Adinda Salsabila harus menjalankan pernikahan dengan jalan ta'aruf tanpa saling mengenal terlebih dahulu atau perjodohan dengan seorang lelaki bernama Hasan Ashari seorang kepala cabang perusahaan pemasaran batubara. Awalnya perjalanan rumah tangga mereka baik sebagaimana harapan Dinda. Ibu Hasan, Nasyifah yang terbiasa hidup mewah dengan segala geng sosialitanya tak mau menurunkan gengsinya. Ini yang menyebabkan Ibu mertuanya membenci Dinda karena dia dianggap sebagai pembawa sial dalam keluarga, karena tidak dapat memenuhi keinginan sang Ibu mertua. Berbagai konflik rumah tangga hadir dalam perjalanan bahtera rumah tangga Dinda dan Hasan, mulai dari cekcok ringan sampai berat. Bagaimanakah nasib kelangsungan rumah tangga Dinda dan Hasan? Akankah mereka terus bersama atau Dinda memilih menyerah karena tak sanggup jika harus dipandang sebelah mata dengan mertuanya sendiri? Selamat membaca Jadi Miskin Di Hadapan Mertua.
Lihat lebih banyak“Dinda...Dindaaa...! Keluar kamu!” teriak bu Nafis mertuanya.
Gedoran pintu yang keras dari luar, membuat Dinda segera berdiri. Dia mengusap air mata. Dinda tak ingin mertuanya tahu jika dia menangis.“Nggih (ya),” kata Dinda,“Kau mengadu lagi pada Hasan? Iyakan? Hahahaha! Dinda... Dinda sampai kapanpun Hasan itu surganya ada di telapak kakiku! Dia akan selalu menuruti semua perkataanku sebagai seorang Ibu yang telah melahirkannya, kau hanya wanita asing yang baru di nikahi kemarin sore, jadi jangan harap kau bisa mempengaruhi anakku, mengerti!” bentak bu Nafis.Bu Nafis berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu. Dinda hanya mampu beristigfar dalam hati dan berkali-kali sambil mengelus dada, kemana perginya Hasan. Andai saja Hasan mengetahui semua perlakuan ibunya, mungkin dia akan membela Dinda. Mungkin, karena semakin ke sini Dinda juga ragu dengan ketegasan suaminya.“Sudah, sana kau cuci semua perkakas kotor di dapur bekas memasak tadi pagi! Kau pikir hidup itu gratis, semua butuh duit, cepat cuci! Menumpang seperti benalu tak tahu diri!” teriak bu Nafis.Dia bergegas pergi meninggalkan Dinda yang berdiri mematung. Bu Nafis tak pernah menjaga lisan.“Oh ya, kalau Ifah mencari aku sepulang mengajar les nanti, bilang saja sedang ikut senam PKK di kantor kecamatan! Jangan bilang Hasan, kalau ikut senam, awas kau! Heran si Hasan dapat istri kok males, semua orang di rumah ini bisa cari duit, hanya dia yang menganggur di rumah!” kata bu Nafis.Bu Nafis berbalik badan pergi mengendarai sepeda motor. Rasanya telinga Dinda sudah kebal dengan semua perkataan menyakitkan dari Ibu mertua. Bu Nafis selalu menganggap menantu sama dengan benalu di rumah. Bukan mau Dinda tak bekerja seperti ini. Hasan melarang Dinda bekerja, dan mertuanya tahu hal itu. Tetapi bu Nafis berpura- pura lupa jika anaknya yang harus di salahkan.“Astagfirulloh,” gumam Dinda.Dia segera pergi ke dapur, mencuci semua perabot dan perkakas yang di gunakan bu Nafis untuk berjualan tadi pagi. Ibunya memang bekerja membuat aneka sayur, nasi, dan jajanan yang di jual ke salah satu Kantin Rumah Sakit di kotanya. Sedangkan yang bertugas untuk menjaga jualan di kantin adalah kakak perempuan Hasan, Alif.“Dek, Ibu dimana? Kok sepi? Pergi senam lagi ya?” tanya Hasan.Dinda yang sibuk mencuci perkakas kotor kaget dengan kemunculan Hasan yang tiba- tiba di hadapannya.“Astagfirulloh, Mas! Kenapa tiba- tiba kau muncul dari situ? Untung Dinda ndak jantungan,” gumam Dinda sebal.Berkali-kali dia mengelus dada dengan lengan tangan agar tak membasahi baju.“Hehehe, habis memanen pisang di belakang rumah Dek, Ibu kemana? Apa ikut senam lagi?” tanya Hasan.“Itu... emmmm... memang kenapa Mas tiba- tiba menanyakan Ibu?” tanya Dinda tergagap mengalihkan pertanyaan Hasan.Apa yang harus Dinda katakan, dia tak berani berbohong pada suaminya. Tetapi jika jujur tentu Bu Nafis akan memarahinnya habis- habisan dengan perkataan yang menyakitkan hati."Lihat pisang ini mendadak Mas ingin di buatkan bolu pisang sama Ibu, Mas sudah cari ke depan tapi Ibu tak sada, sampai Mas balik ke belakang lagi Ibu juga tak ada, kemana ya Ibu Dek?" tanya Hasan.Dinda gelisah, tak bisa menjawab. Bibirnya terkatup rapat.
"Dek? Mengapa kau menjadi gelisah begitu?" tanya Hasan heran.
"Emmm... Tak apa Mas, bagaimana kalo Dinda buatkan pisang goreng saja dulu dari pada mencari Ibu," ujar Dinda.
"Bolehlah, ini kau buat nanti saja Dek! Setelah pekerjaanmu selesai, tapi Mas tadi lihat motor di depan tak ada, jika Ibu keluar pasti dia akan pamit padamu, benar kan Dek? Apa tadi Ibu langsung pergi begitu saja?" tanya Hasan.
Dinda bingung harus memberikan jawaban apa pada suaminya. Jika dia jujur maka ibu mertuanya akan murka, jika berbohong dia juga masih takut dosa."Assalmualaikum, jamaah! Oh jamaah! Pada kemana? Fatimah pulang!" teriak seorang wanita dengan suara cemprengnya."Waalaikumsalam," jawab Hasan dan Dinda bersamaan."Itu si Ifah pulang, Mas," kata Dinda."Di belakang! Kemarilah," teriak Hasan.Untung saja Ifah adik iparnya pulang, jika tidak apa yang akan di katakan pada Hasan."Ibu mana, Mas?" tanya Ifah."Ah, mengapa semua orang hari ini mencari Ibu mertuanya," gerutu Dinda dalam hati.
"Coba kau telpon," usul Hasan.
Ifah mengangguk, dia mengambil HP di dalam tas dan menghubungi sang Ibu."Assalamualaikum, Ibu di mana? Hati- hati ya, Bu," kata Ifah sambil menutup panggilan."Di mana Ibu, Dek?" tanya Hasan penasaran."Ekhm! Ehhkkkkmmm!" suara Dinda berdehem dengan keras.Dinda berusaha memberi kode Ifah agar tak mengatakan dengan jujur keberadaan Ibunya."Oh, Ibu sedang di..."BERSAMBUNGENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen