"Fero," gumamku tak bisa menahan bendungan air mata untuk bisa terus bertahan di balik kelopak mata. Aku ingin move on darimu, tapi ini tak akan mudah. Kau selalu muncul di saat aku butuh. Mau itu penyelamat, sahabat, superhero, sekaligus sosok hangat. Seperti ayah dan ibu orang lain.
Sebab, ayah atau ibuku tak akan seperti itu. Ibu telah pergi, sementara ayah terus menyalahkanku akibat masalah lalu. Kemudian kedua kakak yang terus menyalahkanku dan membenciku. Tak ada yang bisa jadi pegangan untukku. Semua menjauh kala aku butuh. Dan tidak pernah mendekat. Kecuali Fero.
Sebuah tangan langsung memeluk pinggang, dan meraih tanganku untuk bergerak memeluk pundaknya. "Kenapa bisa gini? Suaranya sampai kedengaran di atas lho!" serunya menatapku khawatir. Tak bisa kujawab pertanyaannya. Jadi, hanya bisa terdiam.
"Lan? Bertahan, kalau kamu gak bisa jalan aku gendong!" ungkapnya membuatku tersentak. Sontak saja kepalaku menggeleng. Tapi Fero seakan tak peduli. Dalam sekejab, ia membuatku berada dalam gaya bridal style khas pengantin baru. Permukaan wajahku terasa panas.
"Bertahan! Kita ke UKS!" serunya khawatir, berlari ke UKS di lorong-lorong sepi waktu pelajaran. Di mana kami saat ini membolos. Dari bawah, aku melihat ukiran wajah tampan dengan kacamata aksesoris berwarna hitam yang membuatnya terlihat semakin mempesona dan berdamage, setiap kupandang.
"Bagaimana bisa kamu begitu tampan?" lirihku. Kemudian aku tersentak. Kuharap Fero tak mendengarnya sama sekali. Aku tak ingin hubungan kami menjauh hanya karena dia mengetahui bahwa, aku memiliki rasa terhadapnya.
Tak ada respon sedikit pun terhadap kalimatku. Secara diam-diam, napasku terhela dengan panjang secara lirih, mengisyaratkan bahwa ada perasaan lega, kala dia tak mengetahui kalimatku. Bolehkah aku mengungkapkan.
Sebenarnya, aku sangat nyaman berada dalam posisi ini, walau sangatlah memalukan untuk dilihat orang lain. Di saat-saat seperti ini, aku berharap waktu berhenti. Membiarkanku nyaman dalam pelukan sementara di dada bidangnya. Sambil menikmati debaran jantung yang begitu indah untuk kudengar.
Kembali kutatap wajah tampan dengan kacamata itu, angin berembus dan cahaya kembali berpihak. Di antara lorong-lorong, angin mengajak daun yang rontok untuk bersamba mengiringi perjalanan singkat menuju UKS.
Brakk! Suara gebrakan terdengar membuyarkan lamunanku. Ternyata kami sudah sampai, dan mulai masuk ke dalam UKS. Menggeser salah satu tirai putih khas UKS. Fero meletakkanku dengan emm lembut, atau cuman perasaanku?
"Kenapa gak ada orang sih!" kesalnya mengacak rambut. Lalu menatap padaku. "Jangan kemana-mana, di sini aja dulu oke. Aku cari salah satu guru!" pintanya, kemudian berlari keluar dengan cepat, sampai tak bisa kubalas kalimat itu. Apa aku terlihat seperti orang yang bisa jalan?
Mengabaikan kalimat itu, pikiranku mulai tertuju pada adegan di mana jatuh dari tangga. Sebuah luka bisa membuatnya bertingkah romantis. Apa aku harus banyak terluka untuk mendapatkan perhatian lebih darinya?
Tidak-tidak! Kepalaku menggeleng tidak setuju dengan pemikiranku barusan. Apakah akal sehatku tertinggal saat jatuh di tangga? Tentu aku tak boleh berpikir seperti itu. Itu bukan cinta, tapi obsesi. Karena yang kutahu, cinta itu tulus tak mengharapkan apa-apa.
