Beranda / Horor / Jadi Kuyang / 5. Lantabu

Share

5. Lantabu

Penulis: Yenie Iria
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-03 08:33:39

Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.

Padahal, Mayang  sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.

Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda.

"Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.

Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang.

"Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya.

"Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong.

"Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga.

Selama ini siapa pun juga tahu, kalau Mayang tak pernah sekalipun diajak ke kampung sang suami.

"Sebelum berangkat minggu kemarin, Edi sudah berpesan. Dia memintaku menyusul jika belum sempat pulang." Tentu Mayang melanjutkan kebohongannya.

"Oh. E-eh itu, Mayang kalau pulang nanti bawakan bedak rempah lebih banyak ya. Aku mau beli, barang kali saudaranya Edi juga bisa buat bedak tersebut. Aku juga mau jadi lebih muda sepertimu." Mama Nurfah berpesan.

Mayang mengangguk saja. Andai perempuan itu tahu, bahwa bukan bedak rempah lah yang membuat Mayang kian muda. Maka bisa dipastikan ia akan bergidik atau malah lari tunggang langgang secepat yang ia bisa.

Soal saudara Edi, Mayang saja tak pernah tahu. Apa suaminya itu memiliki saudara atau tidak? Edi tak pernah bercerita, Mayang pun enggan bertanya sebelumnya.

Memang. Edi tipe suami yang begitu tertutup. Tak pernah membagi cerita atau bertanya juga. Bahkan, Mayang pun tak tahu dengan pasti apa sebenarnya pekerjaan Edi di seberang sana. Yang penting bagi Mayang, kebutuhan rumah tangga mereka terpenuhi.

"Mau menyeberang ke daerah mana Cil?" Pengemudi perahu yang berusia belia itu bertanya begitu Mayang melambai tangan ke arahnya.

Mayang yang masih berdiri di anak tangga kayu menyahuti agak nyaring. Sebab suaranya hampir kalah dengan suara mesin perahu.

"Sungai Lantabu! Bisa antar Acil ke sana?" Hanya nama itu yang pernah ia dengar dari suaminya.

Pemuda tadi mengerutkan kening kemudian menggeleng cepat.

"Aku kurang tahu jalur ke selatan. Acil, bisa ikut dengan rombongan Paman Husin. Beliau sepertinya sore ini juga berangkat, perahunya di sebelah sana." Ia menunjuk perahu di depanya yang berjarak dua lanting dari tempat Mayang berdiri.

"Memang kau ke utara? Daerah bernama apa di sana?" Mayang benar-benar tidak tahu.

"Iya Cil. Aku lebih sering ke utara. Jalur sungai Piyasa," sahutnya.

Mayang mangut-mangut kemudian pamit naik dan berpindah ke lanting yang dimaksud pemuda tadi.

Untungnya pemilik perahu yang akan ditumpangi Mayang, memberi izin. Ada empat orang lainnya yang akan berangkat ke sungai Lantabu. Husin beserta istri dan kedua anak lelakinya, yang sulung sepertinya masih sepantar dengan pemuda tadi.

Sepanjang perjalanan Mayang hanya diam. Menikmati suasana perahu yang seakan melompat-lompat akibat menerjang arus. Mukanya juga mulai basah, sebab air dari tepi perahu berulang kali menciprat. Sesekali Mayang menyekanya menggunakan bajunya yang berlengan panjang.

"Kalau boleh tahu, Nak Mayang mau mengunjungi pehumaan siapa?" Jubai istri Husin bertanya. Ia memanggil Mayang dengan sebutan Nak sebab wanita tersebut tampak hanya sedikit lebih tua dari anak sulungnya.

"Suamiku, Julak. Katanya ia bekerja di sana." Mayang menyahut setengah berteriak. Suara mesin perahu mengalahkan suaranya.

"Sudah pernah ke sana sebelumnya?"

Lekas Mayang menggeleng.

"Nama suamimu siapa? Barang kali kami tahu pondoknya?" tanyanya lagi.

"Edi!" Teriaknya. Lagi-lagi suara Mayang hampir kalah dengan deburan air dan suara mesin.

Setelah Mayang menyebut nama suaminya, semua orang di perahu menatap bingung ke arahnya. Entah kenapa?

Wanita paruh baya yang menanyainya tadi pun tak melanjutkan lagi keingintahuannya.

***

Perahu yang ditumpangi Mayang sudah sampai. Ia terkejut bukan main, tempat yang didatanginya sungguh di luar dugaan sebelumnya. Ini bukan perkampungan, melainkan hutan belantara dengan pohon-pohonnya yang besar. Permukaan tanah terlihat masih lembap meski seharian tadi matahari cerah. Mungkin penyebabnya wilayah ini hanya mendapat sedikit cahaya setiap harinya. Kini Mayang cuma melongo beberapa saat setelah naik ke daratan.

Husin yang naik paling akhir langsung menambatkan perahu di akar pohon yang mencuat di pinggir anak sungai. Sementara dua anaknya yang lebih dulu mulai bergerak meninggalkan yang lain sambil membawa barang perbekalan yang mereka gendong di punggungnya.

