Setelah menasihati Edi dan meminta Mayang lebih bersabar Mesih pamit pulang. Tak enak juga jika ia terlalu jauh mencampuri kehidupan rumah tangga orang. Ia juga menyuruh tetangga yang bergerombol di pintu untuk bubar.
Suami dan istri itu hening dalam waktu cukup lama. Hingga seorang tamu datang dengan wajah panik, ia menyuruh Edi cepat pulang ke seberang."Kenapa Wan?" tanya Edi. Seakan ia sudah tahu kabar apa yang akan di sampaikan Wawan padanya."Ibumu sudah meninggal Di, kata orang sekitar, jenazahnya harus diurus hari ini juga."Mayang tahu, Wawan merupakan salah satu anak buah Edi di tempatnya bekerja. Suaminya yang bercerita minggu lalu. Meski baru hari ini ia bertemu, kata Edi, Wawan lah yang sering membantunya dalam berbagai hal."Oh. Begitu. Ya sudah tunggu sebentar. Aku pamit pada Mayang," sahutnya santai.Tampak janggal memang, biasanya seorang anak yang mendengar berita duka dari orang tuanya akan bersedih atau terdengar meratap. Tidak halnya dengan Edi. Wajahnya biasa saja, malah seakan lega."Aku ikut ke seberang!" Mayang langsung mengatakan keinginannya saat Edi kembali masuk."Tidak perlu. Kau harus bersiap, bisa saja malam ini ada yang melahirkan. Kau harus mencari makanan pertamamu. Ingat, jika lehermu mulai terasa panas. Segera oleskan sedikit minyak ini," bisiknya sambil meletakkan botol di telapak tangan Mayang."Ta-tapi Edi .... ""Sudah! Jangan membangkang. Kau mau aku meninjumu lagi?" geramnya dengan gigi yang bergemeretakMayang mengalah. Meski begitu, hatinya sudah berubah pada lelaki itu. Bukan lagi mengagumi seperti sebelumnya, tapi membenci. Kebencian yang tak terkata. Tapi, meski begitu Mayang masih berharap ada setitik penyesalan di hati suaminya itu. Bisa saja bukan? Saat wajah Mayang lebih muda nanti, Edi akan mencarikan jalan keluar untuk mengeluarkan minyak kuyangnya.Malam merangkak di antara teriakan para jangkrik. Mayang mulai gelisah. Tubuhnya berkeringat bukan hanya sebab perut yang perih sejak tadi. Tapi, kini lehernya juga mulai panas. Serasa dililitkan bara api.Mayang merutuki nasib buruknya. Dari pada jadi iblis, ia sebenarnya akan memilih mati jika bisa. Namun, sial. Nasi sudah menjadi bubur.Dengan air mata berderai, perlahan ia mengoleskan minyak kuyang pada lehernya menggunakan telunjuknya sesuai arahan Edi tadi siang.Sesaat setelahnya, terdengar suara seperti orang mengorok. Urat-urat leher Mayang mulai menegang dan perlahan terangkat. Wajahnya mulai membiru. Mulutnya ternganga sebab menahan rasa sakit yang luar biasa.Grok .... Grok .... Grok!Mata mayang merah saat kepala dan isi perutnya terlepas. Tubuhnya yang ia tinggalkan kaku, tersandar di dinding tepat di sebelah kasurnya.Kini, ia bukan dirinya lagi. Mayang hanya mengikuti naluri iblisnya, kepalanya mulai terbang mencari jalan keluar dari rumah.Semua yang ia lihat hanya merah. Terbang mengelilingi kampung hanya mengandalkan penciuman. Beruntung, tak jauh dari tepi sungai ada aroma manis yang menyengat. Wajah mayang menyeringai, ia menyusup kebagian atap, masuk dan bersembunyi di plafon sebuah rumah. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.***Sri berjalan dari ruang tamu ke ruang tengah sambil berpegangan pada dinding. Sesekali ia berhenti dan memegangi perut bawahnya. Wajahnya meringis menahan kontraksi yang mulai datang teratur dan berulang.Di rumah, Sri hanya sendirian. suaminya tadi pergi memanggil dukun beranak, sudah lumayan lama sebab rumah dukun tersebut cukup jauh.Perut Sri terasa semakin kencang. Ia mulai tak kuat lagi untuk tetap berdiri. Jadi, sembari menunggu sang suami datang, ia berjalan pelan kembali ke kamar. Membaringkan tubuh di atas tikar yang sudah di siapkan sebelumnya.Saat