Share

Hunter

Author: Cahaya_Perak
last update Huling Na-update: 2022-05-30 18:27:19

Secara refleks, aku langsung menjawab panggilan itu dengan memiringkan kepala, dan menatap wajahnya. 

Fero terlihat sangat serius. Alisku terangkat sebelah. Suasana yang tadi hening, diisi oleh keseriusan yang terasa hangat. "Kamu ingat permainan Angklung yang pernah kita mainkan sama-sama waktu kelas 2 SMA?" tanyanya.

Langsung saja aku mengangguk dengan senyum. "Aku tak akan pernah melupakan momen-momen itu," balasku menyembunyikan rasa gugup setiap melihat wajah tampan itu. Fero tersenyum, ujung telinganya memerah.

Memang wajahnya tidak memerah, tapi ujung telinganya benar-benar memerah. Itu sebagai tanda, kalau dia malu. Sosok Fero memang hangat, tapi dia sangat susah ditebak. Namun, walau seperti itu, aku tetap mengetahui beberapa tingkahnya dengan respons dari gerakan yang sangat kuhafal sekali. 

Suasana terasa sangat canggung, tapi tetap ada sensasi hangat yang bisa terasa di sudut hati. "Aku gak tau harus bilang apa ... tapi aku ingin memberikan sesuatu." Fero kembali berbicara dengan nada serius menatapku.

"Apa itu?" tanyaku sangat berharap akan pemberiannya, tak perlu mahal-mahal. Semua dari Fero sangat berharga, dan tidak akan aku lupakan. 

"Aku ingin memberimu Angklung yang pernah kita mainkan ini." Fero mengulurkan tangannya ke depan, sambil memejamkan kedua mata. Entah dari mana, ada udara yang terlihat memadat di tangannya. Boom! Ledakan kecil terdengar, siluet delapan Angklung dengan jenis Pentatonis mulai terlihat di tangannya.

Aku terdiam menatap Fero tak percaya, dengan ekspresi kagum yang mungkin terlihat jelas. Dia membuka kedua matanya, menatapku sembari tersenyum tulus yang terpancar begitu indah di panca indraku.

"Ini adalah Angklung yang pernah kita mainkan, gunakan baik-baik. Angklung ini hanya bisa dimainkan olehmu. Jangan bertanya bagaimana bisa aku mendapatkan dan mengumpulkannya." Fero menjeda kalimatnya, dadanya membusung karena menarik napas.

"Aku tak meminta banyak-banyak ... hanya ... jaga Angklung yang menjadi salah satu kepingan kenangan di antara kita dengan baik. Andai suatu hari kamu ingin melupakanku, maka buanglah Angklung ini," sambung Fero menunduk, kedua tangannya mengepal.

Pandanganku berkaca-kaca. Tak tahu harus berkata apa melihatnya yang seperti ini. Aku melangkah mendekat ke arahnya, dan kemudian menangkup kedua pipi mulus itu dengan lembut. Membuat kedua netra indah di balik kacamata, bertatapan denganku.

"Fero ... jangan pernah berkata jika aku akan melupakanmu. Aku benar-benar tak akan melupakanmu, karena kau tau kalau hatiku hanya diisi oleh namamu," balasku menarik kepalanya, hingga keningku dan Fero bersentuhan.

Deg-deg-deg! Jantungku berdebar dengan sangat kencang. Apa yang baru kukatakan padanya. Wajahku kembali terasa panas, tak sanggup menatap wajah Fero, aku menundukkan kepala menatap ke arah bawah.

Suara kekehan lembut kemudian terdengar, aku mengetahui siapa pelakunya. Tidak lain dan tidak bukan, dialah Fero yang terdengar menertawakanku. 

Merasa diejek, aku langsung mendongkak menatapnya kesal. Namun, semua rasa kesal itu menguap, ketika melihat rona merah pada wajah Fero. Kali ini dia benar-benar tidak menyembunyikannya.