Saat semua sudah berada di daratan, Jubai melihat ekspresi bingung pada wajah Mayang, ia menyentuh bahu wanita itu pelan. Mayang yang sedari tadi terpaku sedikit tersentak.

"Nak. Julak beritahu. Kami semua yang tinggal behuma di Lantabu sini, semua akan bergotong royong jika masa manugal. Kami menanam padi ramai-ramai dengan kepala keluarga lain. Begitu juga masa mengatam. Setahu julak, ada dua belas keluarga yang berprofesi sama dengan kami. Dan aku kenal semua anggota keluarganya. Tidak ada yang bernama Edi. Apa Nak Mayang tidak salah alamat?"

Tentu saja Mayang semakin bingung dengan penjelasan wanita paruh baya itu. Apa mungkin Edi sudah membohonginya selama ini. Lelaki itu bisa saja asal sebut tempat tinggal saat Mayang bertanya dulu.

Mayang menghela napas berat. Dadanya sesak memikirkan semua itu. Aoa mungkin sejak awal Edi memang sudah berniat menipunya?

"Atau kami memang belum kenal." Jubai meralat. "Mungkin jika Nak Mayang menyebutkan nama mertua, kami bisa tahu." lanjutnya.

Mayang yang memang tak tahu nama mertua perempuannya hanya bisa menggeleng. Jika menyebutkan nama mertua lelakinya pun, mungkin mustahil. Sebab, sebelum menikah pun, Bapak Edi sudah tiada. Dalam pikirannya sekarang, bagaimana ia mencari tahu tentang Edi yang sepertinya benar-benar merencanakannini semua?

Kali ini, Husin yang menangkap kerisauan di wajah wanita yang mereka bawa. Sebagai kepala keluarga, ia mencoba memberi solusi.

"Kau boleh ikut kami dulu, jika tak keberatan Nak. Nanti waktu kami kembali ke kampung, kau bisa ikut lagi."

Jubai juga mengangguk. Sepertinya ia sependapat dengan sang suami.

"Berapa lama kalian menetap, Paman?" Mayang menuntut kepastian. Ia takut, jika masa panas lehernya datang, Mayang tak akan bisa menghindar.

"Seminggu. Tidak masalah kan?"

Sambil mulai mengekor di belakang Jubai dan suaminya, Mayang mau tak mau mengangguk setuju.

Setelah ini kau tunggulah. Aku pasti menemukanmu Edi. Geram Mayang dalam Hati. Dan jika sampai hal itu terjadi, Mayang tak akan membiarkan lelaki itu hidup dengan tenang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadi Kuyang   Season 2 (Bagian 3)

    Langit sudah terang, Bapak memutuskan pulang lebih dulu untuk mempersiapkan pemakaman Adikku. Sedangkan aku, duduk seperti orang tak bernyawa di samping ranjang pasien dengan Umak yang baru saja dipindahkan ke ruang rawat kebidanan.Sudah lebih dari tiga jam Umak keluar dari ruang operasi, namun hingga detik ini, ia belum juga membuka matanya. Aku sangat takut, kalau-kalau Umak juga akan menyusul Adikku.Aku bahkan sangat benci dengan pikiranku sendiri, tapi sungguh, aku benar-benar takut. Terlebih saat melihat wajah Umak yang pucat dan tak bergerak sama sekali itu.Sesekali aku menghela napas berat, menghalau isi kepala yang semakin liar tak terkendali sambil memerhatikan cairan infus yang jatuh setetes demi setetes.Bagaimana dengan aku jika ditinggal Umak nanti? Kalimat itu sulit ditahan, ia terus saja muncul di benakku. Hingga tanpa sadar, bulir bening dari kelopak mata jatuh begitu saja.Sesaat berikutnya, terdengar erangan lemah. Aku segera bangkit dari duduk dan mendekatkan waj

  • Jadi Kuyang   Season 2 (Bagian 2)

    Keluar dari halaman rumah Bu bidan, aku langsung menuju ke RS. Dari ambulans yang membawa Umak tadi, aku tahu rumah sakit tersebut berada di jalan Pelita. Dari arah Panjaitan, aku terus melajukan motor ke arah selatan.Sepanjang jalan yang sepi, tengkukku merinding. Namun aku berusaha berpikir positif, barangkali hawa dingin yang membuatku merasa seperti ini. Meski begitu, ingatan tentang kuyang yang terbang di depan rumah tadi masih saja membayangi. Makhluk itu tak mungkin membuntutiku, kan? Aku kembali bergidik.Konyolnya, sesekali aku bertengadah untuk memastikan. Kata orang-orang, kuyang terbang dengan jantungnya yang menyala merah. Syukurlah aku tak melihat adanya benda seperti itu.Sampai di rumah sakit, ambulans tadi sudah terparkir di depan pintu UGD. Setelah mesin motor mati, aku lekas berlari ke arah sana.Umak tak ada! Aku sudah memastikan dengan mengintip di beberapa tirai pasien yang tertutup.“Cari siapa?” Seorang perawat menanyaiku.“Apa ada pasien hamil yang baru saja