berbaring kontraksi sudah semakin cepat, Sri juga merasa di jalan lahir sudah basah. Disusul suara meletup, pasti air ketubannya sudah pecah. Karena benar-benar tak kuat, ia mengejan sendiri tanpa panduan. Wanita itu dengan sudah payah berjuang. Tangannya mencengkeram kuat pada bantal. Sesaat ia menghidu aroma anyir, juga suara gemeretak. Ya, seperti ada yang menggigit sepotong tulang.Namun, Sri membuang pikiran takut yang mengganggunya, ia kembali fokus. Sesekali terdengar Sri mengatur napas. Mengejan kembali sekuat tenaga. Dua kali. Tiga kali. Ia menarik napas lagi mengumpulkan kekuatan. Sekali lagi ia mengejan kencang. Bayi meluncur. Tak ada suara tangis, Sri ingin memastikan tapi sayangnya ia sudah terlalu lelah.***Wajah seringai Mayang keluar dari bubungan sebuah rumah. Isi perutnya yang terburai tampak lebih terang dari sebelumnya. Sebab sudah tunai memuaskan hasrat iblisnya, ia pulang dan menyatukan kepala pada tubuhnya kembali.Bleb .... Bleb ....Suara aneh itu muncul saat sedikit demi sedikit ia memasukkan isi perutnya. Tak perlu waktu lama, Mayang sudah kembali menjadi manusia.Cepat-cepat ia berlari ke arah cermin. Memeriksa apakah wajahnya sudah lebih muda sekarang?"Benar, kerutannya sudah pudar. Edi harus melihat ini. Semoga besok ia pulang lebih cepat." Mayang tersenyum dan menyeka ujung bibirnya yang masih menyisakan noda darah.Kokok ayam ramai menyongsong pagi. Sedangkan Mayang masih bergelut memadu mimpi di balik selimutnya.Ada kebiasaan yang mulai hilang dari keseharian Mayang. Tak seperti hari biasanya, kali ini, ia bangun saat matahari sudah naik sepenggalah. Setelah buru-buru membersihkan diri, wanita itu bergegas ke pasar. Ia takut jika nanti Edi pulang ia belum sempat menyiapkan makanan."Wah, wajah Mayang lebih segar hari ini." Komentar seorang ibu yang tengah hamil besar.Mayang menelan ludah, ia berusaha menormalkan detak jantungnya sambil memilih beberapa potong tempe. "Iya Mama Nurfah, berkat bedak rempah dari almarhumah mertua. Mau coba juga? Biar nanti aku mampir ke rumah.""Loh! Mertuamu meninggal Yang? Kapan?"Mayang menyaka ujung mata yang mendadak sembap. Memang ada sedikit penyesalan, ia belum sempat sekalipun bertemu pada orang tua yang begitu perhatian pada menantunya itu. Ya. Saking perhatiannya, sampai-sampai ia memberikan Mayang minyak yang membuatnya jadi lebih muda. Kini wanita itu menahan getir."Kemarin. Tapi cuma Edi yang pulang," sahut Mayang kemudian.“Kenapa kau tak ikut sekalian?” Mama Nurfah berkomentar.Mayang hanya menggeleng. "Jalan ke kampung Edi susah."“Yang sabar ya Mayang. Aku turut berduka. Semoga amal baik beliau diterima yang maha kuasa.” Kini Mama Nurfah mengelus lembut punggung Mayang.Entah kenapa, ada desir menyengat saat wanita itu menyentuhnya."Eh, Mama Nurfah, Mayang! Sudah tahu kabar Sri belum? Semalam dia melahirkan. Tapi, bayinya tak selamat. Kasian dia, menangis terus kayak orang stres." Ibu yang lain datang membawa kabar."Benarkah? Innalillahi," tanggap Ibu-ibu lain yang kebetulan juga berada di gerai yang sama.Ada perasaan tak nyaman yang mendadak menyelusup di balik tulak rusuk Mayang. Sebab tak ingin menanggapi ia dengan cepat menyelesaikan belanjanya dan pamit pulang lebih dulu."Uy, Mayang. Tumben belanja siang. Biasanya kamu ke pasar lebih pagi dari kami." Cegat salah satu ibu-ibu sebelum Mayang pergi."A-anu Mama Ami. Banyak cucian." Mayang beralasan. "Eh. Mama Nurfah. Nanti sore kuantar bedak rempahnya ya." Lanjut Mayang mengalihkan topik pembicaraan.Mama Nurfah menyahuti setuju. Setelah membalik badan Mayang menyeringai.Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.Padahal, Mayang sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda."Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang."Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya."Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong."Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga. Selama ini siapa pun juga tahu, kalau M
