Share

Hunter 2

iba-tiba, entah dari mana, ada partikel-partikel kecil berwarna emas terbang di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika melihat partikel-partikel itu. Sudut hatiku terasa berdenyut kencang dan sedih.

Bersinar begitu kecil dengan dampak luar biasa, sama seperti Fero. Dia bagai pelita yang terus menerangi tanpa henti. Entah bagaimana harus aku deskripsikan laki-laki tampan pujaan hati itu. Di mata dan hatiku, dia akan terus menerus bersinar tanpa henti. 

Aku lalu teringat pada Angklung berjenis Pentatonis yang dia berikan tadi. Kalau tak salah ingat, ada dua jenis Angklung jika dibedakan dari nadanya. 

Pertama adalah jenis Angklung Pentatonis yang terdiri dari dua bambu di bagian dalamnya. Kedua, jenis Angklung Diatonis yang terdiri dari tiga bambu. Senyumku kemudian merekah, dan menoleh ke arah Fero berbaring. 

"Fe–ro?" panggilku dengan kening mengernyit sarat akan tanda tanya. Tak ada seorang pun di bekasnya dia berbaring tadi. Bangkit dari posisi rebahan. Aku berteriak ; "Fero ... Feroo! Di mana kamu?" 

Lama berteriak bertanya dan bertanya, tapi hanya ada keheningan tak ada jawaban. Walau itu hanya sekedar deheman untuk menjawab, kalau dia masih berada di dekat sini. 

Terdiam dengan kedua tangan mengepal, sambil melirik ke sana ke mari, mencari sosoknya di setiap sudut mata memandang. Namun tetap saja, aku tak melihat sedikitpun dari tanda-tanda keberadaannya. Kecuali Angklung yang dia tinggalkan.

Aku menoleh ke arah tempat Fero berbaring tadi, dan menyadari sesuatu. Di mana, aku menemukan keberadaan sebuah partikel debu yang bersinar, juga lembar kertas dengan tema love.

Isi kepalaku langsung menyimpulkan sesuatu hanya dengan apa yang ada di depan mata. Butiran cahaya ini mirip seperti yang tadi terbang ke langit. Aku mulai meraih kertas itu, dan membacanya ; "Ada beberapa takdir yang tak mampu untuk diubah seorang manusia, yaitu kematian dan pasangan. Lania, aku tau. Kamu membaca surat ini dengan cairan bening yang mulai berlinang di sudut mata ..." aku menjeda kalimatnya, ketika membaca surat ini. 

"Aku meninggalkan surat ini bersama dengan Angklung yang pernah kita mainkan. Jangan bertanya kapan surat ini ditulis, itu rahasia. Aku ingin kamu mengetahui satu hal. Angklung ini bukanlah alat musik tradisional biasa, tetapi sebuah alat musik istimewa yang akan membantu kehidupanmu di tubuh baru ..." sambungku kembali menjeda.

Seperti apa yang dia katakan dalam surat, sudut kelopak mataku mulai dipenuhi cairan bening. Aku mengusap kedua sudut mata, dan kembali membaca kertas di tangan dengan suara. 

"Jangan bertanya kapan aku bisa tahu hal itu. Satu hal dari jawaban yang pasti. Aku selalu memperhatikanmu dari sudut Surga. Ke depannya, sebisa mungkin akan kuluangkan waktu untuk kita bertemu lagi dalam alam bawah sadar seperti ini ...."

Netraku langsung berbinar membaca kalimat terakhir di surat. Air mataku menitik ke surat. Rasanya tak mampu lagi untuk membaca kalimat selanjutnya, yang dia tinggalkan dalam tulisan ini. Namun, mau bagaimanapun. Rasa penasaran mengalahkan ketidakmampuan itu.

"Hehehehe, kamu pasti tidak bisa melanjutkan untuk membaca suratku ini bukan? Tapi pada akhirnya, kamu tetap akan membaca lanjutannya. Kalau aku benar, berarti kamu tak berubah sama sekali, setelah ini, pasti tebakan yang selanjutnya akan benar-benar mengejutkanmu."