  • Jadi Kuyang   Season 2 (Bagian 1)

    Aku sesenggukan di samping Umak yang terlihat sedang menahan rasa sakit. Perutnya yang membuncit dan dua lututnya mengangkat sambil berbaring. Sesekali wanita dengan pelipis penuh keringat itu berkata lirih memintaku untuk tak khawatir.Mana bisa? Melihat wajahnya yang pucat pasi dengan kondisi proses melahirkan yang tampak bermasalah itu, aku tak khawatir? Lebih dari apa pun! Aku sangat takut.Sementara itu, Ninik Geren, dukun beranak yang latah itu, sedang mengorek-ngorek bagian jalan lahir. Ia sedang memasukkan kembali tali pusar bayi yang tadinya terjulur dari sana."Mahape hindai Bapakmu! Kakueh kah iye maka dia dumah-dumah, nah?" Wanita tua yang tengah menolong persalinan Umak mulai panik. Ia memintaku kembali menghubungi Bapak yang tak pulang-pulang sejak pamit memanggil bidan praktik.Kuseka air mata, kemudian mengatur napas. Sebelum menekan tombol panggil pada ikon di ponsel. Aku memeriksa jam terlebih dulu. Sudah pukul 22.40, lebih dari setengah jam Bapak meninggalkan rumah.

  • Jadi Kuyang   30. Epilog

    Beberapa tahun berlalu. Musim hujan di penghujung tahun tiba. Rumah kayu yang ditinggali Midan sudah lapuk termakan usia. Sebenarnya bukan cuma kediamannya yang tampak rapuh sekarang. Lelaki yang seluruh rambutnya sudah bertukar menjadi putih itu pun, mulai terbungkuk-bungkuk saat melangkahkan kaki. Otot-otot lemahnya membuat dia melangkah lebih pelan. Midan juga tak sesehat dulu, tubuhnya sering sakit-sakitan, badan tuanya sudah ringkih. Intensitas curah air yang terbilang lebat selama berhari-hari jadi penyebab banjir yang menggenang hingga ke dalam rumah. Midan yang tak lagi muda itu, tampak kesulitan mengamankan beberapa barang yang ia anggap masih berharga. Ya. Meski banjir baru semata kaki, ia mulai memindahkan sisa pakaian istrinya dari tumpukan lemari paling bawah ke bagian teratas. Baju Liyah salah satu peninggalan berharga baginya. Sejak istrinya itu pergi untuk selamanya beberapa tahun lalu, hanya pakaiannya itu lah yang menjadi obat penawar jika ia sedang rindu. Tubu

  • Jadi Kuyang   29. Rindi dan Terbongkarnya Rahasia

    Sebuah tas kulit warna coklat dalam pangkuan Rindi, yang masih lengkap dengan isinya ditatap nanar sedari tadi oleh wanita tersebut.Benar, itu tas yang dipinta Masnya, Irawan untuk dibakar dulu, masih ia simpan di bawah ranjangnya selama ini. Rindi tak membuangnya atau bahkan membakarnya persis seperti yang diperintahkan Kakaknya dulu. Wanita itu kini terlihat menarik napas dalam. Memegang benda pipih yang ia pungut dari lantai kamar Irawan dulu. Belum usang, hanya pudar. Lalu, sesaat setelah itu ia mengelus perutnya dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Menyesal, takut, dan penuh harapan. Rindi tak tahu. "Inilah alasannya mengapa aku tak ingin minta pertanggung jawaban Haris. Aku takut akan bernasib sama seperti pemilik tas ini," katanya lirih.Beberapa waktu lalu sempat beredar kabar ada anak lurah yang menghilang dari desa yang cukup jauh dari kota mereka tinggal. Rindi menerka bisa saja dia Mbak yang jasadnya dibuang Irawan dulu. Namun, karena sudah perasaan tertekan bahkn

  • Jadi Kuyang   28. Tentang Dokter Irawan

    Listrik tiba-tiba padam saat Irawan tengah memperbaiki tatanan rambut yang habis diacak-acaknya di depan cermin."Lagi," gumamnya.Pelan, selangkah demi selangkah lelaki itu mundur. Tapi, tatapannya tak pernah beralih dari cermin yang memantulkan sedikit bias cahaya.Tak lama berselang, samar siluet gadis dengan rambut berkucir kuda muncul tepat di belakang Irawan."Antar aku pulang, Mas!" Matanya nyalang menatap Irawan dari pantulan cermin. Blaaar!Petir yang menyambar dengan suara gelegar membuat kepala seorang lelaki yang tertelungkup di meja tersentak keras. Seluruh ruangan putih, menyadarkan ia bahwa saat ini bukan sedang di rumah.Irawan meraup wajahnya dan menyeka keringat dingin yang membanjiri pelipis. Degup jantungnya melebihi aktivitas normal. Ia sedikit terengah namun dengan cepat menarik dan menghembuskan napasnya melalui mulut agar suasana menegangkan itu tak menguasai benaknya. "Lagi," gumamnya.Entah sudah kali ke-berapa, mimpi yang membuatnya sport jantung itu data

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status