Tiga hari sudah Mayang menginap di pondok Husin. Selama itu juga ia ikut membantu apa saja yang bisa ia kerjakan. Seperti, menemani Jubai ke sungai untuk mencuci baju, membersihkan peralatan makan, bahkan menyiapkan lauk pauk untuk keluarga Husin atau kadang Mayang juga ikut turun ke sawah. Suatu waktu, Mayang sudah merasa sangat bosan dengan rutinitasnya. Semua pekerjaan pun sudah selesai ia kerjakan. Tak ada lagi yang bisa Mayang lakukan kecuali termenung sendirian di dalam pondok. Semua anggota keluarga Husin masih di tengah ladang, memeriksa kalau-kalau ada babi hutan yang menghancurkan tanaman tadi malam. Dari pada kebanyakan melamun, Mayang memutuskan untuk mencari aliran anak sungai yang lebih rimbun. Ia ingin membersihkan diri, belakangan ia merasa mandi kurang bersih. Badannya terasa mulai tak nyaman dan gatal-gatal.Bukan, bukan ia malu saat mandi di temani Jubai di pinggir sungai. Hanya saja, semua orang yang melihatnya melepas baju, bagian leher belakangnya akan dengan j
Jangkrik semakin terdengar jelas mengerik. Beradu saling sahut dengan binatang malam lain. Lampu semprong di dalam pondok sudah dikecilkan. Semua orang sudah terlelap dalam pelukan mimpi masing-masing. Kecuali Mayang, ia perlahan keluar dari pondok Husin, berjingkat agar tak mengeluarkan suara yang membuat orang terbangun.Di luar, ia bertengadah sebentar menatap langit pekat bertabur bintang tanpa bulan. Kemudian ia menyalakan obor dengan korek kayu yang sudah ia siapkan. Lalu, tanpa memperhatikan sekitar ia melangkah cepat merobek kegelapan malam dengan cahaya di tangannya.Mayang tak tahu, seperginya ia dari pondok. Pemilik sepasang mata yang menatap dari balik celah pintu menghela napas curiga. Pondok yang Mayang tuju serasa lebih jauh dari sebelumnya. Juga lebih seram jika dilihat pada malam hari begini. Tapi, bagi Mayang tak ada hal lain yang lebih menakutkan dari pada dirinya sekarang. Wanita kuyang itu mulai menyibak alang-alang yang tumbuh tinggi menghalangi langkahnya. Lalu
Mayang harus segera mengatur rencana. Ia tak bisa lagi menunggu Husin dan keluarganya untuk pulang. Semestinya ia bergerak lebih cepat, sebelum semakin menyesal.Ya, menyesal karena bisa saja Edi akan pergi semakin jauh dari jangkauannya. Jika lelaki itu sampai keluar pulau, Mayang tak akan memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang seharusnya. Beruntungnya, sore ini bukan cuma dia yang tinggal di pondok, tapi Ari anak sulung Husin juga. Pemuda itu tak ikut ke ladang, sebab tengah menganyam bakul kecil bertali yang akan diikatkan ke pinggang saat musim mengatam, memanen padi yang sebentar lagi tiba.Dengan wajah Mayang yang lebih Muda sekarang, tak mungkin sulit membujuk Ari untuk mengantarnya pulang lebih dulu, kan? Seandainya gagal pun, Mayang pasti akan berusaha melalukan hal lain agar anak dari Husin itu setuju membantunya. Awalnya Mayang duduk tepat di sebelah Ari. Meski begitu mepet, Pemuda itu tetap tenang. Ia seolah membiarkan Mayang mendekatinya. Meski awalnya Mayang jug