Aku kembali terdiam tanpa bisa berucap. Dia menebak dengan benar apa yang kulakukan selanjutnya. Semua pertahanan yang sebelumnya dibangun hancur, kala membaca pesan dalam kertas ini.

Setiap kalimatnya, setiap paragrafnya. Semuanya membuatku merasa seperti dia ada di sini, dan selalu memperhatikan dari tempat yang dia katakan di sana. 

"Sudah kuduga, kau tak akan bisa melanjutkan bacaan suratku, setelah berhasil ditebak. Ini adalah rekaman suara dalam surat, seperti yang kubilang tadi. Jangan mempertanyakan bagaimana bisa. Satu hal terakhir yang ingin kusampaikan, jangan menyerah untuk hidup!" 

Di saat aku sedang mengusap air mata, menguatkan diri untuk tidak menangis. Suara dari Fero kemudian terdengar, itu persis seperti kalimat dari surat sebelumnya, dia benar-benar mengejutkanku. Bersamaan dengan surat yang berubah menjadi debu dari atas ke bawah secara perlahan. 

Ketika sampai di kalimat terakhir, yang berkata ; "Jangan menyerah untuk hidup!" surat yang seperti terbuat dari kertas kuno ini langsung berubah jadi abu sepenuhnya. Kedua kakiku terasa lemas, dan aku kembali terduduk dalam posisi tak berdaya.

Kini, hanya ada abu bekas surat tadi di dalam genggamanku. Fero telah memperhatikanku selama itu. Namun aku tak ada rasa peka, dan berfirasat kalau dia memiliki perempuan lain yang disukai. 

Mengapa aku begitu bodoh, rasanya ingin mengutuk semua rasa ketidakpekaan dalam diriku, setiap melihat kebodohan di masa lalu. Andai ... andai bisa peka waktu itu, mungkin kami memiliki lebih banyak kenangan yang bahagia.

Klenggg! Suara Angklung nomor enam dengan nada La itu mulai bergerak, dan menciptakan suara khas yang mampu membuat bulu kuduk para pendengarnya meremang. 

Tak hanya di nomor enam saja yang bergerak. Secara perlahan, nada-nada dari nomor lain juga ikut berayun membentuk sebuah intonasi yang begitu familiar dalam ingatan. 

Mataku semakin terpejam dengan sel neutron yang berusaha mengingat melodi ini. Menarik napas dalam, seketika, sebuah jawaban langsung melintas dalam benakku.

"Be Happy With A Problem!" gumamku membuka mata dan tersenyum, sambil mengucapkan nama lagu asal-asalan yang pernah dibuat bersama Fero sebelumnya. 

Tak salah lagi, alat musik tradisional ini benar-benar bermain dengan melodi lagu kami. Namun, aku kembali terdiam ketika mengingat sebuah hal yang Fero tinggalkan dalam kalimat di surat tadi ; "Kehidupan di tubuh baru?" gumamku bertanya-tanya.

Angklung-angklung ini berhenti bermain. Namun kemudian, sebuah lubang hitam muncul di dekat alat musik tradisional Jawa Barat itu, dan menghisap tubuhku juga Angklung dalam sekejab, tanpa diberi waktu untuk bertahan. 

Terkejut dan tak bisa bergerak, seperti ada yang mengikat. Pandanganku semuanya terlihat gelap. Aku teringat pada Angklung yang terhisap dalam lubang hitam. 

Aku harus mencari Angklung itu! Bukankah sebelumnya aku sudah berjanji akan menjaga kenangan dalam bentuk alat musik itu dengan baik? Tapi belum berapa lama terpisah dari Fero, Angklung itu sudah tak ada lagi kabarnya.

Sial-sial-sial! Aku memang selalu kehilangan sesuatu yang sudah menjadi milikku. Sangat mudah untuk kehilangan. Namun, sangat sulit untuk ditemukan. 

[Notifikasi! Memverifikasi Hunter ....]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status