Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.
Padahal, Mayang sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda."Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang."Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya."Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong."Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga.Selama ini siapa pun juga tahu, kalau Mayang tak pernah sekalipun diajak ke kampung sang suami."Sebelum berangkat minggu kemarin, Edi sudah berpesan. Dia memintaku menyusul jika belum sempat pulang." Tentu Mayang melanjutkan kebohongannya."Oh. E-eh itu, Mayang kalau pulang nanti bawakan bedak rempah lebih banyak ya. Aku mau beli, barang kali saudaranya Edi juga bisa buat bedak tersebut. Aku juga mau jadi lebih muda sepertimu." Mama Nurfah berpesan.Mayang mengangguk saja. Andai perempuan itu tahu, bahwa bukan bedak rempah lah yang membuat Mayang kian muda. Maka bisa dipastikan ia akan bergidik atau malah lari tunggang langgang secepat yang ia bisa.Soal saudara Edi, Mayang saja tak pernah tahu. Apa suaminya itu memiliki saudara atau tidak? Edi tak pernah bercerita, Mayang pun enggan bertanya sebelumnya.Memang. Edi tipe suami yang begitu tertutup. Tak pernah membagi cerita atau bertanya juga. Bahkan, Mayang pun tak tahu dengan pasti apa sebenarnya pekerjaan Edi di seberang sana. Yang penting bagi Mayang, kebutuhan rumah tangga mereka terpenuhi."Mau menyeberang ke daerah mana Cil?" Pengemudi perahu yang berusia belia itu bertanya begitu Mayang melambai tangan ke arahnya.Mayang yang masih berdiri di anak tangga kayu menyahuti agak nyaring. Sebab suaranya hampir kalah dengan suara mesin perahu."Sungai Lantabu! Bisa antar Acil ke sana?" Hanya nama itu yang pernah ia dengar dari suaminya.Pemuda tadi mengerutkan kening kemudian menggeleng cepat."Aku kurang tahu jalur ke selatan. Acil, bisa ikut dengan rombongan Paman Husin. Beliau sepertinya sore ini juga berangkat, perahunya di sebelah sana." Ia menunjuk perahu di depanya yang berjarak dua lanting dari tempat Mayang berdiri."Memang kau ke utara? Daerah bernama apa di sana?" Mayang benar-benar tidak tahu."Iya Cil. Aku lebih sering ke utara. Jalur sungai Piyasa," sahutnya.Mayang mangut-mangut kemudian pamit naik dan berpindah ke lanting yang dimaksud pemuda tadi.Untungnya pemilik perahu yang akan ditumpangi Mayang, memberi izin. Ada empat orang lainnya yang akan berangkat ke sungai Lantabu. Husin beserta istri dan kedua anak lelakinya, yang sulung sepertinya masih sepantar dengan pemuda tadi.Sepanjang perjalanan Mayang hanya diam. Menikmati suasana perahu yang seakan melompat-lompat akibat menerjang arus. Mukanya juga mulai basah, sebab air dari tepi perahu berulang kali menciprat. Sesekali Mayang menyekanya menggunakan bajunya yang berlengan panjang."Kalau boleh tahu, Nak Mayang mau mengunjungi pehumaan siapa?" Jubai istri Husin bertanya. Ia memanggil Mayang dengan sebutan Nak sebab wanita tersebut tampak hanya sedikit lebih tua dari anak sulungnya."Suamiku, Julak. Katanya ia bekerja di sana." Mayang menyahut setengah berteriak. Suara mesin perahu mengalahkan suaranya."Sudah pernah ke sana sebelumnya?"Lekas Mayang menggeleng."Nama suamimu siapa? Barang kali kami tahu pondoknya?" tanyanya lagi."Edi!" Teriaknya. Lagi-lagi suara Mayang hampir kalah dengan deburan air dan suara mesin.Setelah Mayang menyebut nama suaminya, semua orang di perahu menatap bingung ke arahnya. Entah kenapa?Wanita paruh baya yang menanyainya tadi pun tak melanjutkan lagi keingintahuannya.