Share

5. Lantabu

Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.

Padahal, Mayang  sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.

Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda.

"Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.

Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang.

"Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya.

"Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong.

"Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga.

Selama ini siapa pun juga tahu, kalau Mayang tak pernah sekalipun diajak ke kampung sang suami.

"Sebelum berangkat minggu kemarin, Edi sudah berpesan. Dia memintaku menyusul jika belum sempat pulang." Tentu Mayang melanjutkan kebohongannya.

"Oh. E-eh itu, Mayang kalau pulang nanti bawakan bedak rempah lebih banyak ya. Aku mau beli, barang kali saudaranya Edi juga bisa buat bedak tersebut. Aku juga mau jadi lebih muda sepertimu." Mama Nurfah berpesan.

Mayang mengangguk saja. Andai perempuan itu tahu, bahwa bukan bedak rempah lah yang membuat Mayang kian muda. Maka bisa dipastikan ia akan bergidik atau malah lari tunggang langgang secepat yang ia bisa.

Soal saudara Edi, Mayang saja tak pernah tahu. Apa suaminya itu memiliki saudara atau tidak? Edi tak pernah bercerita, Mayang pun enggan bertanya sebelumnya.

Memang. Edi tipe suami yang begitu tertutup. Tak pernah membagi cerita atau bertanya juga. Bahkan, Mayang pun tak tahu dengan pasti apa sebenarnya pekerjaan Edi di seberang sana. Yang penting bagi Mayang, kebutuhan rumah tangga mereka terpenuhi.

"Mau menyeberang ke daerah mana Cil?" Pengemudi perahu yang berusia belia itu bertanya begitu Mayang melambai tangan ke arahnya.

Mayang yang masih berdiri di anak tangga kayu menyahuti agak nyaring. Sebab suaranya hampir kalah dengan suara mesin perahu.

"Sungai Lantabu! Bisa antar Acil ke sana?" Hanya nama itu yang pernah ia dengar dari suaminya.

Pemuda tadi mengerutkan kening kemudian menggeleng cepat.

"Aku kurang tahu jalur ke selatan. Acil, bisa ikut dengan rombongan Paman Husin. Beliau sepertinya sore ini juga berangkat, perahunya di sebelah sana." Ia menunjuk perahu di depanya yang berjarak dua lanting dari tempat Mayang berdiri.

"Memang kau ke utara? Daerah bernama apa di sana?" Mayang benar-benar tidak tahu.

"Iya Cil. Aku lebih sering ke utara. Jalur sungai Piyasa," sahutnya.

Mayang mangut-mangut kemudian pamit naik dan berpindah ke lanting yang dimaksud pemuda tadi.

Untungnya pemilik perahu yang akan ditumpangi Mayang, memberi izin. Ada empat orang lainnya yang akan berangkat ke sungai Lantabu. Husin beserta istri dan kedua anak lelakinya, yang sulung sepertinya masih sepantar dengan pemuda tadi.

Sepanjang perjalanan Mayang hanya diam. Menikmati suasana perahu yang seakan melompat-lompat akibat menerjang arus. Mukanya juga mulai basah, sebab air dari tepi perahu berulang kali menciprat. Sesekali Mayang menyekanya menggunakan bajunya yang berlengan panjang.

"Kalau boleh tahu, Nak Mayang mau mengunjungi pehumaan siapa?" Jubai istri Husin bertanya. Ia memanggil Mayang dengan sebutan Nak sebab wanita tersebut tampak hanya sedikit lebih tua dari anak sulungnya.

"Suamiku, Julak. Katanya ia bekerja di sana." Mayang menyahut setengah berteriak. Suara mesin perahu mengalahkan suaranya.

"Sudah pernah ke sana sebelumnya?"

Lekas Mayang menggeleng.

"Nama suamimu siapa? Barang kali kami tahu pondoknya?" tanyanya lagi.

"Edi!" Teriaknya. Lagi-lagi suara Mayang hampir kalah dengan deburan air dan suara mesin.

Setelah Mayang menyebut nama suaminya, semua orang di perahu menatap bingung ke arahnya. Entah kenapa?

Wanita paruh baya yang menanyainya tadi pun tak melanjutkan lagi keingintahuannya.

***

Perahu yang ditumpangi Mayang sudah sampai. Ia terkejut bukan main, tempat yang didatanginya sungguh di luar dugaan sebelumnya. Ini bukan perkampungan, melainkan hutan belantara dengan pohon-pohonnya yang besar. Permukaan tanah terlihat masih lembap meski seharian tadi matahari cerah. Mungkin penyebabnya wilayah ini hanya mendapat sedikit cahaya setiap harinya. Kini Mayang cuma melongo beberapa saat setelah naik ke daratan.

Husin yang naik paling akhir langsung menambatkan perahu di akar pohon yang mencuat di pinggir anak sungai. Sementara dua anaknya yang lebih dulu mulai bergerak meninggalkan yang lain sambil membawa barang perbekalan yang mereka gendong di punggungnya.

Saat semua sudah berada di daratan, Jubai melihat ekspresi bingung pada wajah Mayang, ia menyentuh bahu wanita itu pelan. Mayang yang sedari tadi terpaku sedikit tersentak.

"Nak. Julak beritahu. Kami semua yang tinggal behuma di Lantabu sini, semua akan bergotong royong jika masa manugal. Kami menanam padi ramai-ramai dengan kepala keluarga lain. Begitu juga masa mengatam. Setahu julak, ada dua belas keluarga yang berprofesi sama dengan kami. Dan aku kenal semua anggota keluarganya. Tidak ada yang bernama Edi. Apa Nak Mayang tidak salah alamat?"

Tentu saja Mayang semakin bingung dengan penjelasan wanita paruh baya itu. Apa mungkin Edi sudah membohonginya selama ini. Lelaki itu bisa saja asal sebut tempat tinggal saat Mayang bertanya dulu.

Mayang menghela napas berat. Dadanya sesak memikirkan semua itu. Aoa mungkin sejak awal Edi memang sudah berniat menipunya?

"Atau kami memang belum kenal." Jubai meralat. "Mungkin jika Nak Mayang menyebutkan nama mertua, kami bisa tahu." lanjutnya.

Mayang yang memang tak tahu nama mertua perempuannya hanya bisa menggeleng. Jika menyebutkan nama mertua lelakinya pun, mungkin mustahil. Sebab, sebelum menikah pun, Bapak Edi sudah tiada. Dalam pikirannya sekarang, bagaimana ia mencari tahu tentang Edi yang sepertinya benar-benar merencanakannini semua?

Kali ini, Husin yang menangkap kerisauan di wajah wanita yang mereka bawa. Sebagai kepala keluarga, ia mencoba memberi solusi.

"Kau boleh ikut kami dulu, jika tak keberatan Nak. Nanti waktu kami kembali ke kampung, kau bisa ikut lagi."

Jubai juga mengangguk. Sepertinya ia sependapat dengan sang suami.

"Berapa lama kalian menetap, Paman?" Mayang menuntut kepastian. Ia takut, jika masa panas lehernya datang, Mayang tak akan bisa menghindar.

"Seminggu. Tidak masalah kan?"

Sambil mulai mengekor di belakang Jubai dan suaminya, Mayang mau tak mau mengangguk setuju.

Setelah ini kau tunggulah. Aku pasti menemukanmu Edi. Geram Mayang dalam Hati. Dan jika sampai hal itu terjadi, Mayang tak akan membiarkan lelaki itu hidup dengan tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status