Terletak tak jauh dari pondok tempat tinggal Husin, ada juga pondok yang dihuni satu keluarga dengan beranggota empat orang. Mereka, Herman beserta istri dan dua anaknya. Yang bungsu bernama Dewi. Usianya baru genap enam tahun saat ini.Dewi sejak sore sudah diare, oleh Mamaknya hanya diberi air rebusan daun pucuk jambu biji. Meski anak perempuan itu mengeluhkan rasa kelatnya dan harus dipaksa agar mau minum. Namun, ramuan itu seeprtinya lumayan ampuh. Beberapa jam lalu ia merasa sudah lebih baik. Katanya juga, perutnya sudah tak merasakan mulas lagi. Entah kenapa, malam ini, saat semua anggota keluarganya sudah tidur nyenyak, perut Dewi kembali melilit."Pak, Bapak!" Dewi berulang kali menggoyang-goyang tubuh lelaki yang tidur di sampingnya sambil meringis memegangi perut dan pantat bergantian. Ia terlihat benar-benar tersiksa dengan hal itu. "Pak. Bangun Pak. Antar Dewi ke jamban sekarang yuk, Pak. Aku mulas lagi." Kini lebih keras ia mengguncang bahu Bapaknya. Dewi sudah sangat ta
Dari kejauhan, Herman yang baru saja sampai di pondok Husin, melihat cahaya obor bergerak mendekat. Sejenak lelaki itu membatalkan niat mengetuk pintu, ia bertanya sebentar pada putranya. "Apa kau juga melihat cahaya itu, Din?"Udin menoleh ke arah yang ditunjuk Bapaknya. "Siapa yang datang saat larut malam begini?"Bapaknya hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga tak tahu. Mengabaikan kebingungan mereka, Herman melanjutkan niat awalnya datang ke pondok Husin. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu berderit dibuka dari dalam. "Husin! Ayo siap-siap sekarang, nyalakan obormu. Kita mencari tubuh kuyang!" Herman tak ingin berbasa-basiHusin yang baru saja bangun masih terlihat linglung, ia tak mengerti sama sekali dengan perkataan yang diucapkan tetangganya tersebut. "Kuyang?""Bapak sama Dewi tadi melihat Kuyang, Paman. Ayo kita cari badannya sama-sama. Barang kali ia menyimpannya tak jauh dari sekitar sini." Kali ini Udin yang menjelaskan. "Apa kira-kira itu kuyang yang berada di
Mayang sudah lebih segar hari ini. Badan lemas dan pusing yang dideritanya sudah sirna. Dalam dua malam berturut-turut ia sudah mendapat Mangsa. Minyak dalam botol sepertinya juga sedikit bertambah. Pantas saja meski digunakan dalam rentang waktu puluhan tahun oleh pemilik sebelumnya, isinya tak habis-habis. Mayang baru tahu, begitu rupanya cara kerja minyak tersebut. Jika Mayang berhasil mendapatkan darah Bayi dan ibu yang melahirkan, maka minyak kuyang tak akan berkurang, tapi malah sebaliknya. Kali ini wanita kuyang itu menatap wajahnya di cermin. Tak ada lagi kerutan yang tersisa. Ia sekilas tersenyum, merasa puas dengan perubahannya sekarang. Walau Mayang tahu, kecantikannya itu nanti tak akan bertahan lebih lama. Ya, setidaknya saat ini wanita tersebut menikmati masa wajah terbaiknya. Sesaat kemudian, Mayang mengalihkan pandangan, mengangkat tas yang sudah ia siapkan dan menyampirkan selendang warna jingga di bahu. Ia harus secepatnya menemukan Edi dan mencari solusi agar ia
Seorang lelaki tengah mondar-mandir dengan gelisah di beranda rumah. Berulang kali ia melipat jari-jarinya hingga menimbulkan bunyi berkeretek. Dia khawatir sebab tak biasanya sang istri begitu lama pergi ke pasar.Selain berdecak berulang-ulang, lelaki tersebut juga menghela napas penuh sesal. Istrinya tadi sempat berucap minta ditemani, namun ia dengan alasan yang tak jelas langsung menolak. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada sang istri? Ia tak bisa membayangkannya. Begitu hampir satu setengah jam berlalu dihitung tepat saat istrinya pergi, saat lelaki tersebut memutuskan untuk menyusul, istrinya datang bersama seorang tamu yang mengenakan selendang jingga. Wajahnya menyuratkan kelegaan. Namun, saat tamu yang menyertai istrinya membuka penutup kepala, lelaki itu serta-merta membeliak.Mayang langsung mengenali lelaki yang kini menatapnya sambil melotot itu. Meski begitu, wanita tersebut masih berusaha menahan diri. Mayamg terlihat tenang, ia harus tahu segalanya dengan perlahan, t