Share

Friendzone

Kugerakkan tubuhnya, tetap tak merespon. Hanya ada guncangan dahsyat pada tubuhnya. Aku terdiam. Kalimat yang terlintas dalam kepalaku saat ini hanya satu. Fero menghadapi sakratul maut.Aku menggelengkan kepala, menolak kalimat itu. Tak mungkin Fero meninggalkanku. Karena ia tadi mengucapkan kalimat cinta dan penuh pengertian padaku bukan. Namun, semakin menepis pemikiran itu.

Rasa takut kehilangannya semakin memenuhi setiap sudut ragaku. Mobil ambulans terasa berhenti. Mungkin kami sudah sampai. Pihak petugas medis membuka pintu dan menarik brankar Fero.

Mereka juga membawaku, dan menuntunku. Awalnya, terjadi pertentangan karena mereka ingin membawaku ke ruang pengobatan. Kalau itu terjadi, aku dan Fero akan berpisah. Tidak, kali ini tidak.

Perdebatan itu tak berlangsung lama, karena akhirnya mereka setuju. Aku ikut mendorong brankan Fero menuju ruang Unit Gawat Darurat. Disuruh menunggu di depan pintu. Raut cemas terlukis pada wajahku.Mondar-mandir ke sana kemari bagai setrika, sesekali mengintip melalui pintu kaca ruangan. Berharap bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Sayangnya, itu hanya harapan. Lampu merah terus menyala di atas pintu.

Menggigit kuku hingga bersih pun masih belum bisa membuat waktu berjalan cepat, agar para dokter keluar dan memberitahukan kabar baik padaku. Tuhan, jika memang kau ada. Tolong selamatkan Fero.

Kini aku tak butuh keluarga yang kuharap bisa mengerti. Aku hanya ingin, Fero selamat. Sebab, dia lebih berharga dari pada keluarga yang kutahu. Tak apa jika Engkau tak mengabulkan harapan lain dariku. Namun, aku memohon.

Aku memohon dengan sungguh-sungguh. Selamatkan Fero, dan buat dia kembali. Karena aku ingin berganti posisi, di mana ini giliranku melindunginya. "Nona, tolong jangan mondar-mandir seperti itu, pasien lain akan pusing melihatnya.

"Suara penuh perhatian dari suster mengacaukan lamunanku. Aku langsung menatapnya tajam. 

"Persetan dengan pasien lain! Saya tak peduli mereka mati atau apa! Saya sama sekali tak peduli!" bentakku. Ceklek! Suara pintu terbuka, dan aku kembali menoleh. Kulihat, lampu operasi tetap berwarna merah. Bagaimana bisa? Kenapa mereka keluar. Padahal kan belum selesai?

"Bagaimana keadaannya Dok?" tanyaku mengabaikan si suster, dan memegang bahu Dokter di depanku. Berharap agar ia akan memberikan jawaban sesuai yang kuminta. Tapi, lama waktu berlalu, tak ada jawaban darinya.

Suasana hening terasa hening. "Dok? Operasinya berhasil kan?" lirihku tersenyum, menatap wajah dokter yang masih mengenakan masker dan pakaian operasinya. 

"Maaf Nona ... kami tak bisa. Pasien sedang meregang nyawa saat melakukan perjalanan dari TKP ke rumah sakit." Deg! Kalimat dari dokter meremas bagian terdalam dari lubuk hatiku. Napasku tercekat, dengan pandangan buram dipenuhi kristal bening dengan bentuk cair. Tanganku mengepal, dan bergerak mengayun memukul dada. Berharap bisa menepis semua rasa.

Itu semua tak mungkin benar! Ya, tak mungkin! Fero tak akan pernah meninggalkanku semudah ini. Bertahun-tahun memendam rasa sendirian, penuh luka dan siksaan untuk berjuang agar terus hidup. Kini telah dibalas, dan aku sadar. Sedari awal, aku tak memendam rasa ini sendiri. Fero juga sama.

Ingatan tentang masa-masa sebelumnya ....

Kepala Fero terangkat ke langit, sinar mentari yang berada di samping membuatnya bercahaya dalam pandanganku. Setiap melihat wajahnya, jantungku selalu berdebar tak karuan, seakan ingin loncat. Dulu, selalu bertanya-tanya, perasaan apa ini. Namun secara perlahan, kutahu ini adalah cinta. 

"Lan, kamu tau? Aku suka sama seseorang yang dulu sangat biasa di mataku, namun kini terlihat sangat spesial setiap detik saat bersamanya." Waktu itu, aku mengira kalimat itu, jika dia menyukai orang lain. Dadaku terasa diremas, kepalaku menunduk. Netraku terasa basah.

"Andai suatu saat aku mati, kuberharap bahwa perasaan ini sudah terungkap. Dan dia tau tentang itu. Aku masih belum berani mengungkapkannya. Bahkan, aku merasa tak layak untuk berada di sisinya." 

Aku menoleh, melihatnya memegang dada dan tertunduk, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyuman yang mengibaratkan rasa sedih, senang dan sakit secara bersamaan. Sungguh beruntung orang yang dicintai olehnya. 

Setiap titik sudut ekspresi pada wajahku terasa berat dan penuh rintangan untuk tersenyum. Tapi aku tetap berusaha. Karena ingin menguatkannya, bergantian setelah dia menguatkanku untuk terus hidup dan berjuang. "Aku adalah orang pertama yang mengaminkan do'amu dengan kencang dan sungguh-sungguh!" seruku tersenyum, dengan mata menyipit.

Menyembunyikan perasaan sakit setiap kalimat itu terucap melalui bibirku. "Terima kasih Lan. Sebenarnya ... orang yang aku suka telah mengetahui perasaanku, tapi mungkin tak menyadarinya," balas Fero menolehkan kepala ke arahku dan tersenyum.

Degg! Mungkin dia akan segera menjadi milik orang lain, apa aku harus membuang perasaan ini? Bibirku bergetar. Tanganku menyangga tubuh, dan segera bangkit, lalu berbalik ke arah pintu keluar rooftop satu-satunya. "Eh, udah dulu nih. Aku ... aku mau ke toilet bentar, kebelet pipis!" seruku tanpa melihatnya. 

Langsung berlari membuka pintu, dan menuruni tangga. Brak! Tubuhku langsung terhempas ke lantai. Rasa sakit mendera bagian kepala, dengan sensasi hangat, bersama bau amis mulai tercium pada hidungku. Aku mulai bangkit dengan menyangga tubuh menggunakan tangan. Saat akan berdiri, nyeri luar biasa menyapa pergelangan kaki. Tak ada pilihan lain selain duduk.

Menoleh ke kanan dan kiri, tak ada orang, hening. Tanganku mengepal di atas keramik, sambil menyangga tubuh. Pandanganku kembali berkaca-kaca, seperti biasa, ada apa-apa, aku selalu memikirkan Fero sebagai penyelamat. Tapi, mulai sekarang tak bisa seperti itu. "Seseorang ... tolong aku," lirihku pelan.

Aku ingin menangis. "Lania!" suara teriakan menggema dari atas, aku langsung mendongkak, menyadari siapa empunya suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status