iba-tiba, entah dari mana, ada partikel-partikel kecil berwarna emas terbang di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika melihat partikel-partikel itu. Sudut hatiku terasa berdenyut kencang dan sedih.
Bersinar begitu kecil dengan dampak luar biasa, sama seperti Fero. Dia bagai pelita yang terus menerangi tanpa henti. Entah bagaimana harus aku deskripsikan laki-laki tampan pujaan hati itu. Di mata dan hatiku, dia akan terus menerus bersinar tanpa henti.
Aku lalu teringat pada Angklung berjenis Pentatonis yang dia berikan tadi. Kalau tak salah ingat, ada dua jenis Angklung jika dibedakan dari nadanya.
Pertama adalah jenis Angklung Pentatonis yang terdiri dari dua bambu di bagian dalamnya. Kedua, jenis Angklung Diatonis yang terdiri dari tiga bambu. Senyumku kemudian merekah, dan menoleh ke arah Fero berbaring.
"Fe–ro?" panggilku dengan kening mengernyit sarat akan tanda tanya. Tak ada seorang pun di bekasnya dia berbaring tadi. Bangkit dari posisi rebahan. Aku berteriak ; "Fero ... Feroo! Di mana kamu?"
Lama berteriak bertanya dan bertanya, tapi hanya ada keheningan tak ada jawaban. Walau itu hanya sekedar deheman untuk menjawab, kalau dia masih berada di dekat sini.
Terdiam dengan kedua tangan mengepal, sambil melirik ke sana ke mari, mencari sosoknya di setiap sudut mata memandang. Namun tetap saja, aku tak melihat sedikitpun dari tanda-tanda keberadaannya. Kecuali Angklung yang dia tinggalkan.
Aku menoleh ke arah tempat Fero berbaring tadi, dan menyadari sesuatu. Di mana, aku menemukan keberadaan sebuah partikel debu yang bersinar, juga lembar kertas dengan tema love.
Isi kepalaku langsung menyimpulkan sesuatu hanya dengan apa yang ada di depan mata. Butiran cahaya ini mirip seperti yang tadi terbang ke langit. Aku mulai meraih kertas itu, dan membacanya ; "Ada beberapa takdir yang tak mampu untuk diubah seorang manusia, yaitu kematian dan pasangan. Lania, aku tau. Kamu membaca surat ini dengan cairan bening yang mulai berlinang di sudut mata ..." aku menjeda kalimatnya, ketika membaca surat ini.
"Aku meninggalkan surat ini bersama dengan Angklung yang pernah kita mainkan. Jangan bertanya kapan surat ini ditulis, itu rahasia. Aku ingin kamu mengetahui satu hal. Angklung ini bukanlah alat musik tradisional biasa, tetapi sebuah alat musik istimewa yang akan membantu kehidupanmu di tubuh baru ..." sambungku kembali menjeda.
Seperti apa yang dia katakan dalam surat, sudut kelopak mataku mulai dipenuhi cairan bening. Aku mengusap kedua sudut mata, dan kembali membaca kertas di tangan dengan suara.
"Jangan bertanya kapan aku bisa tahu hal itu. Satu hal dari jawaban yang pasti. Aku selalu memperhatikanmu dari sudut Surga. Ke depannya, sebisa mungkin akan kuluangkan waktu untuk kita bertemu lagi dalam alam bawah sadar seperti ini ...."
Netraku langsung berbinar membaca kalimat terakhir di surat. Air mataku menitik ke surat. Rasanya tak mampu lagi untuk membaca kalimat selanjutnya, yang dia tinggalkan dalam tulisan ini. Namun, mau bagaimanapun. Rasa penasaran mengalahkan ketidakmampuan itu.
"Hehehehe, kamu pasti tidak bisa melanjutkan untuk membaca suratku ini bukan? Tapi pada akhirnya, kamu tetap akan membaca lanjutannya. Kalau aku benar, berarti kamu tak berubah sama sekali, setelah ini, pasti tebakan yang selanjutnya akan benar-benar mengejutkanmu."
