KEDATANGAN LARAS
"Bu, sudahlah. Apalagi sih yang ingin Ibu tuntut sekarang, Bu? Kan kesepakatannya pernikahan Ini sederhana. Mengapa sekarang merembet sekali? Sudahlah Dinda menuruti semua keinginan Ibu untuk memakai MUA mahal, memakai ini dan itu, jangan menuntun anak-anak Ibu lainnya, Bu. Berikan kesempatan Mas Zain juga untuk berubah," keluh Hasan. Mbak Alif, Mas Zain hanya bisa menganggukkan kepalanya setuju semua usul Hsan. Apalagi dengan konsep pernikahan sederhana yang dibayangkan oleh mereka, ternyata tidak sesederhana apa yang diinginkan Bu Nafis. Mbak Alif pun hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia sudah mengeluarkan uang tak kurang dari lima juta juga untuk konsumsi."Kan konsumsinya sudah Mbak Alif juga, Bu. Bahkan semuanya sudah clear rasanya, dekor, Mua, makanan, lalu apalagi yang kurang sih, Bu?" tanya Hasan."Ya pokonya tetap kurang karena Mas mu belum menyumbang apapun. Jika Zain sudah menyumbang apapun. Aku pasti tak akan protes," sanggah Bu NafisPATAH HATI ANAK PEREMPUANNYA!"Dek, kau kenapa? Kau menangis? Kau dari mana tadi?" tanya Dinda."Dari makam Ibu, Mbak," ucap Laras. Mendengar jawaban Laras, Dinda langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Laras menyeka air matanya, dia menatap Dinda dengan tatapan nanar. Matanya berkaca-kaca tanda masih menyisakan tangisnya."Mbak, entah kenapa tadi Laras tiba-tiba merasa bersalah dengan Ibu," gumam Laras."Kenapa kau berpikir seperti itu, Dek? Jangan menyalahkan dirimu sendiri," ucap Dinda."Karena Laras menyetujui pernikahan Papa dan Bu Nafis, Mbak Dinda. Bahkan rasanya Laras seperti berkhianat kepada Ibu, Mbak," jawab Laras."Hust!!! Jangan begitu, Dek. Jangan pernah berkata seperti itu, Dek. Tidak ada yang mengkhianati Ibumu, sungguh. Memang terkadang di dunia ini tak semua berjalan sesuai apa yang kau inginkan dan semua ekspektasimu. Karena memang ada takdir terbaik yang sudah di tulis gusti Allah dan berjalan tidak sesuai keinginan kita, De
BU NAFIS CALON IBU TIRI YANG LEMAH LEMBUT!"Iya Mbak, tapi kemungkinan memang aku dan Laras tak akan datang, Mbak. Kami masih berusaha untuk menerima semua ini dan butuh waktu," terang Laras."Iya, Dek. Mbak Dinda mengerti dan menurut Mbak Dinda itu juga bukan suatu perbuatan yang berdosa. Memang paling sulit itu adalah berdamai dengan keadaan kita sendiri, Mba Dinda paham itu, jadi tenanglah. Mbak Dinda tidak akan memarahimu, tak akan mengkritikmu, ataupun menyalahkanmu. Mbak Dinda akan mencoba untuk mengerti dan jika memang kau tak keberatan maka kau bisa bercerita kepada Mbak Dinda, apapun yang sedang kau rasakan. Jadi jangan kau pendam semuanya sendiri ya," kata Dinda."Dek, terlalu berat untukmu beban ini. Jadi bagilah kepada Mbak Dinda," sambungnya. Laras pun langsung memeluk Dinda. Dia sungguh terharu dengan semua ucapan Dinda. Tak menyangka jika akan mendapatkan kakak meskipun tak sekandung, tak sedarah, dan tak serahim, namun memiliki kebaikan hati seperti
NASEHAT DINDA UNTUK MERTUANYA!"Apakah papamu tidak mengatakannya padamu?" tanya Dinda dengan tanda tanya yang besar."Tidak Mbak. Papa tidak pernah mengatakannya kepadaku. Kata Papa kami tidak perlu tahu karena semuanya akan diurus Papa, kami hanya tinggal terima beresnya, sangking tinggal terima beresnya sampai kami tidak tahu apa yang sebenarnya Papa rencanakan dan bagaimana pernikahan mereka nanti. Papa hanya memberikan kami baju, mengajak kami shopping dan mengatakan ini akan dipakai untuk pernikahannya tanpa berkata apapun," terang Bu Nafis. Dinda hanya menghela napas panjang dan membelai rambut Laras. Mungkin ini juga yang menyebabkan Laras jauh dari Papanya. Karena pak Hendi tetaplah sama seperti lelaki di luaran sana yang tak mengerti jika wanita itu lebih memiliki perasaan yang mendominasi. Dia tak mau mendekatkan diri kepada anak-anaknya karena terlalu kaku, mungkin karena Pak Hendi yang memang terbiasa bekerja di luar kota."Iya Dek. Acaranya memang pagi
ANAK BU NAFIS MULAI SETRES MELIHAT KELAKUAN AJAIB IBUNYA!"Kasihan sekali loh mereka nanti jika Ibu mempermasalahkan masalah sepele begitu. Jika masalah kecil di besar-besarkan maka kapan dekatnya juga? Bukankah Ibu juga ingin dekat dengan anak-anak sambung Ibu? Ibu tak ingin juga di benci Safira dan Laras kan?" tanya Dinda. Bu Nafis langsung diam mendengar semua ucapan Dinda. Ya sebenarnya kalau di pikir lagi, siapa yang tak ingin sih mendapatkan restu dari anak Pak Hendi itu. Apalagi kalau memang di pikir-pikir ya tidak begitu penting restu atau pun kehadiran anak sambungnya, apalagi jika dengan kehadiran anak sambungnya justru akan memperkeruh hubungan kekeluargaan mereka."Sebenarnya memang kehadiran mereka penting tak penting. Tanpa mereka pun pernikhan ini juga akan tetap berjalan sesuai dengan planning dan rencana kita sebelumnya. Tetapi kan pantasnya saja, lebih baik untuk bisa mendapat restu anak-anaknya," kata Bu Nafis dengan entengnya."Astaghfirullahalad
BERDANDAN RATU DAN ROMBONGAN DANYANGNYA! Ternyata mereka baru pulang dari pasar sejak subuh untuk mengambil bahan-bahan yang akan dimasak. Sedangkan di dapur orang-orang sudah bersiap untuk membuat masakan karena ijab kabul akan dilakukan pukul sembilan pagi."Waalaikumsalam!" sahut mereka semua. Mbak Alif berjalan ke belakang menemui Dinda."Kok sudah banyak sekali yang datang di depan,Dek? tapi di dapur ini-ini saja? Kemana mereka semua?" tanya Mbak Alif heran dengan jumlah sandal yang ada di ruang tamu."Lihatlah Mbak kelakuan ibumu," bisik Dinda."Di mana ibu?" tanya Mbak Alif."Tuh di kamar. Kau akan terkejut dan membaca istighfar berkali-kali, Mbak," ucap Dinda."Memang ada apa sih, Din?" tanya Mbak Alif penasaran dan langsung menaruh belanjaan secara serampangan."Ada apa, Din?" bisik Mbak Eva tak kalah penasarannya."Lihat saja di dalam sendiri, Mbak. Ibu berbuat ulah apa. Tak asik dong kalau spoiler di depan," kata Dinda."Astaghfiru
“Dinda...Dindaaa...! Keluar kamu!” teriak bu Nafis mertuanya. Gedoran pintu yang keras dari luar, membuat Dinda segera berdiri. Dia mengusap air mata. Dinda tak ingin mertuanya tahu jika dia menangis. “Nggih (ya),” kata Dinda, “Kau mengadu lagi pada Hasan? Iyakan? Hahahaha! Dinda... Dinda sampai kapanpun Hasan itu surganya ada di telapak kakiku! Dia akan selalu menuruti semua perkataanku sebagai seorang Ibu yang telah melahirkannya, kau hanya wanita asing yang baru di nikahi kemarin sore, jadi jangan harap kau bisa mempengaruhi anakku, mengerti!” bentak bu Nafis. Bu Nafis berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu. Dinda hanya mampu beristigfar dalam hati dan berkali-kali sambil mengelus dada, kemana perginya Hasan. Andai saja Hasan mengetahui semua perlakuan ibunya, mungkin dia akan membela Dinda. Mungkin, karena semakin ke sini Dinda juga ragu dengan ketegasan suaminya. “Sudah, sana kau cuci semua perkakas kotor di dapur bekas memasak tadi pagi! Kau pikir hidup itu gratis,
"Oh Ibu sedang ikut senam PKK di Kecamatan paling bareng sama teman gengnya itu lo Mas! Mbak Dinda tolong buatin telur goreng dong, Ifah capek banget abis endors," ujar Ifah satai. "Aduh mengapa Ifah tak tanggap pada kodenya," gumam Dinda lirih.Sayang sekali Ifah tak menyadari deheman Dinda yang memiliki arti tadi. Sekarang Dinda hanya bisa berdoa semoga mertuanya tak ngamuk saat pulang senam nanti. "Mbakmu kan sedang mencuci piring, ketimbang goreng telur masak harus menyuruh Mbak Dinda, kau kan anak perempuan belajarlah memasak untuk suamimu nanti," tegur Hasan. "Halah Ifah masih SMA Mas, masih pengen kuliah! Lagian Ifah tuh capek Mas! Endors dari pagi, lanjut sekolah belum lagi ngajar les, untuk tambahan uang saku! Mbak Dinda lo nganggur di rumah jadi wajar dong kalau Ifah minta tolong, ya kan Mbak?" rengek Ifah dengan suara manja pada Dinda. "Sudahlah Mas, cuma menggoreng telur saja bukan hal yang sulit, istirahatlah Fah! nanti Mbak panggil, sana pergi dari pada Masmu marah!"
“Bukankah itu sama artinya kau meragukan perkataanku Mas?” tanya Dinda dengan mata berkaca-kaca.“Aku tidak bermaksud begitu Dek, itu tadi hanya reflek dari tubuhku! Maaf jika itu membuatmu tersinggung, sekarang coba kau ceritakan semuanya, Mas akan mendengarkan dengan seksama,” jelas Hasan perlahan sambil duduk di hadapan istrinya."Ibu menuduhku mengadu pada Mas, jika beliau pergi senam, Dinda sudah mengatakan bahwa Ifah yang memberitahu, tapi malah Dinda yang di kira memfitnah Ifah, Dinda sudah berusaha menjelaskan Mas, tetapi Ibu pergi tanpa mendengarkan semuanya," ungkap Dinda.Hasan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya memeluk istrinya agar tenang. Dinda terisak di dekapan Hasan, batinnya bertanya mengapa suaminya tak bisa bijak dalam mengambil keputusan? Mengapa suaminya hanya diam jika itu berkaitan dengan Ibunya?Hasan diam dengan sejuta pikiran. Satu sisi Dinda adalah istri yang ingin di belanya, namun di sisi lain ada ibu kandung yang akan menjadi musuhnya. Si