ia menggeleng. Sepertinya ia salah mengenali orang. Lima tahun tidak ada kabar dan semua itu hanya mimpi buruk baginya.
***
Aina—HRD memberikan daftar CV karyawan yang akan di wawancara hari itu. Namun, Jefri tidak tertarik untuk membacanya.
“Tapi, Pak, harus di baca dahulu,” ujar Aina.
“Saya sedang tidak mood. Sebutkan saja siapa namanya dan tunjukan fotonya,” perintahnya lagi.
“Kandidat pertama bermana Hana, yang kedua bernama Hasni dan yang ketiga Agnia,” jelas Aina.
Jefri bergeming. Ia seperti familiar dengan nama Agnia, lalu ia meminta Aina menunjukkan foto kandidat yang bernama Agnia.
“Ini fotonya.”
Jefri terkesiap saat melihat foto Agnia, gadis yang ia temui enam tahun lalu seingatnya. Ia merampas kasar foto Agnia dan ia kembali memperhatikan apa benar gadis itu benar-benar ada di perusahaannya.
“Suruh dia langsung menemui saya, sekarang.”
Tanpa lama, Aina langsung ke luar untuk memanggil Agnia. Sementara, Jefri kembali memerhatikan foto itu. Jantungnya berdegup tidak karuan saat mendengar derap langkah memasuki ruangan. Pintu terbuka dan Jefri merasakan dadanya seperti terhimpit dan susah bernapas.
Tapat di hadapannya, Agnia pun bergeming saat ia tahu pria di hadapannya adalah Jefri yang pernah ia tahu.
“Aina, silakan kembali ke ruangan. Jika ada sesuatu, saya akan menghubungi kamu,” titah Jefri.
“Baik,” ucap Aina sembari melangkah ke luar.
Untuk beberapa detik mereka tak saling bicara. Agnia merasa seperti kembali pada masa lalu. Pria gagah dan tampan itu kini berdiri di hadapannya. Setelah sekian lama ia mencoba mencarinya, tapi sayangnya semua sia-sia.
“Apa kabar kamu setelah kejadian itu?” Pertanyaan Jefri membuat Agnia tersadar dari lamunannya.
“Apa kabar?” tanya Agnia.
“Iya,” jawab Jefri.
Agnia menarik napas, pria itu kini masih sama seperti dulu. Namun, Agnia tersenyum kecut jika membayangkan kabar dirinya kala itu. Sementara, masa kini dia dengan santai bertanya kabar Agnia setelah malam naas itu.
“Baik. Aku baik, Pak.”
Agnia tidak tahu harus menjawab apa, tidak mungkin ia marah dengan apa yang ia tidak tahu. Kembali ia mengingat pagi itu setelah ia terbangun.
“Temui aku jika ada hal yang kamu butuhkan.” Jefri meninggalkan kartu nama di meja, sedangkan Agnia sama sekali tidak berniat mengambilnya. Ia hanya menatap jendela kamar itu.
“Kamu baik-baik saja?” Jefri menjentikan jari di depan wajah Agnia.
Agnia tersadar saat pria itu sudah berada di hadapannya. Refleks ia pun memundurkan tubuhnya. Entah, nalurinya merasa tidak nyaman dengan tatapan dan gesture tubuh pria itu.
‘Aku tidak baik-baik baik saja setelah malam itu.’ Agnia bergumam dalam hati.
“Apa kamu tidak mencoba mencari aku setelah itu?” tanya Jefri lagi.
“Untuk apa?”
Jefri terdiam, benar ucapan Agnia jika setelah malam itu, mereka sepakat tidak saling mengenal dan melupakan hal yang ia pun tak bisa mengelak.
Begitu juga Agni, memang sesuatu terjadi di luar dugaan. Hidupnya berubah seketika setelah itu. Ayahnya meninggal karena stok dengan keadaan dirinya. Ibunya pun hampir saja membunuhnya jika tidak dicegah oleh keluarganya.