***Perahu yang ditumpangi Mayang sudah sampai. Ia terkejut bukan main, tempat yang didatanginya sungguh di luar dugaan sebelumnya. Ini bukan perkampungan, melainkan hutan belantara dengan pohon-pohonnya yang besar. Permukaan tanah terlihat masih lembap meski seharian tadi matahari cerah. Mungkin penyebabnya wilayah ini hanya mendapat sedikit cahaya setiap harinya. Kini Mayang cuma melongo beberapa saat setelah naik ke daratan.Husin yang naik paling akhir langsung menambatkan perahu di akar pohon yang mencuat di pinggir anak sungai. Sementara dua anaknya yang lebih dulu mulai bergerak meninggalkan yang lain sambil membawa barang perbekalan yang mereka gendong di punggungnya.Saat semua sudah berada di daratan, Jubai melihat ekspresi bingung pada wajah Mayang, ia menyentuh bahu wanita itu pelan. Mayang yang sedari tadi terpaku sedikit tersentak."Nak. Julak beritahu. Kami semua yang tinggal behuma di Lantabu sini, semua akan bergotong royong jika masa manugal. Kami menanam padi ramai-ramai dengan kepala keluarga lain. Begitu juga masa mengatam. Setahu julak, ada dua belas keluarga yang berprofesi sama dengan kami. Dan aku kenal semua anggota keluarganya. Tidak ada yang bernama Edi. Apa Nak Mayang tidak salah alamat?"Tentu saja Mayang semakin bingung dengan penjelasan wanita paruh baya itu. Apa mungkin Edi sudah membohonginya selama ini. Lelaki itu bisa saja asal sebut tempat tinggal saat Mayang bertanya dulu.Mayang menghela napas berat. Dadanya sesak memikirkan semua itu. Aoa mungkin sejak awal Edi memang sudah berniat menipunya?"Atau kami memang belum kenal." Jubai meralat. "Mungkin jika Nak Mayang menyebutkan nama mertua, kami bisa tahu." lanjutnya.Mayang yang memang tak tahu nama mertua perempuannya hanya bisa menggeleng. Jika menyebutkan nama mertua lelakinya pun, mungkin mustahil. Sebab, sebelum menikah pun, Bapak Edi sudah tiada. Dalam pikirannya sekarang, bagaimana ia mencari tahu tentang Edi yang sepertinya benar-benar merencanakannini semua?Kali ini, Husin yang menangkap kerisauan di wajah wanita yang mereka bawa. Sebagai kepala keluarga, ia mencoba memberi solusi."Kau boleh ikut kami dulu, jika tak keberatan Nak. Nanti waktu kami kembali ke kampung, kau bisa ikut lagi."Jubai juga mengangguk. Sepertinya ia sependapat dengan sang suami."Berapa lama kalian menetap, Paman?" Mayang menuntut kepastian. Ia takut, jika masa panas lehernya datang, Mayang tak akan bisa menghindar."Seminggu. Tidak masalah kan?"Sambil mulai mengekor di belakang Jubai dan suaminya, Mayang mau tak mau mengangguk setuju.Setelah ini kau tunggulah. Aku pasti menemukanmu Edi. Geram Mayang dalam Hati. Dan jika sampai hal itu terjadi, Mayang tak akan membiarkan lelaki itu hidup dengan tenang.Tiga hari sudah Mayang menginap di pondok Husin. Selama itu juga ia ikut membantu apa saja yang bisa ia kerjakan. Seperti, menemani Jubai ke sungai untuk mencuci baju, membersihkan peralatan makan, bahkan menyiapkan lauk pauk untuk keluarga Husin atau kadang Mayang juga ikut turun ke sawah. Suatu waktu, Mayang sudah merasa sangat bosan dengan rutinitasnya. Semua pekerjaan pun sudah selesai ia kerjakan. Tak ada lagi yang bisa Mayang lakukan kecuali termenung sendirian di dalam pondok. Semua anggota keluarga Husin masih di tengah ladang, memeriksa kalau-kalau ada babi hutan yang menghancurkan tanaman tadi malam. Dari pada kebanyakan melamun, Mayang memutuskan untuk mencari aliran anak sungai yang lebih rimbun. Ia ingin membersihkan diri, belakangan ia merasa mandi kurang bersih. Badannya terasa mulai tak nyaman dan gatal-gatal.Bukan, bukan ia malu saat mandi di temani Jubai di pinggir sungai. Hanya saja, semua orang yang melihatnya melepas baju, bagian leher belakangnya akan dengan j