Kedua tangannya kemudian bergerak menangkup kedua pipiku, dan menarikku seakan ingin mempertemukan kening. Namun ... perkiraanku salah. Fero membuat bibir kami saling bertautan dengan deru napas penuh kasih.

Rasa panas bak kompor kembali mendera wajahku. Aku memukul dada Fero, tak kencang tak lembut. Berusaha memberi jarak di antara aku dan dia, hingga tautan bibir di atara kami terlepas. Namun, Fero malah menahan tengkuk kepalaku dan kembali melumat dengan ganas. 

Tak ada perubahan dalam pemberontakanku, aku tak menyerah dan terus memberontak. Fero mengernyitkan kening, kemudian tangannya yang lain menahan tanganku agar tidak memberontak. Lama-kelamaan, aku terhanyut dalam jalinan kasih melalui benda kenyal yang disebut bibir ini.

Decapan-decapan di antara kami terdengar menggema di sebuah tempat yang hanya ada warna putih, sejauh mata memandang. Bahkan, tak ada makhluk hidup lain selain kami.

Fero kemudian melepaskan tautan di antara kami, entah berapa lama itu berlalu. Ekspresinya Fero benar-benar berbeda, kali ini dia terlihat seperti binatang buas. 

"Kau ingin marah padaku karena tak ijin dulu, pas aku cium bukan? Ma–maaf akan hal itu, tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi." Fero bergetar dan menautkan kedua jarinya satu sama lain, sambil mencuri pandang ke arahku. 

Aku terdiam, bolehkah aku jujur. Tak ada amarah ketika dia melakukannya tanpa izin. Aku malu untuk mengakuinya, tapi aku merasa senang ketika Fero melakukan hal tadi. 

Teringin kata itu terucap dari bibirku, tapi, ketika melihat Fero yang seperti ini. Rasanya aku ingin menggodanya. "Kau jahat!" lirihku berpura-pura terluka, menunduk ke arah bawah.

Rambut panjangku menuntai ke bawah, seperti tirai. Menggunakan kesempatan ini, aku memasang ekspresi menahan tawa, ketika membayangkan bagaimana ekspresi Fero yang panik. 

"Ni–nia, ma–maafkan aku! Ja–jangan maraah!" rengek Fero dengan nada bergetar. Dia meraih tanganku dan melakukan hal-hal manja layaknya kucing. Aku menahan napas. 

Aku masih ingin menggodanya lebih lama! Tapi aku sudah benar-benar tak tahan dengan ini. Langsung saja tawaku pecah dan menggema, sambil menatap ke arah Fero yang membeku mencerna apa yang terjadi.

"Kau mempermainkanku?" tanyanya mengangkat sebelah alis. Tawaku langsung berhenti mendengar kalimat dari bibir yang terpatri di ekspresi serius itu. 

Menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal, dan melirik ke arah lain. "Mulai nakal nih ya!" serunya mendekat dan menggelitikiku. Entah berapa lama waktu berlalu, kami bersenang-senang dengan waktu yang terasa begitu singkat. 

Aku dan Fero terbaring dengan arah saling berlawanan, menatap ke atas yang hanya ada warna putih saja. "Nia, aku ingin kita seperti ini selamanya." Hatiku terasa diremas ketika mendengar kalimat itu, terucap dari bibir Fero dengan lirih. 

"Aku juga ingin kita seperti ini," balasku berusaha tersenyum, menatap langit putih tanpa ada warna lain di sekitarnya. Setelah mengucapkan kalimat itu, suasana terasa sangat hening. 

Sangat-sangat hening, seperti aku sedang sendiri di tempat putih tanpa ada warna ataupun benda lain. Selain Angklung yang tadi diberikan oleh Fero. "Fero ... bisakah aku kembali berharap, agar kamu tidak pergi dari sisiku?" tanyaku pelan. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   58. Sekali Dayung, Dua-Tiga Pulau terlampaui

    Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   56. Keluarga Fero (57)

    Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   55. Malam Fero

    "Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   54. Roland

    Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   53. Leon

    Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   52. Kembali

    "Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status