Share

Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster
Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster
Penulis: Cahaya_Perak

Hancur

Lania Herbert POVS

"Selamat tinggal Lania, terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Aku malu mengungkapkannya, tapi ... aku mencintaimu!" kalimat yang aku tunggu agar bisa terucap dari bibir pria yang menjadi cahaya hidupku ini telah terwujud.Terpaku tanpa bisa berucap.

 Mendengar kalimat itu, hatiku serasa digelitiki ribuan kupu-kupu, siapa yang tak bahagia, saat kalimat seperti itu terucap dari seseorang yang disukai? Semua terasa bagai mimpi. Seperti kesadaran kembali. Aku membalas; "Fer, a ..." belum sempat terucap, kedua tangannya langsung mendorong tubuhku ke pinggir jalan. 

Jariku berusaha menggapainya. Tapi tak bisa! Tanganku terlalu pendek!Hanya ada satu pertanyaan di benakku. Kenapa dia melakukannya? Begitu melihat ekspresinya. Matanya menyipit, dengan sudut mata dipenuhi cairan bening yang siap untuk mengalir. 

Tangannya melambai, seakan mengucapkan perpisahan.Tunggu?! Perpisahan? Aku kembali teringat ucapannya tadi. Selamat tinggal. Waktu terasa berhenti dan lambat. Namun kembali berlalu dengan cepat. Sangat-sangat cepat. Hingga aku tak sadar.Tiada waktu berlalu lama.

 Suara klakson mobil terdengar. kemudian, menghempas tubuhnya dengan satu kedipan mata. Mataku terbelalak. Tubuhku tak mampu merespon, bahkan untuk bergerak saja tak bisa. 

Sepercik rasa ngilu dan sakit merayap masuk memenuhi sudut hati. Teriakan orang-orang di sekitar mulai membuatku sadar. Melihat ke arah sekeliling. Banyak orang mengerumuniku. Aku sadar, jika saat ini sedang terbaring di pinggir jalan akibat dorongannya. 

Mataku kembali membola dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca. Pikiranku saat ini hanya ada satu. Fero! "Nak? Apa kamu tak apa?" Pertanyaan demi pertanyaan tak aku pedulikan. Tubuhku berusaha bangkit. "Fero!" seruku pelan. Tubuhku sakit. Tapi ini belum seberapa dengan apa yang Faro alami! Tuhan, jika kau ada, kabulkanlah harapanku.

Aku rela tersiksa di bawah tekananmu, aku rela menjalani takdir penuh darah darimu. Tapi jangan ambil Fero dariku! Kumohon! Hanya itu. Begitu aku bangkit dan berdiri dengan kedua kaki. Aku mulai melangkah.

Rasanya begitu berat untuk berdiri. Kedua tanganku memegang mulut. Sesak dan hancur, tubuhnya dipenuhi cairan kental merah, matanya meringis seakan menahan rasa sakit luar biasa. 

Langsung saja aku berlari mendekat dan duduk, sembari memangku kepalanya dengan rasa sesak. "Ni–a, ma–af a–ku tak bi–sa men–jadi cahaya la–gi untuk–mu," ungkapnya terbata-bata, mengulurkan tangan menyentuh wajahku.

Kuraih tangan itu dan menempelkannya pada pipi, menggerakkannya agar bisa mengelus. Perlahan, air mataku turun. "Jangan berkata seperti itu Fero, kamu ... kamu pasti bisa bertahan, harusnya ... harusnya aku yang berada di posisimu saat ini," sesalku menggenggam tangannya yang mengelus pipiku.

Kepala Fero bergerak menggeleng perlahan, tanda bahwa dia tak setuju dengan ungkapanku. "Ja–ngan ber–kata seper–ti i–tu, a–ku ba–hagia tak me–lihatmu ter–siksa rasa sakit ini," lirihnya disertai batuk darah.

Bukannya lega, kalimat seperti itu membuat hati, jiwa dan ragaku hancur di saat yang bersamaan. Apa hidup memang selalu seperti ini? Berkorban dan berkorban, namun akhirnya tak mendapatkan apa-apa.

Andai dunia memang adil, seperti yang banyak orang katakan. Kenapa itu tak berlaku pada kami. Kudekatkan wajah kami, hingga hidung saling bersentuhan, dan rambutku menjuntai, seakan membentuk tirai.

Bau amis, dan sakit dari luka tak lagi kupedulikan. "Fero, kamu harus selamat, oke. Tadi ... kamu bilang cinta padaku bukan. Jika iya, maka buktikan Fero. Bertahan, kita belum pernah melakukan kencan secara resmi. Lalu, kamu ingin pergi begitu saja? Seperti tak pernah terjadi apa-apa?" lirihku diiringi air mata.

Hancur sudah pertahananku. Rasa ini tak lagi bisa dibendung oleh kalimat seperti apa pun. Fero terdiam, tapi ia tetap menatapku penuh cinta dan sayang. Kenapa saat diungkapkan, ini menjadi pertemuan terakhir.

"Ni–a, cin–ta itu tak ha–nya pem–buktian atau ucapan, ta–pi ketulusan. A–ku me–nyelamatkan–mu tu–lus dari lu–buk hati terdalam." 

Tak bisa kubalas kalimat itu. Di waktu bersamaan, sosoknya berhasil membuatku senang, takut dan khawatir yang tak pernah kurasakan di saat bersamaan. Seberapa kerasnya hidupku, rasa sakit yang lalu tak pernah dalam seperti luka saat ini.

Suara Ambulans menggema, para penonton menyingkir. Beberapa petugas dengan seragamnya datang, membawaku dan Fero ke dalam mobil mereka, dan langsung menuju rumah sakit. Selama perjalanan.

Genggaman tangan hangatnya tak pernah kulepaskan, aku ingin memberitahunya, di saat-saat seperti ini, tak akan pernah aku menjauh dari sisinya. Jika Fero melindungi, maka akulah yang akan menemani.

Tak perlu ada janji sakral yang perlu terucap, hanya dengan bersama seperti ini. Aku sangat berharap, bila waktu berhenti, dan membuat perasaan ini jadi abadi dalam kenangan bahagia. Lama-kelamaan. Tubuh Fero menggelinjang, dengan mata membola.

Aku langsung panik, dan mendekat ke tubuhnya, tanpa melepaskan genggaman tangnnya yang bergetar. "Fero?" panggilku. Tak ada respon. Kucoba memanggilnya sekali lagi. Tapi tetap tak ada respon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status