Jangkrik semakin terdengar jelas mengerik. Beradu saling sahut dengan binatang malam lain. Lampu semprong di dalam pondok sudah dikecilkan. Semua orang sudah terlelap dalam pelukan mimpi masing-masing. Kecuali Mayang, ia perlahan keluar dari pondok Husin, berjingkat agar tak mengeluarkan suara yang membuat orang terbangun.Di luar, ia bertengadah sebentar menatap langit pekat bertabur bintang tanpa bulan. Kemudian ia menyalakan obor dengan korek kayu yang sudah ia siapkan. Lalu, tanpa memperhatikan sekitar ia melangkah cepat merobek kegelapan malam dengan cahaya di tangannya.Mayang tak tahu, seperginya ia dari pondok. Pemilik sepasang mata yang menatap dari balik celah pintu menghela napas curiga. Pondok yang Mayang tuju serasa lebih jauh dari sebelumnya. Juga lebih seram jika dilihat pada malam hari begini. Tapi, bagi Mayang tak ada hal lain yang lebih menakutkan dari pada dirinya sekarang. Wanita kuyang itu mulai menyibak alang-alang yang tumbuh tinggi menghalangi langkahnya. Lalu
Mayang harus segera mengatur rencana. Ia tak bisa lagi menunggu Husin dan keluarganya untuk pulang. Semestinya ia bergerak lebih cepat, sebelum semakin menyesal.Ya, menyesal karena bisa saja Edi akan pergi semakin jauh dari jangkauannya. Jika lelaki itu sampai keluar pulau, Mayang tak akan memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang seharusnya. Beruntungnya, sore ini bukan cuma dia yang tinggal di pondok, tapi Ari anak sulung Husin juga. Pemuda itu tak ikut ke ladang, sebab tengah menganyam bakul kecil bertali yang akan diikatkan ke pinggang saat musim mengatam, memanen padi yang sebentar lagi tiba.Dengan wajah Mayang yang lebih Muda sekarang, tak mungkin sulit membujuk Ari untuk mengantarnya pulang lebih dulu, kan? Seandainya gagal pun, Mayang pasti akan berusaha melalukan hal lain agar anak dari Husin itu setuju membantunya. Awalnya Mayang duduk tepat di sebelah Ari. Meski begitu mepet, Pemuda itu tetap tenang. Ia seolah membiarkan Mayang mendekatinya. Meski awalnya Mayang jug
Terletak tak jauh dari pondok tempat tinggal Husin, ada juga pondok yang dihuni satu keluarga dengan beranggota empat orang. Mereka, Herman beserta istri dan dua anaknya. Yang bungsu bernama Dewi. Usianya baru genap enam tahun saat ini.Dewi sejak sore sudah diare, oleh Mamaknya hanya diberi air rebusan daun pucuk jambu biji. Meski anak perempuan itu mengeluhkan rasa kelatnya dan harus dipaksa agar mau minum. Namun, ramuan itu seeprtinya lumayan ampuh. Beberapa jam lalu ia merasa sudah lebih baik. Katanya juga, perutnya sudah tak merasakan mulas lagi. Entah kenapa, malam ini, saat semua anggota keluarganya sudah tidur nyenyak, perut Dewi kembali melilit."Pak, Bapak!" Dewi berulang kali menggoyang-goyang tubuh lelaki yang tidur di sampingnya sambil meringis memegangi perut dan pantat bergantian. Ia terlihat benar-benar tersiksa dengan hal itu. "Pak. Bangun Pak. Antar Dewi ke jamban sekarang yuk, Pak. Aku mulas lagi." Kini lebih keras ia mengguncang bahu Bapaknya. Dewi sudah sangat ta
Dari kejauhan, Herman yang baru saja sampai di pondok Husin, melihat cahaya obor bergerak mendekat. Sejenak lelaki itu membatalkan niat mengetuk pintu, ia bertanya sebentar pada putranya. "Apa kau juga melihat cahaya itu, Din?"Udin menoleh ke arah yang ditunjuk Bapaknya. "Siapa yang datang saat larut malam begini?"Bapaknya hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga tak tahu. Mengabaikan kebingungan mereka, Herman melanjutkan niat awalnya datang ke pondok Husin. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu berderit dibuka dari dalam. "Husin! Ayo siap-siap sekarang, nyalakan obormu. Kita mencari tubuh kuyang!" Herman tak ingin berbasa-basiHusin yang baru saja bangun masih terlihat linglung, ia tak mengerti sama sekali dengan perkataan yang diucapkan tetangganya tersebut. "Kuyang?""Bapak sama Dewi tadi melihat Kuyang, Paman. Ayo kita cari badannya sama-sama. Barang kali ia menyimpannya tak jauh dari sekitar sini." Kali ini Udin yang menjelaskan. "Apa kira-kira itu kuyang yang berada di
Mayang sudah lebih segar hari ini. Badan lemas dan pusing yang dideritanya sudah sirna. Dalam dua malam berturut-turut ia sudah mendapat Mangsa. Minyak dalam botol sepertinya juga sedikit bertambah. Pantas saja meski digunakan dalam rentang waktu puluhan tahun oleh pemilik sebelumnya, isinya tak habis-habis. Mayang baru tahu, begitu rupanya cara kerja minyak tersebut. Jika Mayang berhasil mendapatkan darah Bayi dan ibu yang melahirkan, maka minyak kuyang tak akan berkurang, tapi malah sebaliknya. Kali ini wanita kuyang itu menatap wajahnya di cermin. Tak ada lagi kerutan yang tersisa. Ia sekilas tersenyum, merasa puas dengan perubahannya sekarang. Walau Mayang tahu, kecantikannya itu nanti tak akan bertahan lebih lama. Ya, setidaknya saat ini wanita tersebut menikmati masa wajah terbaiknya. Sesaat kemudian, Mayang mengalihkan pandangan, mengangkat tas yang sudah ia siapkan dan menyampirkan selendang warna jingga di bahu. Ia harus secepatnya menemukan Edi dan mencari solusi agar ia
Seorang lelaki tengah mondar-mandir dengan gelisah di beranda rumah. Berulang kali ia melipat jari-jarinya hingga menimbulkan bunyi berkeretek. Dia khawatir sebab tak biasanya sang istri begitu lama pergi ke pasar.Selain berdecak berulang-ulang, lelaki tersebut juga menghela napas penuh sesal. Istrinya tadi sempat berucap minta ditemani, namun ia dengan alasan yang tak jelas langsung menolak. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada sang istri? Ia tak bisa membayangkannya. Begitu hampir satu setengah jam berlalu dihitung tepat saat istrinya pergi, saat lelaki tersebut memutuskan untuk menyusul, istrinya datang bersama seorang tamu yang mengenakan selendang jingga. Wajahnya menyuratkan kelegaan. Namun, saat tamu yang menyertai istrinya membuka penutup kepala, lelaki itu serta-merta membeliak.Mayang langsung mengenali lelaki yang kini menatapnya sambil melotot itu. Meski begitu, wanita tersebut masih berusaha menahan diri. Mayamg terlihat tenang, ia harus tahu segalanya dengan perlahan, t
"Baru seumur jagung, kak. Ini tahun ketiga pernikahan kami," sahutnya sambil mengelap telapak tangan Mayang yang baret. Benar rupanya, Mayang sudah menduga, ia cuma istri yang dimanfaatkan. Midan sudah dua tahun lebih dulu menikahi Liyah. Tentunya mereka menjalin ikatan dengan perasaan yang sama. Sama-sama mencintai, tak seperti dirinya. Mendadak terbersit rasa iri di benak Mayang. Ia tersenyum miris. Liyah menarik napas dalam dan melepasnya dengan berat, seakan ada beban di dadanya."Kenapa?" tentu saja Mayang penasaran dibuatnya."Sebenarnya kami hampir saja berpisah, Kak. Ada kabar angin mengatakan Bang Dan menikahi janda di kampung seberang. Bahkan, ia sering berminggu-minggu tak pulang. Saat itu aku ingin minta talak saja. Namun, Wawan, teman kerjanya mengatakan kalau Bang Dan diminta pemilik gudang untuk mengurusi kebun rotannya yang ada di sungai Lantabu. Aku sempat berpikir untuk menggagalkan kehamilan yang baru berusia dua bulan waktu itu. Untungnya kebenaran akhirnya terun