Agnia sempat mencari Jefri, tetapi pria itu sudah terbang ke Jerman untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan ia kehilangan jejak pria itu. Ia bingung apa harus bercerita tentang apa yang dialaminya kala itu?
Lagi pula, untuk apa menunggu orang yang jelas tidak menginginkannya kala itu. Namun, Agnia tidak tahu jika Jefri pun mencarinya sebelum pergi ke luar negeri.
"Untuk menikah dan bertanggung jawab atas apa yang telah aku perbuat."
Agnia mendadak pucat mendengar penuturan pria di hadapannya.
Bersambung
***
Agra bersalaman dengan Heru—orang suruhan Jefri yang sengaja diutus untuk menggantikan dirinya. Walau agak kecewa dengan Jefri, ia mencoba untuk mereda emosi. Setiap ada janji akan bertemu, Jefri selalu membatalkan atau mengubah jadwal. Seperti kali ini Heru yang datang menggantikan sang bos.“Pak Jefri sedang mengurus kantor cabang yang bermasalah. Mohon maaf, saya yang menghandel kali ini,” ucap Heru.“Baik, kita mulai sekarang?” tanya Agra.Mereka memulai berbincang untuk menentukan bagaimana kerja sama yang akan mereka jalankan. Sejak lama Agra memang mengincar perusahaan Gemilang Emas untuk membuat bisnisnya semakin meningkat.Keduanya berjabat tangan tanda semua sudah selesai dan Heru sudah menyetujui bekerja sama dengan pihak Agra. Perusahaan peninggalan sang ayah sudah maju lebih pesat setelah Agra memegangnya.Semua pun tidak lepas dari dukungan Agnia sebagai istri. Namun, kali ini saat ia sukses, Agnia terlem
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
Jefri mencari-cari Agnia, tapi ia kehilangan jejaknya. Sementara, Farha dan Chika ikut mengejarnya dengan napas tersengal-sengal. Sang kakak memukul punggung adiknya karena kesal pergi tanpa pamit dan membuat panik.“Kenapa lari begitu?” tanya Farha kesal.“Tahu Uncle, kaya lagi liat Tante Bianca selingkuh, ya?” Chika asal bicara.“Hus, eh tapi mungkin aja, Ka,” timpal sang mama.Keduanya malah tertawa, sedangkan Jefri tidak mungkin mengatakan jika ia mengejar Agnia dan anaknya. Refleks ia mengejar karena Chika dan Farha mengatakan wajah anak itu mirip dengannya.Jefri mencuil hidung mancung Chika—keponakannya. Sering kali Chika membuat Jefri terkikik karena usia anak itu masih terbilang kecil, tapi jika sudah berbicara maka tak akan pernah berhenti dengan gaya bicara orang dewasa. Seperti kali ini anak itu mengatakan Bianca—kekasihnya berselingkuh.“Kasihan Tante Bianca kamu fitnah, Ka,&
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.&ldqu
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&
Jefri sudah sampai di rumah sakit untuk mencocokkan DNA dirinya dan Leon. Ia melihat dari kaca ibu Anggun tertidur di sofa dan Leon bermain bersama suster Sarah. Niatnya untuk masuk ke dalam ia urungkan karena takut membuat Bu Anggun bertanya-tanya. Ia kembali melangkah meninggalkan ruang inap.Pria berjas itu langsung beranjak ke ruang di mana dirinya akan melakukan tes DNA. Di sana seorang perempuan sudah menunggunya untuk melakukan tes itu.“Saya sudah mendapatkan darah anak itu, tidak banyak, tapi setidaknya bisa untuk mencocokkan dengan Anda,” ujar wanita dengan baju putih itu.“Baik, terima kasih.”“Kebetulan tadi suster mengambil darah Leon untuk kembali menjalankan tes.”Jefri hanya mengangguk dan langsung mengikuti arahan untuk tes kali itu. Ia meringis saat darahnya diambil. Walau sedikit juga ia masih trauma jika melihat darah di mana saja. Sebelum pulang, Jefri kembali melihat kamar Leon. Anak itu ter