Aku kembali terdiam tanpa bisa berucap. Dia menebak dengan benar apa yang kulakukan selanjutnya. Semua pertahanan yang sebelumnya dibangun hancur, kala membaca pesan dalam kertas ini.
Setiap kalimatnya, setiap paragrafnya. Semuanya membuatku merasa seperti dia ada di sini, dan selalu memperhatikan dari tempat yang dia katakan di sana.
"Sudah kuduga, kau tak akan bisa melanjutkan bacaan suratku, setelah berhasil ditebak. Ini adalah rekaman suara dalam surat, seperti yang kubilang tadi. Jangan mempertanyakan bagaimana bisa. Satu hal terakhir yang ingin kusampaikan, jangan menyerah untuk hidup!"
Di saat aku sedang mengusap air mata, menguatkan diri untuk tidak menangis. Suara dari Fero kemudian terdengar, itu persis seperti kalimat dari surat sebelumnya, dia benar-benar mengejutkanku. Bersamaan dengan surat yang berubah menjadi debu dari atas ke bawah secara perlahan.
Ketika sampai di kalimat terakhir, yang berkata ; "Jangan menyerah untuk hidup!" surat yang seperti terbuat dari kertas kuno ini langsung berubah jadi abu sepenuhnya. Kedua kakiku terasa lemas, dan aku kembali terduduk dalam posisi tak berdaya.
Kini, hanya ada abu bekas surat tadi di dalam genggamanku. Fero telah memperhatikanku selama itu. Namun aku tak ada rasa peka, dan berfirasat kalau dia memiliki perempuan lain yang disukai.
Mengapa aku begitu bodoh, rasanya ingin mengutuk semua rasa ketidakpekaan dalam diriku, setiap melihat kebodohan di masa lalu. Andai ... andai bisa peka waktu itu, mungkin kami memiliki lebih banyak kenangan yang bahagia.
Klenggg! Suara Angklung nomor enam dengan nada La itu mulai bergerak, dan menciptakan suara khas yang mampu membuat bulu kuduk para pendengarnya meremang.
Tak hanya di nomor enam saja yang bergerak. Secara perlahan, nada-nada dari nomor lain juga ikut berayun membentuk sebuah intonasi yang begitu familiar dalam ingatan.
Mataku semakin terpejam dengan sel neutron yang berusaha mengingat melodi ini. Menarik napas dalam, seketika, sebuah jawaban langsung melintas dalam benakku.
"Be Happy With A Problem!" gumamku membuka mata dan tersenyum, sambil mengucapkan nama lagu asal-asalan yang pernah dibuat bersama Fero sebelumnya.
Tak salah lagi, alat musik tradisional ini benar-benar bermain dengan melodi lagu kami. Namun, aku kembali terdiam ketika mengingat sebuah hal yang Fero tinggalkan dalam kalimat di surat tadi ; "Kehidupan di tubuh baru?" gumamku bertanya-tanya.
Angklung-angklung ini berhenti bermain. Namun kemudian, sebuah lubang hitam muncul di dekat alat musik tradisional Jawa Barat itu, dan menghisap tubuhku juga Angklung dalam sekejab, tanpa diberi waktu untuk bertahan.
Terkejut dan tak bisa bergerak, seperti ada yang mengikat. Pandanganku semuanya terlihat gelap. Aku teringat pada Angklung yang terhisap dalam lubang hitam.
Aku harus mencari Angklung itu! Bukankah sebelumnya aku sudah berjanji akan menjaga kenangan dalam bentuk alat musik itu dengan baik? Tapi belum berapa lama terpisah dari Fero, Angklung itu sudah tak ada lagi kabarnya.
Sial-sial-sial! Aku memang selalu kehilangan sesuatu yang sudah menjadi milikku. Sangat mudah untuk kehilangan. Namun, sangat sulit untuk ditemukan.
[Notifikasi! Memverifikasi Hunter ....]
Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe
Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say
"Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m
Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j
Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si
"Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang