Share

4. Naluri Iblis

Setelah menasihati Edi dan meminta Mayang lebih bersabar Mesih pamit pulang. Tak enak juga jika ia terlalu jauh mencampuri kehidupan rumah tangga orang. Ia juga menyuruh tetangga yang bergerombol di pintu untuk bubar.

Suami dan istri itu hening dalam waktu cukup lama. Hingga seorang tamu datang dengan wajah panik, ia menyuruh Edi cepat pulang ke seberang.

"Kenapa Wan?" tanya Edi. Seakan ia sudah tahu kabar apa yang akan di sampaikan Wawan padanya.

"Ibumu sudah meninggal Di, kata orang sekitar, jenazahnya harus diurus hari ini juga."

Mayang tahu, Wawan merupakan salah satu anak buah Edi di tempatnya bekerja. Suaminya yang bercerita minggu lalu. Meski baru hari ini ia bertemu, kata Edi, Wawan lah yang sering membantunya dalam berbagai hal.

"Oh. Begitu. Ya sudah tunggu sebentar. Aku pamit pada Mayang," sahutnya santai.

Tampak janggal memang, biasanya seorang anak yang mendengar berita duka dari orang tuanya akan bersedih  atau terdengar meratap. Tidak halnya dengan Edi. Wajahnya biasa saja, malah seakan lega.

"Aku ikut ke seberang!" Mayang langsung mengatakan keinginannya saat Edi kembali masuk.

"Tidak perlu. Kau harus bersiap, bisa saja malam ini ada yang melahirkan. Kau harus mencari makanan pertamamu. Ingat, jika lehermu mulai terasa panas. Segera oleskan sedikit minyak ini," bisiknya sambil meletakkan botol di telapak tangan Mayang.

"Ta-tapi Edi .... "

"Sudah! Jangan membangkang. Kau mau aku meninjumu lagi?" geramnya dengan gigi yang bergemeretak

Mayang mengalah. Meski begitu, hatinya sudah berubah pada lelaki itu. Bukan lagi mengagumi seperti sebelumnya, tapi membenci. Kebencian yang tak terkata. Tapi, meski begitu Mayang masih berharap ada setitik penyesalan di hati suaminya itu. Bisa saja bukan? Saat wajah Mayang lebih muda nanti, Edi akan mencarikan jalan keluar untuk mengeluarkan minyak kuyangnya.

Malam merangkak di antara teriakan para jangkrik. Mayang mulai gelisah. Tubuhnya berkeringat bukan hanya sebab perut yang perih sejak tadi. Tapi, kini lehernya juga mulai panas. Serasa dililitkan bara api.

Mayang merutuki nasib buruknya. Dari pada jadi iblis, ia sebenarnya akan memilih mati jika bisa. Namun, sial. Nasi sudah menjadi bubur.

Dengan air mata berderai, perlahan ia mengoleskan minyak kuyang pada lehernya menggunakan telunjuknya sesuai arahan Edi tadi siang.

Sesaat setelahnya, terdengar suara seperti orang mengorok. Urat-urat leher Mayang mulai menegang dan perlahan  terangkat. Wajahnya mulai membiru. Mulutnya ternganga sebab menahan rasa sakit yang luar biasa.

Grok .... Grok .... Grok!

Mata mayang merah saat kepala dan isi perutnya terlepas. Tubuhnya yang ia tinggalkan kaku, tersandar di dinding tepat di sebelah kasurnya.

Kini, ia bukan dirinya lagi. Mayang hanya mengikuti naluri iblisnya, kepalanya mulai terbang mencari jalan keluar dari rumah.

Semua yang ia lihat hanya merah. Terbang mengelilingi kampung hanya mengandalkan penciuman. Beruntung, tak jauh dari tepi sungai ada aroma manis yang menyengat. Wajah mayang menyeringai, ia menyusup kebagian atap, masuk dan bersembunyi di plafon sebuah rumah. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

***

Sri berjalan dari ruang tamu ke ruang tengah sambil berpegangan pada dinding. Sesekali ia berhenti dan memegangi perut bawahnya. Wajahnya meringis menahan kontraksi yang mulai datang teratur dan berulang.

Di rumah, Sri hanya sendirian. suaminya tadi pergi memanggil dukun beranak, sudah lumayan lama sebab rumah dukun tersebut cukup jauh.

Perut Sri terasa semakin kencang. Ia mulai tak kuat lagi untuk tetap berdiri. Jadi, sembari menunggu sang suami datang, ia berjalan pelan kembali ke kamar. Membaringkan tubuh di atas tikar yang sudah di siapkan sebelumnya.

Saat berbaring kontraksi sudah semakin cepat, Sri juga merasa di jalan lahir sudah basah. Disusul suara meletup, pasti air ketubannya sudah pecah. Karena benar-benar tak kuat, ia mengejan sendiri tanpa panduan. Wanita itu dengan  sudah payah berjuang. Tangannya mencengkeram kuat pada bantal. Sesaat ia menghidu aroma anyir, juga suara gemeretak. Ya, seperti ada yang menggigit sepotong tulang.

Namun, Sri membuang pikiran takut yang mengganggunya, ia kembali fokus. Sesekali terdengar Sri mengatur napas. Mengejan kembali sekuat tenaga. Dua kali. Tiga kali. Ia menarik napas lagi mengumpulkan kekuatan. Sekali lagi ia mengejan kencang. Bayi meluncur. Tak ada suara tangis, Sri ingin memastikan tapi sayangnya ia sudah terlalu lelah.

***

Wajah seringai Mayang keluar dari bubungan sebuah rumah. Isi perutnya yang terburai tampak lebih terang dari sebelumnya. Sebab sudah tunai memuaskan hasrat iblisnya, ia pulang dan menyatukan kepala pada tubuhnya kembali.

Bleb .... Bleb ....

Suara aneh itu muncul saat sedikit demi sedikit ia memasukkan isi perutnya. Tak perlu waktu lama, Mayang sudah kembali menjadi manusia.

Cepat-cepat ia berlari ke arah cermin. Memeriksa apakah wajahnya sudah lebih muda sekarang?

"Benar, kerutannya sudah pudar. Edi harus melihat ini. Semoga besok ia pulang lebih cepat." Mayang tersenyum dan menyeka ujung bibirnya yang masih menyisakan noda darah.

Kokok ayam ramai menyongsong pagi. Sedangkan Mayang masih bergelut memadu mimpi di balik selimutnya.

Ada kebiasaan yang mulai hilang dari keseharian Mayang. Tak seperti hari biasanya, kali ini, ia bangun saat matahari sudah naik sepenggalah. Setelah buru-buru membersihkan diri, wanita itu bergegas ke pasar. Ia takut jika nanti Edi pulang ia belum sempat menyiapkan makanan.

"Wah, wajah Mayang lebih segar hari ini." Komentar seorang ibu yang tengah hamil besar.

Mayang menelan ludah, ia berusaha menormalkan detak jantungnya sambil memilih beberapa potong tempe. "Iya Mama Nurfah, berkat bedak rempah dari almarhumah mertua. Mau coba juga? Biar nanti aku mampir ke rumah."

"Loh! Mertuamu meninggal Yang? Kapan?"

Mayang menyaka ujung mata yang mendadak sembap. Memang ada sedikit penyesalan, ia belum sempat sekalipun bertemu pada orang tua yang begitu perhatian pada menantunya itu. Ya. Saking perhatiannya, sampai-sampai ia memberikan Mayang minyak yang membuatnya jadi lebih muda. Kini wanita itu menahan getir.

"Kemarin. Tapi cuma Edi yang pulang," sahut Mayang kemudian.

“Kenapa kau tak ikut sekalian?” Mama Nurfah berkomentar.

Mayang hanya menggeleng. "Jalan ke kampung Edi susah."

“Yang sabar ya Mayang. Aku turut berduka. Semoga amal baik beliau diterima yang maha kuasa.” Kini Mama Nurfah mengelus lembut punggung Mayang.

Entah kenapa, ada desir menyengat saat wanita itu menyentuhnya.

"Eh, Mama Nurfah, Mayang! Sudah tahu kabar Sri belum? Semalam dia melahirkan. Tapi, bayinya tak selamat. Kasian dia, menangis terus kayak orang stres." Ibu yang lain datang membawa kabar.

"Benarkah? Innalillahi," tanggap Ibu-ibu lain yang kebetulan juga berada di gerai yang sama.

Ada perasaan tak nyaman yang mendadak menyelusup di balik tulak rusuk Mayang. Sebab tak ingin menanggapi ia dengan cepat menyelesaikan belanjanya dan pamit pulang lebih dulu.

"Uy, Mayang. Tumben belanja siang. Biasanya kamu ke pasar lebih pagi dari kami." Cegat salah satu ibu-ibu sebelum Mayang pergi.

"A-anu Mama Ami. Banyak cucian." Mayang beralasan. "Eh. Mama Nurfah. Nanti sore kuantar bedak rempahnya ya." Lanjut Mayang mengalihkan topik pembicaraan.

Mama Nurfah menyahuti setuju. Setelah membalik badan Mayang menyeringai.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status