"Cepetan dikit coba! Lihat! Ada teman saya terluka, tapi UKS gak ada orang!" suara Fero membutku mengalihkan perhatian. Hatiku kembali hancur, saat ia mengatakan kalimat teman. Ternyata kami hanya sebatas teman.
Mengingat masa lalu yang terkenang dalam ingatan, bolehkah aku teriak menyesal, karena waktu itu sama sekali tak terpikirkan bahwa gadis yang dia maksud adalah aku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
Mendorong dokter, dan masuk ke dalam ruang operasi. Duniaku terasa semakin hancur dan tak lagi hidup seperti sebelumnya, ketika dia masih tertawa, curhat, senyum dan menarik tanganku untuk berkeliling taman.
Bergerak meraih tangan pucat dari tubuh yang tak lagi bernyawa. Bulir cairan bening luluh lantak menyusuri setiap jengkal pipi mulus. "Bangun!" pintaku pelan, walau kutahu bahwa dia tak akan lagi bangun.
Suara tangis perlahan menggema di dalam ruangan. Suara itu berasal dari diriku sendiri yang tak menerima kenyataan bahwa Fero telah pergi. Berkali-kali kuguncang bahunya. Fero tak bangun ataupun merespons permintaanku.
Bergerak menyusuri kulit pipi putih pucat yang masih bisa terlihat tampan, walau sudah tak bernyawa. Kakiku bergetar tak kuat berdiri di depannya. Mengulurkan tangan yang lain untuk menangkup pipinya secara bersamaan.
Kubiarkan kening kami mendekat satu sama lain. "Fero ... bangun, jangan tidur seperti ini dan membuatku takut. Di mana janjimu yang pernah kamu ucapkan? Bangun dan bertahanlah di sisiku. Kulit putih pucat yang terasa dingin ini menyebarkan hawanya, hingga aku merasa duniaku redup tanpa ada kamu sebagai cahayanya," ungkapku dengan nada begitu lirih.
Ibu jari bergerak menelusuri kedua sudut bibirnya, pandanganku terfokus pada bagian benda kenyal itu. Perlahan memberanikan diri untuk melumatnya. Kering, dingin dan kaku. Ini tak seperti bibirnya.
Sebelumnya terlihat begitu lembut dan penuh pesona, hingga setiap saat harus menahan diri untuk tidak menciumnya. Bayangan-bayangan masa lalu muncul. "Bangunlah Fero, katakan sekali lagi, bahwa kau benar-benar mencintaiku!" pintaku setelah melepaskan tautan bibir satu pihak.
Benar-benar tak ada respons. Seluruh bagian tubuhku bergetar, dengan kepala perlahan mendongkak menatap langit. "Apa sekarang kau puas Tuhan? Telah merebut seseorang yang menjadi cahaya satu-satunya dalam hidupku ... apa yang bisa aku lakukan sekarang ... aku ingin mati," lirihku mengepalkan tangan.
Kata-kata itu terucap, tapi kemudian aku tak tahu harus apa, aku hanya bisa menyalahkan-Nya atas segala sesuatu yang pergi dari sisiku. Aku selalu, dan terus bertanya bagaimana bisa dia melukiskan takdirku di atas lembaran buku takdir dengan begitu kejam.
Kebahagiaan itu ada. Namun hanya menjadi beberapa paragraf, kemudian diteruskan oleh kejamnya dunia. Di mana aku kembali bertahan, berdiri dan meringkuk di bawah sunyinya malam.
Semua orang menyukai bulan, karena sinarnya begitu indah, tapi tidak denganku. Aku membenci bulan, sinarnya seakan menertawakanku dalam kesunyian malam, tanpa ada yang mau meraih atau menghangatkan hati.
"Nona ... maaf, tapi sebentar lagi kami harus membawanya ke kamar mayat." Tubuhku tersentak, menengok ke arah dokter yang baru saja menyadarkanku atas lamunan penuh kebencian dan kesepian.
Aku menggeleng tidak terima. "Jangan," pintaku lirih, saat dokter ini mencoba melepaskan alat yang mendeteksi detak jantung. Masih tak bisa kuterima bahwa Fero telah tiada. "Jangan bawa dia," sambungku pelan.
Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe
Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say
"Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m
Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j
Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si
"Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang